Monday, December 17, 2018

Perenialisme


Oleh: I Nyoman Ariyoga

BAB I
PENDAHULUAN

 Image result for hindu



1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis, harmonis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena membantu dalam memberikan informasi tentang hakekat manusia sebagai dirinya sendiri baik secara horisontal maupun secara vertikal. Sehingga kajian tentang realitas sangat dibutuhkan dalam menentukan tujuan akhir pendidikan. Disisi lain, kajian filosofis memberikan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, sumber pengetahuan, nilai, seperti bagaimanakah pengetahuan itu diperoleh, bagaimana manusia dapat memperoleh nilai tersebut, dengan nilai tersebut apakah pendidikan layak untuk diterapkan dan lebih jauh akan membantu untuk menentukan bagaimana seharusnya pendidikan itu dilaksanakan. Pendidikan disisi lain tidak bisa terlepas dari tujuan untuk membentuk peserta didik yang memiliki nilai-nilai spritual, agama, kepribadian dan kecerdasan.
Pendidikan tidak sekedar menempatkan manusia sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumber daya yang utuh. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori neoklasik, suatu teori yang menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi, dimana penguasaan IPTEK bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. Pendidikan tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model ekonomik untuk menghasilkan/ membudaya manusia pekerja (abdi dalem) yang sudah disetel menurut tata nilai ekonomi yang berlatar (kapitalis) sehingga tidak mengherankan jika keluaran pendidikan kita menjadi manusia pencari kerja dan tidak berdaya. Bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkaian manfaat yang seharusnya menjadi hal yang paling esensial dalam pendidikan dan pembelajaran..
Berdasarkan gambaran tersebut, perlu dibahas lebih lanjut tentang teori-teori pendidikan dalam Filsafat Pendidikan, yaitu: Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan Progresivisme.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, ada beberapa rumusan masalah yang disampaikan, yaitu sebagai berikut?
1.     Apa pengertian Aliran Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan Progresivisme?
2.     Bagaimana sejarah Aliran Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan Progresivisme?
3.     Bagaimana pandangan Aliran Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan Progresivisme terhadap pendidikan?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN
2.1.1. Pengertian Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata perenial, yang dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai “continuing through out the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau kekal.[1] Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada kebudayaan masa lampau” (regresive road to culture). Oleh sebab itu perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhannya.
Asas yang dianut perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu: (1) perenialisme yang theologis-bernaung dibawah supremasi gereja katolik. Dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas-dan (2) perenialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.[2]

2.1.2. Pengertian Essensialisme
Secara etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism. Aliran ini menginginkan munculnya kembali kejaaan yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut “the dark middle age” (zaman ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengeetahuan, kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
Esensialisme dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV. Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi terhadap tradisi, puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah ajaran filsafat, ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal dan monumental.

2.1.3. Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan.

2.1.4. Pengertian Progresivisme
Menurut Redja Mudyaharjo, Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered).
Aliran progresivisme merupakan suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke-20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan didalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progresivisme ini.
Biasanya aliran progresivisme ini di hubungkan dengan pandangan hidup liberal “the liberal road to culture”.

2.2. SEJARAH
2.2.1. Sejarah Perenialisme
Aliran perennialisme lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia, yang dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio-kultural. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan terpuji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.[3] Perenialisme lahir pada tahun 1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekecewaan, ketidakpastian dan ketidakteraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan ini.
Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat Plato yang merupakan Bapak Idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) gereja katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat perenialisme. Namun, mungkin kita bisa saja dengan terburu-buru melihat perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerangka sejalan pemikiran barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah lainnya dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih tampak dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat ini mendapat elaborasi sistem dari perenialis barat, seperti Agostino Steunco. Namun, filsafat perenial atau sering disebut sebagai kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara berangsur-angsur mulai menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialisme. Filsafat materialisme ini membawa perubahan yang radikal terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu. Memasuki abad ke-18, karena pengaruh filsafat materialis, banyak aspek realita yang diabaikan, dan yang tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman kotemporer. Dan zaman kotemporer inilah dapat dikatakan zaman kebangkitan filsafat perenialisme.
·      Tokoh-tokoh Aliran Perenialisme
Perenialisme bukan merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam arti, perenialisme bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyusun filsafat baru, yang berbeda dengan filsafat yang telah ada. Berikut merupakan beberapa teori atau konsep perenialis menurut Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.
A. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat akan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing-masing individu.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia idea”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang utuh dan bulat. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusi dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki, dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.

B.   Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealism. Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berpikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato yang menekankan berpikir rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris realistis. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari.[4]
Aristoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun dia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance. Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapatkan sebutan sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan kebaikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenungan pasif, melainkan merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran  intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam supernatural.
C.  Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara kajian Kristen dan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikir logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan oleh St. Agustinus). Menurut Aquina, tidak dapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus terang dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepeda-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh Thomas Aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja, demikian menuurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan/oleh akal budi, menjadi pengetahuan. selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan rasionya, disinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism, dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotomisme. Perenialisme adalah sama dengan neotomisme dalam pendidikan.

2.2.2. Sejarah Essensialisme
Aliran essensialisme bersumber pada filsafat idelisme dan realism. Aliran essensialisme didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia yang berpijak pada nilai-nilai yang memilki kejelasan dan tahan lama serta memberikan kestabilan dan nilai-nilai yang terpilih. Esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Pada prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorption (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat.
·      Tokoh-Tokoh Essensialisme
Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
George Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).[5][7]
Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-tokoh yang muncul dan menyebarluaskan esensialisme, diantaranya adalah:
a.       Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
b.      Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
c.       John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d.      Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827), sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.
e.       Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan, Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f.       Johann Friederich Herbert (1776-1841), sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang mendidik.
g.      William T. Harris (1835-1909), tokoh dari Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.[6][8]

2.2.3 Sejarah Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger, merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh hussel. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistesialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan eksistensialisme ateis.
Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri. Menurut Heideggard manusia sadar dengan tempatnya.

2.2.4 Sejarah Progresivisme
Meskipun Progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba. Misalnya Hiraclitus (544 – 484 SM), Socrates (469 – 399 SM), Protagoras (480 – 410 SM), dan Aristoteles. Mereka pernah mengemukakan pendapat yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan sikap jiwa yang disebut pragmatisme-Progresivisme.
Heraclitus mengemukakan bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan tempat.
Sedangkan Aristoteles menyarankan moderasi dan kompromi (jalan tengah bukan jalan ekstrim) dalam kehidupan. Kemudian sejak abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran Progresivisme. Francis Bacon memberikna sumbangan dengaan usahanya memperbaiki dan memperhalus metode ilmiah dalam pengetahuan alam. Locke dengan ajarannya tentang kebebasan politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada didalam manusia karena kodrat yang baik dari para manusia.
Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi. Hegel mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada dalam keadaan bergerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada hentinya.
Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya”.
Fungsi berfikir adalah membiasakan manusia untuk berbuat . perasaan dan gerak jasmaniah adalah manifestasi dari aktifitas manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berfikir.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan Georges Santayana.Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan .
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
Sebagai hasil dari pemikiran para filosuf, filsafat telah melahirkan berbagai macam pandangan dan aliran yang berbeda-beda. Pandangan-pandangan filosuf itu ada kalanya saling menguatkan dan ada juga yang saling berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang mereka pakai juga berbeda-beda walaupun untuk objek dan masalah yang sama. Karena perbedaan dalam pendekatan itu, maka kesimpulan yang didapat juga akan berbeda. Perbedaan pandangan filsafat tersebut juga terjadi dalam pemikiran filsafat pendidikan, sehingga muncul aliran-aliran filsafat pendidikan.

2.3. PANDANGAN TERHADAP PENDIDIKAN
2.3.1 Pandangan Perenialisme Terhadap Pendidikan
Dalam pendidikan, kaum perenialisme berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kestabilan dalam perilaku pendidik. Perenialisme memandang education as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut. Sejalan dengan hal diatas, perenialis percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.

Ø Tujuan pendidikan
Bagi perenialis bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.

Ø  Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.

Ø Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi. Selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.

Ø Metode
          Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang dalam The great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.

Ø Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang propesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.[7]

2.3.2 Pandangan Essensialisme Terhadap Pendidikan
a. Pendekatan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Secara essensial, pengetahuan dapat diketahui melalui rasio dan realita, sehingga yang dapat menjadi modal dasar untuk mendekati suatu pengetahuan untuk mengerti tentang rohani kita sendiri. Dengan pengertian tentang rohani kita sendiri akan memberikan kesadaran untuk mengerti realitas yang lain.
Manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Dengan demikian, media antara intelek dan realita adalah seberkas penginderaan atau pengamatan.

pola dasar pendidikan essensialisme hanya berhubungan dengan teori dasar pendidikan, sebab soal-soal praktik pendidikan adalah masalah praktis yang dapat disesuaikan dengan kondisi yang insidental. Pola dasar pendidikan essensialisme dikenal melalui belajar yang populer, diantaranya.
Pertama, pada prinsipnya bahwa belajar adalah melatih daya jiwa yang potensial dengan menyerap apa yang berasal dari luar, terutama pada warisan sosial budaya yang telah tersusun dalam bentuk kurikulum. Guru hanya sebagai perantara.
Kedua, belajar lebih awal dimulai dari diri sendiri sebagai subjek yang kreatif dan dapat mengerti terhadap hubungannya dengan sesuatu. Begitu pula sebaliknya, harus dapat mengerti bagaimana hubungan alam semesta dengan pribadi beserta kegiatan konsekuensinya.
Ketiga, belajar adalah proses penyesuaian dengan lingkungan pola stimulus response.

c. Kurikulum menurut Essensialisme
Kaum essensialisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idil dan organisasiyang kuat.. Herman Harne mengatakan, bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal.
Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas dasar ketentuan ini, kegiatan atau keaktifkan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.

Bogoslousky, mengutarakan dengan tegas, supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1. Pengetahuan, merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia, asal usul tata surya dan lain-lainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
3. Kebudayaan, merupakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran, dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Bagian yang bertujuan kepada pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal.

Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun secara teratur satu sama lain, yaitu disusun dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini, dapat diibaratkan sebagai susunan dari alam, yang sederhana yang merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian, akan bersifat harmonis (Jalaluddin, 1997:88-89)
d. Tujuan Pendidikan Menurut Essensialisme
Sekolah menurut essensialisme berfungsi untuk mendidik warga negara agar hidup sesuai dengan prinsip-prinsip hidup dan lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sekolah, merupakan tempat membina manusia dan menstransformasikan kebudayaan, warisan sosial, serta membina kemampuan individu dan penyesuaian diri kepada masyarakat.

Secara umum pendidikan bertujuan untuk membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Isi pendidikan sebaiknya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan potensi dan kehendak manusia
C. Pandangan Eksistensialisme Terhadap Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a.      Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b.      Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c.      Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d.      Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.

D. Pandangan Progresivisme Terhadap Pendidikan
            Dasar filosofis dari aliran progresivisme adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru. Realisme spiritualistik berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru menekankan pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan demikian orientasinya individualistik.

1. Tujuan Pendidikan
 Tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman problem solving.
2. Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik pada titik sumbu sekolah (child-centered). Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik tolak bagi pengalaman belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum progresivisme adalah kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah kurikulum yang “berpusat pada pengalaman”.
Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa, dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Disini guru menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya belajar berbagai keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan keinginan terbarunya.
Akhirnya, ini akan membantu anak (subjek didik) mengembangkan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan membangun ‘gudang’ kognitif informasi yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sosial .
3. Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya adalah;  
·         Metode Pendidikan Aktif, Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya;
·         Metode Memonitor Kegiatan Belajar, Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar berlangsung kegiatan belajar tersebut;
·         Metode Penelitian Ilmiah, Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep;
·         Pemerintahan Pelajar, Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah;
·         Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga, Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak;
·         Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan, Sekolah tidak hanya tempat untuk belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan baru pendidikan.
4. Pelajar
Kaum progresif menganggap subjek-subjek didik adalah aktif, bukan pasif, sekolah adalah dunia kecil (miniatur) masyarakat besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada praktik pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang kooperatif dan demokratis. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak (child-centered). Mereka menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri yang berbeda dengan orang dewasa.
5. Pengajar
Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai peranan sebagai;
·          Fasilitator, orang yang menyediakan diri untuk memberikna jalan kelancaran proses belajar sendiri siswa;
·         Motivator, orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus giat belajar sendiri;
·         Konselor, orang yang membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap siswa.
Dengan demikian guru perlu mempunyai pemahaman yang baik tentang karakteristik siswa,dan teknik-teknik memimpin perkembangan siswa,serta kecintaan pada anak agar dapat menjalankan peranannya .














BAB III
KESIMPULAN

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa, perenialisme merupakan aliran yang menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Dikarenakan para perenialis menganggap bahwa dunia ini semakin krisis dalam berbagai bidang.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialisme adalah dengan jalan mundur kebelakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang setelah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan pertengahan. Peradaban kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa, dari abad ke abad. Tokoh-tokoh yang berperan dalam mendasari aliran perenialisme adalah Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.
Para perenialis memiliki pandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada kestabilan dalam perilaku pendidik. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.


Filsafat eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Jika manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki aturan-aturan. Peranan guru adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik namun disisi lain guru sebagai motivator dan fasilitator


Dari paparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa; Pertama, Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Progresivisme menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Tujuan pendidikan hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, agar peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen .
            Kedua, Meskipun Progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba yaitu melalui pemikiran-pemikiran Hiraclitus, Socrates, Protagoras, dan Aristoteles. Kemudian sejak abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel dapat disebut sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran Progresivisme. Sedangkan pada abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika Serikat diantaranya adalah Thomas Paine,
Thomas Jefferson, Charles S. Peirce.Ketiga, Progresivisme berpandangan bahwa tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Mereka berupaya mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif subjek didik. Metode pendidikan yang biasa mereka pergunakan diantaranya adalah; Metode Pendidikan Aktif, Metode Memonitor Kegiatan Belajar, Metode Penelitian Ilmiah, Pemerintahan Pelajar, Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga, Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak (child-centered). Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai peranan sebagai Motivator, Fasilitator, dan Konselor.
Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara nilai dengan individu yang telah disimpan dalam kebudayaan. Menurut aliran ini, tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan yang baik bagi individu dan masyarakatProgresivisme menekankan pada perubahan dan sesuatu yang baru. Progresivisme berpendapat bahwa tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, tidak pernah sampai pada yang paling extrim serta pluralistis. Menurutnya nilai berkembang terus karena adanya pengalaman -pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan.
Progressivisme dinamakan environmentalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, yang berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
























DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. (Jakarta): Rajawali Pers.
Achmadi. Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.

Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1997
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Cet
Bernadib, Imam. 1976. Filsafat pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka, 2010
Drijarkasa. 2011. Filsafat manusia.Yogyakarta. kanisius.
Drs, Amsal Amri, studi filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan Pena, 2009
Drs. Parasetya, filsafat pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002
Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta): Penerbit Bumi Aksara, 2008
Gandhi HW, TW. 2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jojakarta. Ar-ruzzmedia.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta): Andi Yogyakarta, 2011
J. Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan mahasiswa). Salatiga. Widya Sari.
Mudyahardjo, Redjo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta): PT Raja Grafindo Persada, 2002
Prof. DR. A. Chaedra Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung):Pt
Remaja Rosdakarya, 2008
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.



[1] Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta: Bumi Aksara), 2008, hal 27.
2Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28
[3] Di Download pada tanggal, 3 November 2014, http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-pendidikan/
[6][8] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982, hlm. 38-40. Lihat dalam Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Cet. V, hlm. 25-26.
[7] Dinn Wahyudin, dkk, pengantar pendidikan, … hal 4.20-4.21.

No comments:

Post a Comment