Oleh:
I Nyoman Ariyoga
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan adalah upaya mengembangkan
potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik, potensi cipta,
rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam
perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan, organis,
harmonis, dinamis, guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Filsafat pendidikan
adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan.
Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena membantu
dalam memberikan informasi tentang hakekat manusia sebagai dirinya sendiri baik
secara horisontal maupun secara vertikal. Sehingga kajian tentang realitas
sangat dibutuhkan dalam menentukan tujuan akhir pendidikan. Disisi lain, kajian
filosofis memberikan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan, sumber
pengetahuan, nilai, seperti bagaimanakah pengetahuan itu diperoleh, bagaimana
manusia dapat memperoleh nilai tersebut, dengan nilai tersebut apakah
pendidikan layak untuk diterapkan dan lebih jauh akan membantu untuk menentukan
bagaimana seharusnya pendidikan itu dilaksanakan. Pendidikan disisi lain tidak
bisa terlepas dari tujuan untuk membentuk peserta didik yang memiliki
nilai-nilai spritual, agama, kepribadian dan kecerdasan.
Pendidikan tidak sekedar menempatkan manusia
sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang sebagai sumber daya yang utuh.
Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori neoklasik, suatu teori yang
menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi, dimana penguasaan IPTEK
bertujuan menopang kekuasaan dan kepentingan kapitalis. Pendidikan tidak
memiliki basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya
dikembangkan berdasarkan model ekonomik untuk menghasilkan/ membudaya manusia
pekerja (abdi dalem) yang sudah disetel menurut tata nilai ekonomi yang
berlatar (kapitalis) sehingga tidak mengherankan jika keluaran pendidikan kita
menjadi manusia pencari kerja dan tidak berdaya. Bukan manusia kreatif pencipta
keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkaian manfaat yang seharusnya
menjadi hal yang paling esensial dalam pendidikan dan pembelajaran..
Berdasarkan gambaran tersebut, perlu dibahas
lebih lanjut tentang teori-teori pendidikan dalam Filsafat Pendidikan, yaitu:
Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan Progresivisme.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, ada
beberapa rumusan masalah yang disampaikan, yaitu sebagai berikut?
1.
Apa pengertian
Aliran Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan Progresivisme?
2.
Bagaimana sejarah Aliran Perenialisme, Essensialisme,
Eksistensialisme, dan Progresivisme?
3.
Bagaimana pandangan Aliran Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme, dan
Progresivisme terhadap pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN
2.1.1. Pengertian Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata perenial, yang
dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai
“continuing through out the whole year” atau “lasting for a very long time” – abadi atau
kekal.[1]
Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran perenialisme mengandung
kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang
bersifat kekal abadi.
Perenialisme melihat bahwa akibat dari
kehidupan zaman modern telah menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan
umat manusia. Mengatasi krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa
“kembali kepada kebudayaan masa lampau” (regresive road to culture). Oleh sebab itu perenialisme memandang
penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman
modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal yang telah
teruji ketangguhannya.
Asas yang dianut perenialisme bersumber pada
filsafat kebudayaan yang terkiblat dua, yaitu: (1) perenialisme yang
theologis-bernaung dibawah supremasi gereja katolik. Dengan orientasi pada
ajaran dan tafsir Thomas Aquinas-dan (2) perenialisme sekuler berpegang pada
ide dan cita Plato dan Aristoteles.[2]
2.1.2. Pengertian Essensialisme
Secara
etimologi esensialisme berasal dari bahasa Inggiris yakni essential (inti atau
pokok dari sesuatu), dan isme berarti aliran, mazhab atau paham. Menurut
Brameld bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran
dalam filsafat yakni idealism dan realism. Aliran ini menginginkan munculnya
kembali kejaaan yang pernah diraih, sebelum abad kegelapan atau disebut “the
dark middle age” (zaman ini akal terbelenggu, stagnasi dalam ilmu pengeetahuan,
kehidupan diwarnai oleh dogma-dogma gerejani. Zaman renaissance timbul ingin
menggantikannya dengan kebebasan dalam berpikir.
Esensialisme
dianggap para ahli sebagai “conservative road to culture” yakni ingin kembali
kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah terbukti kebaikannya bagi
kehidupan manusia, terutama zaman renaissance pada abad XI, XII, XIII dan XIV.
Pada masa ini telah berkembang usaha-usaha menghidupkan kembali ilmu
pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan Purbakala, terutama di zaman Yunani
dan Romawi Purbakala. Zaman renaissance ini sebagai reaksi terhadap tradisi,
puncaknya tumbuh individualism dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang
aktivitas manusia. Sumber utama dari kebudayaan itu adalah ajaran filsafat,
ahli ilmu pengetahuan, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat kekal
dan monumental.
2.1.3. Pengertian Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya
yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif,
dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya
benar. Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya
tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia,
dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan.
2.1.4. Pengertian Progresivisme
Menurut
Redja Mudyaharjo, Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan
pendidikan disekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai reaksi
terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru (teacher-centered) atau
bahan pelajaran (subject-centered).
Aliran progresivisme merupakan suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke-20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan didalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progresivisme ini.
Biasanya aliran progresivisme ini di hubungkan dengan pandangan hidup liberal “the liberal road to culture”.
Aliran progresivisme merupakan suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh dalam abad ke-20 ini. Pengaruh itu terasa di seluruh dunia, terlebih-lebih di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan didalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran progresivisme ini.
Biasanya aliran progresivisme ini di hubungkan dengan pandangan hidup liberal “the liberal road to culture”.
2.2.
SEJARAH
2.2.1. Sejarah Perenialisme
Aliran perennialisme lahir pada abad kedua
puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu
yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia, yang dewasa ini penuh
kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual dan sosio-kultural. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat dan terpuji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah Robert
Maynard Hutchins dan ortimer Adler.[3] Perenialisme lahir pada tahun
1930-an sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan suatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi didunia ini penuh kekecewaan,
ketidakpastian dan ketidakteraturan, terutama pada kehidupan moral, intelektual
dan sosial kultural. Maka perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan ini.
Teori atau konsep pendidikan perenialisme
dilatarbelakangi oleh filsafat Plato yang merupakan Bapak Idealisme klasik,
filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme klasik dan filsafat Thomas Aquinas
yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat)
gereja katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15
merupakan abad kejayaan dan keemasan filsafat perenialisme. Namun, mungkin kita
bisa saja dengan terburu-buru melihat perkembangan filsafat perenial ini hanya
dalam kerangka sejalan pemikiran barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah
lainnya dan memang harus tetap diakui bahwasanya jejak perkembangan filsafat
perenial jauh lebih tampak dalam konteks sejarah perkembangan intelektual
barat, apalagi sebagai jenis filsafat khusus, filsafat ini mendapat elaborasi
sistem dari perenialis barat, seperti Agostino Steunco. Namun, filsafat
perenial atau sering disebut sebagai kebijaksanaan universal, disebabkan oleh
beberapa alasan yang kompleks secara berangsur-angsur mulai menjelang akhir
abad ke-16. Salah satu alasan yang paling dominan adalah perkembangan yang
pesat dari filsafat materialisme. Filsafat materialisme ini membawa perubahan
yang radikal terhadap paradigma hidup dan pemikiran manusia pada saat itu.
Memasuki abad ke-18, karena pengaruh filsafat materialis, banyak aspek realita
yang diabaikan, dan yang tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat
materialis ini begitu kuat mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang
merentang sejak abad ke-16 hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21, sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul
hingga pada zaman kotemporer. Dan zaman kotemporer inilah dapat dikatakan zaman
kebangkitan filsafat perenialisme.
·
Tokoh-tokoh Aliran Perenialisme
Perenialisme
bukan merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam arti, perenialisme
bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyusun filsafat baru, yang
berbeda dengan filsafat yang telah ada. Berikut merupakan beberapa teori atau konsep perenialis
menurut Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.
A. Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman
kebudayaan yang sarat akan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran
kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi,
sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran,
tergantung pada masing-masing individu.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki
itu tetap tidak berubah. Realitas atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada
diri manusia sejak dari asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki.
Menurut Plato, “dunia idea”, bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan.
Kebenaran, pengetahuan, dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya
bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti
menciptakan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana
manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau rasio, semuanya
itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang utuh
dan bulat. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir,
bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusi dapat
mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya
sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki, dan
mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
B. Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato,
namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealism.
Hasil pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berpikir
Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato yang menekankan berpikir rasional
spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris realistis. Ia
mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam
kehidupan manusia sehari-hari.[4]
Aristoteles hidup pada abad keempat sebelum
Masehi, namun dia dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya
Aristoteles merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.
Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapatkan sebutan
sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan
kebaikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenungan pasif, melainkan
merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk
materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam
hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar ia
akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal,
manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam
alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu
kehidupan yang abadi, alam supernatural.
C. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu
pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara kajian Kristen dan
filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang
dijadikan dasar pemikir logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang
dikembangkan oleh St. Agustinus). Menurut Aquina, tidak dapat pertentangan
antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen).
Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara
terus terang dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat
Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan,
bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan
tergantung kepeda-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan bagaikan air yang mengalir
dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh Thomas Aquina menekankan
dua hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan
dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja,
demikian menuurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina
mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar
dan/oleh akal budi, menjadi pengetahuan. selain pengetahuan manusia yang
bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman
dan rasionya, disinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism,
dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang
orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotomisme. Perenialisme
adalah sama dengan neotomisme dalam pendidikan.
2.2.2. Sejarah Essensialisme
Aliran essensialisme
bersumber pada filsafat idelisme dan realism. Aliran essensialisme didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak peradaban umat manusia yang
berpijak pada nilai-nilai yang memilki kejelasan dan tahan lama serta
memberikan kestabilan dan nilai-nilai yang terpilih. Esensialisme adalah konsep
meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul
dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan.
Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan
alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. Pada prinsipnya, proses belajar
menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan
proses belajar sebagai proses absorption (menyerap) apa yang berasal dari luar.
Yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum tradisional,
dan guru berfungsi sebagai perantara. Essensialisme menekankan pentingnya
pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik
agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata
pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang
berharga untuk hidup di masyarakat.
·
Tokoh-Tokoh Essensialisme
Tokoh
utama esensialisme pada permulaan awal munculnya adalah Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770–1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan adanya sintesa
antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan
landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai
sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat
kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan
pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir
dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan
semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari
gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
George
Santayana, dengan memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam
suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan
suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang
menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas
otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif
bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih,
melaksanakan).[5][7]
Pada
perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-tokoh yang muncul dan menyebarluaskan
esensialisme, diantaranya adalah:
a. Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang
hidup pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama
yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha
agar kurikulum sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga
bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
b. Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah
seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
c. John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia
berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi.
Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827),
sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalis Pestalozzi mempunyai
kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada
diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia mempunyai
keyakinan bahwa manusia juga mempunyai transendental langsung dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai
tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis dengan keyakinan bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia
tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan,
Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi kreatif, yang dalam
tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas
pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri sendiri yang
murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
f. Johann Friederich Herbert (1776-1841),
sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan
kebajikan dari yang mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan
dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert
sebagai pengajaran yang mendidik.
g. William T. Harris (1835-1909), tokoh dari
Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel dengan berusaha menerapkan
idealisme obyektif pada pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah
mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan
kesatuan yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun
penyesuaian diri kepada masyarakat.[6][8]
2.2.3 Sejarah Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh
ahli filsafat asal Jerman, Martin Heidegger, merupakan bagian filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh
hussel. Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Soren
Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan
“bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu system yang umum
tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang
muncul dengan sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami
krisis eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya.
Kierkegaard berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia
(aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan,
dan komitmen pribadi dalam kehidupan.
Sebagai pandangan baru, filsafat
eksistensialisme merupakan filsafat yang secara khusus mendeskripsikan
eksistensial dan pengalaman manusia dengan metodologi fenomenologi atau cara
manusia berada. Eksistensialisme adalah suatu reaksi terhadap materialism dan
idealisme. Pendapat materialism terhadap manusia adalah manusia merupakan benda
dunia, manusia adalah materi, manusia adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi
subyek. Pandangan manusia menurut idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau
hanya sebagai suatu kesadaran. Eksistesialisme berkeyakinan situasi manusia
selalu berpangkalkan eksistensi sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan
lukisan-lukisan yang konkret.
Bagi eksistensialisme, individu bertanggung
jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang
benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana
yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar
bahwa kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu
harus menjadi seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar
bertapa keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali
manusia. Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang
baru yang menjadi esensi eksistensialisme.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi
problem filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia,
bagaimana bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang
terbuka dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre
membagi eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani
dan eksistensialisme ateis.
Singkatnya, eksistensialisme selalu menjadi
pemikiran filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami
individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri.
Menurut Heideggard manusia sadar dengan tempatnya.
2.2.4 Sejarah Progresivisme
Meskipun Progresivisme dianggap sebagai
aliran pikiran yang baru muncul dengan jelas pada pertengahan abad ke-19, akan
tetapi garis perkembangannya dapat ditarik jauh kebelakang sampai pada zaman
Yunani purba. Misalnya Hiraclitus (544 – 484 SM), Socrates (469 – 399 SM),
Protagoras (480 – 410 SM), dan Aristoteles. Mereka pernah mengemukakan pendapat
yang dapat dianggap sebagai unsur-unsur yang ikut menyebabkan sikap jiwa yang
disebut pragmatisme-Progresivisme.
Heraclitus mengemukakan bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan tempat.
Heraclitus mengemukakan bahwa sifat yang utama dari realita ialah perubahan. Tidak ada sesuatu yang tetap didunia ini, semuanya berubah-ubah, kecuali asa perubahan itu sendiri. Socrates berusaha mempersatukan epsitemologi dan aksiologi. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan adalah kunci untuk kebajikan. Yang baik dapat dipelajari dengan kekuatan intelek, dan pengetahuan yang baik menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan kebajikan. Ia percaya bahwa manusia sanggup melakukan baik. Protagoras mengajarkan bahwa kebenaran dan norma atau nilai tidak bersifat mutlak, melainkan relatif, yaitu bergantung pada waktu dan tempat.
Sedangkan Aristoteles menyarankan moderasi
dan kompromi (jalan tengah bukan jalan ekstrim) dalam kehidupan. Kemudian sejak
abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel dapat disebut
sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran Progresivisme. Francis
Bacon memberikna sumbangan dengaan usahanya memperbaiki dan memperhalus metode
ilmiah dalam pengetahuan alam. Locke dengan ajarannya tentang kebebasan
politik. Rousseau dengan keyakinannya bahwa kebaikan berada didalam manusia
karena kodrat yang baik dari para manusia.
Kant memuliakan manusia, menjunjung tinggi
akan kepribadian manusia, memberi martabat manusia suatu kedudukan yang tinggi.
Hegel mengajarkan bahwa alam dan masyarakat bersifat dinamis, selamanya berada
dalam keadaan bergerak, dalam proses perubahan dan penyesuaian yang tak ada
hentinya.
Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya”.
Dalam abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada Progresivisme karena kepercayaan mereka pada demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama dalam agama. Charles S. Peirce mengemukakan teori tentang pikiran dan hal berfikir “pikiran itu hanya berguna bagi manusia apabila pikiran itu bekerja yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya”.
Fungsi berfikir adalah membiasakan manusia
untuk berbuat . perasaan dan gerak jasmaniah adalah manifestasi dari aktifitas
manusia dan keduanya itu tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berfikir.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini,
antara lain, adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant
Schiller, dan Georges Santayana.Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan
yang besar di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan
dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan
kebaikan baik secara fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan
kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang
dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter.
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai
proses dan sosialisasi. Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak didik dapat
mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya. Maka dari
itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab
belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia
bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas
eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan dinamakan
environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu
memengaruhi pembinaan kepribadiaan .
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah
sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena
sekolah adalah bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat
mengupyakan pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar
atau daerah di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini,
sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan
kepada anak didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah
itu. Untuk itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan
bentuk belajar “sekolah sambil berbuat” atau learning by doing.
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak
didik harus dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak
hanya berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value),
sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulah sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
Sebagai hasil dari pemikiran para filosuf,
filsafat telah melahirkan berbagai macam pandangan dan aliran yang
berbeda-beda. Pandangan-pandangan filosuf itu ada kalanya saling menguatkan dan
ada juga yang saling berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan
yang mereka pakai juga berbeda-beda walaupun untuk objek dan masalah yang sama.
Karena perbedaan dalam pendekatan itu, maka kesimpulan yang didapat juga akan
berbeda. Perbedaan pandangan filsafat tersebut juga terjadi dalam pemikiran
filsafat pendidikan, sehingga muncul aliran-aliran filsafat pendidikan.
2.3. PANDANGAN
TERHADAP PENDIDIKAN
2.3.1 Pandangan Perenialisme Terhadap
Pendidikan
Dalam pendidikan, kaum perenialisme
berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta
membahayakan, seperti kita rasakan dewasa ini, tidak ada satu pun yang lebih
bermanfaat daripada kestabilan dalam perilaku pendidik. Perenialisme memandang education as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan
yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai
kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa
lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut. Sejalan dengan hal diatas,
perenialis percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan
abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan
pengajaran. Pengajaran mengiplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah
kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu,
pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan hidup itu
sendiri.
Ø Tujuan pendidikan
Bagi perenialis bahwa nilai-nilai kebenaran
bersifat universal dan abadi, inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang
sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu peserta didik
menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar
mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
Ø Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan
elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan suatu
waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah
lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun
kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialis merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana
peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial
budaya.
Ø Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject
centered berpusat pada materi pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan
abadi. Selain itu materi pelajaran terutama harus
terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat
manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran
yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
Ø Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama
yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan
karya-karya besar yang tertuang dalam The great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
Ø
Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan sebagai perantara antara
dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta
mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia
melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia
seorang propesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya.
Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.[7]
2.3.2 Pandangan Essensialisme Terhadap
Pendidikan
a. Pendekatan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Secara essensial, pengetahuan dapat diketahui
melalui rasio dan realita, sehingga yang dapat menjadi modal dasar untuk
mendekati suatu pengetahuan untuk mengerti tentang rohani kita sendiri. Dengan
pengertian tentang rohani kita sendiri akan memberikan kesadaran untuk mengerti
realitas yang lain.
Manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu
hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Dengan demikian, media
antara intelek dan realita adalah seberkas penginderaan atau pengamatan.
pola dasar pendidikan essensialisme hanya berhubungan
dengan teori dasar pendidikan, sebab soal-soal praktik pendidikan adalah
masalah praktis yang dapat disesuaikan dengan kondisi yang insidental. Pola
dasar pendidikan essensialisme dikenal melalui belajar yang populer,
diantaranya.
Pertama,
pada prinsipnya bahwa belajar adalah melatih daya jiwa
yang potensial dengan menyerap apa yang berasal dari luar, terutama pada
warisan sosial budaya yang telah tersusun dalam bentuk kurikulum. Guru hanya
sebagai perantara.
Kedua,
belajar lebih awal dimulai dari diri sendiri sebagai
subjek yang kreatif dan dapat mengerti terhadap hubungannya dengan sesuatu.
Begitu pula sebaliknya, harus dapat mengerti bagaimana hubungan alam semesta
dengan pribadi beserta kegiatan konsekuensinya.
Ketiga,
belajar adalah proses penyesuaian dengan lingkungan pola
stimulus response.
c.
Kurikulum menurut Essensialisme
Kaum
essensialisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada
landasan idil dan organisasiyang kuat.. Herman Harne mengatakan, bahwa
hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamen tunggal, yaitu watak
manusia yang ideal.
Kegiatan
dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas
dasar ketentuan ini, kegiatan atau keaktifkan anak didik tidak terkekang,
asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky, mengutarakan dengan tegas, supaya kurikulum
dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang
lain. Kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat
bagian:
1. Pengetahuan, merupakan latar belakang adanya kekuatan
segala manifestasi hidup manusia, asal usul tata surya dan lain-lainnya. Basis
pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2. Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup
masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan terhadap
lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
3. Kebudayaan, merupakan karya manusia yang mencakup di
antaranya filsafat, kesenian, kesusastraan, agama, penafsiran, dan penilaian
mengenai lingkungan.
4.
Bagian yang bertujuan kepada pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal.
Realisme
mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun secara teratur satu
sama lain, yaitu disusun dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling
kompleks. Susunan ini, dapat diibaratkan sebagai susunan dari alam, yang
sederhana yang merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling
kompleks. Jadi, bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian, akan
bersifat harmonis (Jalaluddin, 1997:88-89)
d.
Tujuan Pendidikan Menurut Essensialisme
Sekolah
menurut essensialisme berfungsi untuk mendidik warga negara agar hidup sesuai
dengan prinsip-prinsip hidup dan lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
Sekolah,
merupakan tempat membina manusia dan menstransformasikan kebudayaan, warisan
sosial, serta membina kemampuan individu dan penyesuaian diri kepada
masyarakat.
Secara umum pendidikan bertujuan untuk
membentuk pribadi bahagia di dunia dan di akhirat. Isi pendidikan sebaiknya
mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan
potensi dan kehendak manusia
C. Pandangan Eksistensialisme Terhadap
Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat
menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu
dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung jawab
terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971)
mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan,
karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah
yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia, hakikat kepribadian,
dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia,
sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a. Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong
setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.
Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan
pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang
pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b. Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai kurikulum
berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan
makna dan muncul dalam suiatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene
“kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para
siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada
satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata
pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan
kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di ats
adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni. Bagi beberapa
anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun
bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa
akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikir
termasyur, memahami hakikat manusia di dunia, memahami kebenaran dan kesalahan,
kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema
yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional. Sebagai contoh
kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai
kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia
pelajari dan menyatukan dirinya dalam masalah-masalah kepribadian yang sedang
dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangkitkan pikiran dan
perasaannya serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan
perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut
diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan mengenalkan gambaran
dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat
mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang
diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh
karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c. Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller, konsep belajar mengajar
eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”.
Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap
pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses
pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau
pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya buber mengemukakan bahwa, guru
hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur. Jika guru disamakan
dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara
materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya dianggap sebagai alat untuk
mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut.
Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan
produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan
tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru
dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada
siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga
guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara pribadi dengan
pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu yang diberikan
kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu aspek yang telah
menjadi miliknya sendiri.
d. Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan
tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi yang manusia
temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan yang kita
miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan makna bagi
kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998),
seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru hendaknya member semangat kepada siswa
untuk memikirkan dirinya dalam suatu dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide
yang dimiliki siswa, dan mengajukan ide-ide lain, kemudian membimbing siswa
untuk memilih alternative-alternatif, sehingga siswa akan melihat bahwa
kebenaran tidak terjadi pada manusia melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari
itu, siswa harus menjadi factor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.
Siswa harus belajar keras seperti gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan
siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan melalui
pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak member
instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul
menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan metode utama
dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi
guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para siswa mampu
berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa
dalam pemenuhan dirinya.
D. Pandangan Progresivisme Terhadap
Pendidikan
Dasar filosofis dari aliran progresivisme
adalah Realisme Spiritualistik dan Humanisme Baru. Realisme spiritualistik
berkeyakinan bahwa gerakan pendidikan progresif bersumber dari prinsip-prinsip
spiritualistik dan kreatif dari Froebel dan Montessori serta ilmu baru tentang
perkembangan anak. Sedangkan Humanisme Baru menekankan pada penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia sebagai individu. Dengan demikian
orientasinya individualistik.
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan keseluruhan pendidikan adalah
melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai
kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap
anak. Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan, alat dan
pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman problem solving.
2. Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik
pada titik sumbu sekolah (child-centered). Mereka lalu berupaya mengembangkan
kurikulum dan metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan,
dan inisiatif subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik tolak bagi
pengalaman belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum progresivisme
adalah kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah
kurikulum yang “berpusat pada pengalaman”.
Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa, dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Disini guru menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya belajar berbagai keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan keinginan terbarunya.
Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa, dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Disini guru menggunakan ketertarikan alamiah anak untuk membantunya belajar berbagai keterampilan yang akan mendukung anak menemukan kebutuhan dan keinginan terbarunya.
Akhirnya, ini akan membantu anak (subjek
didik) mengembangkan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah dan membangun
‘gudang’ kognitif informasi yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sosial .
3. Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan
oleh aliran progresivisme diantaranya adalah;
· Metode
Pendidikan Aktif, Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan
fasilitas yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada
setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya;
· Metode
Memonitor Kegiatan Belajar, Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri,
sambil memberikan bantuan-bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar
berlangsung kegiatan belajar tersebut;
· Metode
Penelitian Ilmiah, Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian
ilmiah yang tertuju pada penyusunan konsep;
· Pemerintahan
Pelajar, Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam kehidupan
sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah;
· Kerjasama
Sekolah Dengan Keluarga, Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama
antara sekolah dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan yang
seluas-luasnya bagi anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua minat dan
kegiatan yang diperlukan anak;
· Sekolah
Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan, Sekolah tidak hanya tempat untuk
belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan
baru pendidikan.
4. Pelajar
Kaum progresif menganggap subjek-subjek didik
adalah aktif, bukan pasif, sekolah adalah dunia kecil (miniatur) masyarakat
besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada praktik pemecahan masalah, serta
atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang kooperatif dan demokratis. Mereka
menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak (child-centered). Mereka
menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan
orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan
sendiri, mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri yang berbeda dengan
orang dewasa.
5. Pengajar
5. Pengajar
Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai
peranan sebagai;
· Fasilitator,
orang yang menyediakan diri untuk memberikna jalan kelancaran proses belajar
sendiri siswa;
· Motivator,
orang yang mampu membangkitkan minat siswa untuk terus giat belajar sendiri;
· Konselor,
orang yang membantu siswa menemukan dan mengatasi sendiri masalah-masalah yang
dihadapi oleh setiap siswa.
Dengan demikian guru perlu mempunyai
pemahaman yang baik tentang karakteristik siswa,dan teknik-teknik
memimpin perkembangan siswa,serta kecintaan pada anak agar dapat
menjalankan peranannya .
BAB III
KESIMPULAN
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa, perenialisme merupakan
aliran yang menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru. Dikarenakan para perenialis menganggap bahwa dunia
ini semakin krisis dalam berbagai bidang.
Jalan yang ditempuh oleh kaum perenialisme
adalah dengan jalan mundur kebelakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai
atau prinsip-prinsip umum yang setelah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat
pada zaman kuno dan pertengahan. Peradaban kuno (Yunani Purba) dan abad
pertengahan dianggap sebagai dasar budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke
masa, dari abad ke abad. Tokoh-tokoh yang berperan dalam mendasari aliran
perenialisme adalah Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.
Para perenialis memiliki
pandangan bahwa
dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta membahayakan, seperti kita rasakan
dewasa ini, tidak ada satupun yang lebih bermanfaat daripada kestabilan dalam
perilaku pendidik. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Filsafat
eksistensialisme lebih menfokuskan pada pengalaman-pengalaman manusia. Dengan
mengatakan bahwa yang nyata adalah yang dialaminya bukan diluar kita. Jika
manusia mampu menginterpretasikan semuanya terbangun atas pengalamannya. tujuan
pendidikan adalah memberi pengalaman yang luas dan kebebasan namun memiliki
aturan-aturan. Peranan guru adalah melindungi dan memelihara kebebasan akademik
namun disisi lain guru sebagai motivator dan fasilitator
Dari paparan makalah diatas dapat disimpulkan
bahwa; Pertama, Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan
penyelenggaraan pendidikan disekolah berpusat pada anak (child centered), sebagai
reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang berpusat pada guru
(teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-centered). Progresivisme
menghendaki pendidikan yang pada hakikatnya progresif. Tujuan pendidikan
hendaknya diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus-menerus, agar
peserta didik dapat berbuat sesuatu yang inteligen .
Kedua,
Meskipun Progresivisme dianggap sebagai aliran pikiran yang baru muncul dengan
jelas pada pertengahan abad ke-19, akan tetapi garis perkembangannya dapat ditarik
jauh kebelakang sampai pada zaman Yunani purba yaitu melalui
pemikiran-pemikiran Hiraclitus, Socrates, Protagoras, dan Aristoteles. Kemudian
sejak abad ke-16, Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant, dan Hegel dapat
disebut sebagai penyumbang pikiran-pikiran munculnya aliran Progresivisme.
Sedangkan pada abad ke- 19 dan ke-20, tokoh-tokoh Progresivisme banyak terdapat
di Amerika Serikat diantaranya adalah Thomas Paine,
Thomas Jefferson, Charles S. Peirce.Ketiga,
Progresivisme berpandangan bahwa tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih
anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan
bekerja dengan otak dan hati. Mereka berupaya mengembangkan kurikulum dan
metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif
subjek didik. Metode pendidikan yang biasa mereka pergunakan diantaranya
adalah; Metode Pendidikan Aktif, Metode Memonitor Kegiatan Belajar, Metode
Penelitian Ilmiah, Pemerintahan Pelajar, Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga,
Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan. Mereka menganut prinsip pendidikan
perpusat pada anak (child-centered). Guru dalam melakukan tugasnya mempunyai
peranan sebagai Motivator, Fasilitator, dan Konselor.
Menurut progresivisme, nilai berkembang terus
karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara nilai dengan individu yang
telah disimpan dalam kebudayaan. Menurut aliran ini, tujuan pendidikan adalah
untuk mencapai kehidupan yang baik bagi individu dan masyarakatProgresivisme
menekankan pada perubahan dan sesuatu yang baru. Progresivisme berpendapat
bahwa tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut progresivisme
bersifat dinamis dan temporal, tidak pernah sampai pada yang paling extrim
serta pluralistis. Menurutnya nilai berkembang terus karena adanya pengalaman -pengalaman
baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan.
Progressivisme dinamakan environmentalisme
karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan
kepribadian.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual,
yang berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses.
Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Zainal. 2011. Pengantar Filsafat Barat. (Jakarta): Rajawali Pers.
Achmadi.
Asmoro. 2009. Filsafat umum. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan; Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1997
Mudyahardjo, Redja. Pengantar Pendidikan; Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Cet
Bernadib,
Imam. 1976. Filsafat pendidikan. Yogyakarta. Karang Malang
Dinn Wahyudin, dkk, pengantar
pendidikan, (Jakarta): Universitas Terbuka, 2010
Drijarkasa.
2011. Filsafat manusia.Yogyakarta. kanisius.
Drs, Amsal Amri, studi
filsafat pendidikan, (Banda Aceh): yayasan Pena, 2009
Drs. Parasetya, filsafat
pendidikan, (Bandung): Pustaka Setia, 2002
Drs. Zuhairini, dkk, filsafat
pendidikan islam, (jakarta): Penerbit Bumi Aksara, 2008
Gandhi
HW, TW. 2011. Filsafat pendidikan mazhab-mazhab Filsafat pendidikan. Jojakarta.
Ar-ruzzmedia.
Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan: Sistem dan Metode, (Yogyakarta): Andi Yogyakarta, 2011
J.
Waluyo. 2007. Pengantar filsafat ilmu (buku Panduan mahasiswa). Salatiga. Widya
Sari.
Mudyahardjo, Redjo, Pengantar
Pendidikan, (Jakarta): PT Raja Grafindo Persada, 2002
Prof. DR. A. Chaedra
Alwasiah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung):Pt
Remaja Rosdakarya, 2008
Sadulloh,
Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat pendidikan. Bandung: Alfabeta.
[3] Di Download pada tanggal, 3 November 2014, http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2011/12/23/filsafat-pendidikan/
[6][8] Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP, 1982, hlm. 38-40. Lihat
dalam Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2009, Cet. V, hlm. 25-26.
No comments:
Post a Comment