PENGERTIAN DAN
MASA PENYUSUNAN ITIHÀSA

Oleh: I Nyoman Ariyoga
2.1 Pengertian Itihàsa
Epic, epos atau
Vìracarita, yakni Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata menurut J. N. Farquhar dalam bukunya
An Outline of the Religious Literature of
India (1984:44, Mishra, 1989:1)) asalnya adalah cerita kepahlawanan,
selanjutnya menjadi sejarah susastra agama dan menempati kedudukan sangat
penting sebagai sumber utama bagi masyarakat pada umumnya, dan juga
(kitab-kitab Itihàsa ini) sebagai pertanda awalnya muncul sekta-sekta dalam Agama
Hindu (Hinduisme). Kata Itihàsa terdiri dari 3 bagian yaitu: iti + ha + àsa. “iti” dan “ha” adalah kata tambahan yang “indiclinable”
di dalam bahasa Inggris. “Asa” adalah kata kerja “verb” di dalam bahasa
Inggris. Arti kata Itihàsa adalah: “ini sudah terjadi begitu” (it happened so). Dahulu kala, beberapa
juru cerita tua, biasanya menceritakan cerita-cerita tentang raja-raja dan
lain-lain kepada anak-anak laki-laki dan perempuan. Setelah cerita berakhir
mereka biasanya berkata kepada pendengarnya: “Awas anak-anak, cerita ini memang
sudah terjadi begini” (iti = begini, ha = tentu, àsa = sudah terjadi). Dengan perlahan-lahan tiga kata itu sudah
menjadi gaya dalam bercerita. Tiga kata sudah bersatu, yaitu: itihàsa, yang
dimaksud: ‘sejarah raja-raja’, dan sebagainya. Demikian maka kata itihàsa yang
pada mulanya hanya sebagai tradisi dari mulut ke mulut kemudian bermakna
sebagai sejarah.
Di dalam kitab
Mahàbhàrata, tepatnya pada Svargarohaóaparva (parva ke-18) kitab Mahàbhàrata
dinyatakan sebagai berikut.
Itihāsamimaý puóyaý mahārthaý Vedasammitam,
Vyāsoktaý śruyate yena kåtvā brāhmaóamagrataá.
M.B.Svargarohaóaparva 5.
57.
Cerita suci ini adalah peristiwa
sejarah, dan mengandung makna yang dalam, dan kandungan ajaran yang ada pada cerita ini sama seperti
ajaran suci Veda. Karya Maharûi Vyàsa hendaknya di dengar terlebih bagi seorang
Bràhmaóa.
Di dalam kitab Amarakoûa,
karya Amaåûiýha kita mendapat kata lain
yaitu: àkhyàyikà yang mempunyai makna sama dengan itihàsa (sejarah):
Àkhyàyikopalabdhàrta
Amarakoûa I.6.5
‘Àkhyàyikà adalah cerita yang
benar-benar terjadi’.
Sesungguhnya itihàsa sedikit
berbeda dengan puràóa. Tujuan utama Puràóa adalah menyampaikan cerita-cerita
pendidikan keagamaan sedang tujuan itihàsa adalah menceritakan sejarah
semata. Itihàsa disebut juga vìracarita atau cerita kepahlawanan. Ada dua
Itihàsa yang sangat terkenal di seluruh dunia, yaitu: Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata.
Kedua vìracarita atau epos besar ini disebut juga àrûakàvya. Kata àrûakàvya
berarti ‘syair yang sangat indah’ dan
menyenangkan ditulis oleh para åûi. Penyusun Ràmàyaóa adalah Maharûi Vàlmìki dan
penyusun Mahàbhàrata adalah Maharûi Kåûnadvaipàyana Vyàsa yang juga menghimpun
mantra-mantra kitab suci Veda, menulis puràóa dan kitab Brahmàsùtra atau
Vedàntasàra (Mishra, 1989:16, Titib,
1998:6).
Lebih jauh di dalam Amarakoûa I.4.4 kata Itihàsa diterjemahkan “puravåtta”,
(in the truth it was signifies) yang menunjukkan sesuatu hal telah terjadi di
masa yang silam. Dalam perkembangan selanjutnya dalam literatur Sanskerta
diberi arti yang sangat sederhana, ‘mite’, ‘legenda’, ‘cerita’ dan sering
dihubungkan dengan kata dan diartikan sama dengan kata cerita, àskhyàna,
akhyàyikà, kàthà dan sejenisnya. Apabila kita menerima pengertian
tersebut sepenuhnya, yaitu ‘suatu
kejadian di masa yang silam, yang dihubungkan dengan cerita dan berkaitan
dengan petunjuk tentang tugas-kewajiban, keberuntungan, cinta kasih dan tujuan
akhir manusia berupa kebebasan
(puruûàrtha) disebutkan di dalam istilah Itihàsa. Itihàsa sebagai sarana
penunjang pendidikan, dan dalam susastra Sanskerta mendukung pengertian bahwa
seuatu itu dipercaya benar-benar ada. Menurut Àúvalàyana Gåhyasùtra (IV.6.6),
ketika seseorang meninggal, sahabat-sahabatnya duduk bersama di sekeliling
jenasah, membacakan cerita orang terkenal zaman dahulu. Dalam suasana dukacita
itu dibacakan dengan irama tertentu juga kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa
(Kapoor, II, 2001: 952). Tradisi dari zaman Veda di India tersebut masih terus
berlangsung hingga kini di Bali (Indonesia), bahwa pada setiap ada upacara
kematian, pembacaan karya sastra, umumnya berbahasa jawa Kuno selalu dilakukan,
tentunya dengan harapan, pembcaan itu sebagai “phalaúloka” memberi manfaat kepada àtmà yang
meninggal, keluarga yang ditinggalkan dan masyarakat umat pendengarnya.
Maharûi Kauþilya
(Arthaúàstra V. 6. 225. 1) menyatakan bahwa dengan mendengarkan pembacaan
kitab-kitab Itihàsa, sebagai tugas dan kewajiban harian dalam arti seorang raja
akan memperoleh pendidikan yang sempurna (Arthaúàstra I.5.10.14), dengan Itivåtta
dan Puràóa (yang merupakan element dari Itihàsa) juga dianjurkan kepada
para menteri, dengan harapan, jangan sampai terjadi penyimpangan dalam
melaksanakan pemerintahan oleh seorang raja.
Kitab Mahàbhàrata
digambarkan sebagai ‘itihàsa mahàpuóyaá’ (Itihàsa mengandung nilai-nilai
kebajikan yang utama/Àdiparva 112.16) dan sering juga disebut ‘puóyaá kàthàá’
(cerita penuh kebajikan). Di dalam beberapa Itihàsa yang umumnya mengutip kitab
Mahàbhàrata dapat ditemukan formulasi ‘atrapy udàharantimàm itihàûa
puratamam’ ‘sekarang mulai dengar cerita tentang Itihàsa kuno, dengar
uraian berikut’. Cerita Itihàsa banyak mengandung unsur-unsur pendidikan, dan hal ini sangat dominan di
dalamnya. Jalinan sejarahnya seakan-akan tidak nampak. Demikian dapat dijumpai
dalam Mahàbhàrata XII.391.14: ‘Sungguh tidak diragukan lagi, wahai Maharûi,
seperti pisau belati yang dihujamkan ke hulu hati saya, air mata saya mengalir
mendengarkan pembacaan kitab Itihàsa, inilah puncak kerinduan saya, semoga juga
hal ini menentramkan hati kami’.
Maharûi Kauþilya di dalam
2 úlokanya (I.5.10.15) memahami makna Itihàsa dalam pengertian kolektip yang
terdiri dari 6 kelompok, yaitu: puràóa, itivåtta, àkhyayika, udàharana,
dharmaúàstra, dan arthaúàstra. Keseluruhan kelompok itu dianggap
benar, dan menyegarkan dalam memecahkan berbagai kesulitan. Kitab Mahàbhàrata
sendiri menyebutkan bahwa kitab ini adalah Itihàsa yang terbaik (I.1.266) dan
seterusnya. Lebih jauh dapat dipercaya bahwa di masa yang silam India
eksistensi Itihàsa atau Itihàsavada telah sangat merakyat dan populer, seperti
dinyatakan berikut: “Di dalam pàriplavan
àkhyànam, siklus ritual selama 10 hari dari upacara Aúvamedha, dan diulangi
dalam setahun, dalam upacara kuda yang dijadikan sararan upacara itu mengembara
seluas-luasnya setiap hari, diikuti oleh para petinggi dan sang raja, dan
upacara ini dipimpin oleh seorang pandita yang disebut hotå. Hari
pertama persembahan ditujukan kepada Manu Vaivaúvata sebagai raja dan manusia sebagai rakyatnya dan
mantra-mantra dari kitab suci Ågveda dirapalkan. Pada hari kedua persembahan
ditujukan kepadaYama Vaivaúvata, para pitara, dan kàóða ke-3 dari
Yajurveda yang dirapalkan. Pada hari ke-3 ditujukan kepada Varuóa Àditya, para
Gandharva, dan parva dari Atharvanah. yang dirapalkan. Pada hari k-4
persembahan ditujukan kepada Soma Vaiûóava dan para Apsara, dan parva dari
Aògirasaá yang dirapalkan. Pada hari ke-5 persembahan ditujukan kepada Arbuda
Kàdraveya, dan para ular naga. Pada hari ke-6 persembahan ditujukan kepada
Kubera Vaúiúravàna, para ràkûasa
dan parva Devajanavidyà yang dirapalkan atau Rakûoviyà atau Paúcavidyà. Pada
hari ke-7 persembahan ditujukan kepada Asiþà Dhanvana, para asura dan
màyà dengan pembacaan Asuravidyà. Pada hari ke-8 ditujukan Matsya Sammada, monster air dan Itihàsa dari
Puraóavidyà yang dirapalkan. Pada hari ke-9 ditujukan kepada Tarkûya
Vaipasyata, raja burung dan Puràóa dari Puràóaveda yang dirapalkan dan pada
hari ke-10 ditujukan kepada Dharma Indra, para devatà dan Sàmaveda yang
dirapalkan. Jelaslah dapat dirunut seri kitab yang dirapalkan yaikni Ågveda,
Yajurveda, Atharvànaá, Aògirasaá,
Sarpavidyà (Viûavidyà), Devajanavidyà atau Rakûàrividyà dan
Paiúacavidyà, Màyà atau Asuravidyà, Itihàsa, Puràóa dan Sàmani (Sàmaveda).
Daftar yang sama terdapat pada beberapa teks susastra Veda, seperti Úatapatha
Bràhmaóa XIX. V.4.10, Båhadàraóyaka Upaniûad II.4.10, IV.1.2, XI.5.6.,
Taitirìya Àraóyaka II.9. Aúvalàyana Gåhyasutra III.3.1, Atharvaveda XV.6.3.
Dalam daftar kuno di
atas, selalu ditemukan posisi berpasangan antara Itihàsa dan Puràóa, dalam hal
tertentu sebagai kata majemuk “dvàndva”. Tidak diragukan lagi sejak kitab
suci Veda dituliskan kembali, keberadaan
cerita-cerita Itihàsa atau Puràóa atau diberi topik Itihàsa-Puràóa dan
diperhitungkan (termasuk) dalam Veda, demikian pula dalam Arthaúàstra,
disebutkan eksistensi Itihàsaveda yang
masih berkembang di sekitar abad ke-3 Sebelum Masehi. Para penulis sekarang
berpendapat bahwa hampir di semua susastra Sanskerta kita menemukan pengertian
tentang Itihàsapuràóa yang kuno itu. Materi cerita rupanya dikumpulkan dari cerita-cerita
yang diambil dari kitab-kitab Bràhmaóa, cerita
di dalam Veda dan cerita-cerita lisan tentang kepahlawanan yang sangat memasyarakat
saat itu.
Dari kitab Nirukta karya
Yàska kita mengetahui adanya salah satu cabang pembelajaran Veda (Vedic School) yang dikenal dengan
Aitihàsika, diberi nama demikian karena di dalam menfasirkan mantra-mantra Veda
atau sùkta Veda tertentu, menggunakan pendekatan Itihàsa. Yàska melampirkan
narasi singkat sebagai suplemen yang menunjukkan eksistensi Itihàsa atau Àkhyàyana. Seperti
subjek yang dibahas dalam pengantarnya, masih nampak kelanjutan dari
kitab-kitab Bràhmaóa. Demikian ditemukan istilah Itihàsa di dalam Båhaddevatà
dan di dalam Anukràmaói untuk kitab suci Ågveda, dan komentar dari masa
pertengahan seperti Devaràja, Durgà, Sadguruúiûya dan teristimewa Sàyaóa
ditemukan hal yang sama. Bahkan di dalam teks yang nampak lebih modern masih
juga dipertahankan.
Masih barangkali perlu
diamati, akhirnya bahwa hubungan antara sùkta Veda dengan Itihàsa merupakan
subjek yang belum serasi di dalam philologi Veda. E. Windisch telah lebih awal memperkirakan
bahwa himne Purùrava dan Urvaúì (Ågveda X) merupakan narasi dari konteks
Itihàsa ini. Idea ini kemudian dikembangkan oleh H. Oldenberg yang mengajukan
teori bahwa sejumlah mantra Ågveda secara actual merupakan dalil yang diambil
dari prosa dinarasikan sebagai media bagian dari metrum, dan mesti diakui sangat
populer di masa India Kuno. Untuk transmisi yang sistematik ini Oldenberg
menyebutnya àkhyàyana, dalam salah satu contohnya adalah kisah Úunahsepam
Àkhyànam. Kiranya sudah cukup, ia berpandangan untuk mengajarkan dan belajar
tentang mantra-mantra Veda merupakan satu bagian saja, sementara metrum prosa,
bahasa yang tidak selalu seperti itu, sayang sekali tidak terhitung jumlahnya generasi penerus
sebagai pencerita, kehilangan keasliaanya. Teristimewa, dalam konteks prosa
yang merupakan tradisi yang belakangan yang mesuplai untuk himne-himne
Àkhyàyana Ågveda, menurut Oldenberg, ternyata tidak asli secara keseluruhannya,
namun demikian masih nampak kelanjutan dari tradisi itu. Teori Àkhyàna yang
disampaikan oleh Oldenberg secara umum dapat diterima. Pischel, Geldner, dan
penulis dewasa ini pada umumnya setuju dengan pandangan itu.
Di lain pihak, S. Levi
menyatakan bahwa umumnya dialog yang terdapat dalam himne Ågveda demikian jelas
dan tidak memerlukan sebuah cerita untuk menghubungkannya bersama, semata-mata
bacaan dari semacam pemandangan yang dramatis. Sebagai bukti, faktanya Max
Muller telah menyatakan sebagai aksi dramatis dalam hubungannya dengan Ågveda I.165. Berbeda dengan dua sarjana di
atas, J. Hartel menolak teori Àkhyàna,
ia mengaggap semua himne Saývàda dalam Ågveda adalah sebuah nyanyian drama yang
responsive, yang dipertunjukkan dalam kegiatan
pada upacara Yajña dan diyakini merupakan benih-benih tumbuhnya seni
drama India. L. von Schroeder mengambil langkah lebih jauh menjelaskan bahwa
semua himne tersebut sebagai drama
ritual. Winternitz menerima jalan tengah dari kedua pandangan yang berbeda di
atas, mangajukan teori nyanyian dialog Ågveda tidak semua dapat dijelaskan
dengan teori yang sama. Beberapa di antaranya adalah balada yang di dalamnya
segala sesuatu diceritakan dalam kata-kata yang teliti, oleh karenanya
introduksi prosa hanya penting dalam kasus tertentu, beberapa adalah fragmen
puisi yang disusun dengan narasi secara terpisah, dan beberapa unsurnya tidak
dapat diselamatkan, dan sebagian lainnya dianggap sebagai úloka berkaitan
dengan drama ritual.
A.B. Keith (dalam Kapoor,
953-955) memperdebatkannya bahwa sangat tidak mungkin untuk benar-benar
mendapatkan bukti yang kuat dari berbagai teori itu. Ia mengatakan bahwa di
dalam susastra Veda kuno tidak ada bekas apakah hal itu merupakan pengetahuan
sebuah puisi-prosa Àkhàyana seperti dikemukan oleh Oldenberg, tetapi
sepertinya dalam rangkaian upacara atau
seperti yang dikatakan oleh von Schroeder, kedua tipe nampaknya sejalan dalam
kaitannya dengan teks ritual dari kitab suci Veda. Simpulan Keith, menurutnya
hal itu bukan penjelasan yang menghasilkan sebuah solusi dalam semua penjelasan
tidak juga merupakan penjelasan sebuah solusi dalam semua aspek yang memuaskan dan
hal itu masih tertutup.
Itihàsa disebut juga
Vìracarita atau epos memuat berbagai aspek pemikiran keagamaan yang pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan dari bangsa Arya, baik berkaitan dengan sejarah
politiknya, sejarah keagamaannya, maupun sejarah perkembangan idea-idea
filsafat di India dan merupakan mata rantai yang tidak pernah putus dengan masa
lampau, masa yang mendahuluinya, sering terjadi adanya masukan yang baru ke
dalam yang lama, sehingga timbullah “liberalisme konservatif” dan hal ini yang
mendorong tercapainya hasil-hasil yang gemilang di lapangan kebudayaan dan
peradaban India (Radharishnan, 1989:43).
Ràmàyaóa karya Maharûi
Vàlmìki disebut Mahàkàvya yang artinya karya puisi yang besar (agung). Yang
memenuhi semua persyaratan sebuah naskah dalam bentuk puisi. Pengarangnya
disebut Mahàkavi. Sebagai persyaratan sebuah Mahàkàvya diperlukan adanya pahlawan laki-laki dan pahlawan
perempuan. Dewi Sìtà dalam Ràmàyaóa memegang peranan yang sangat penting dan
dominan sebagai pahlawan wanita dalam mahakarya tersebut (Shastri, 2006:63).
Cerita Ràma sesungguhnya
merupakan tuntunan mulia untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia, sejak
masa yang silam hingga dewasa ini masih relevan. Cerita ini sama seperti amåta,
sama seperti Sungai Gaògà yang maha suci (nadìtama). Cerita ini mengandung
koleksi beberapa idealisme agung seperti putra yang dermawan, kakak yang ramah,
suami yang tercinta dan penuh tanggung jawab. Ayah yang memenuhi kewajiban dan
contoh raja bijak pelindung warga negara, Ràma yang merupakan tokoh dan
pahlawan utama dalam Ràmàyaóa dianggap lebih tinggi dari Gunung Sumeru, lebih
besar dari langit, lebih dalam dibandingkan dengan dalamnya samudra dan
lain-lain memuji kemuliaan Úrì Ràma, oleh karena itu cerita ini sangat terkenal
di seluruh dunia. Di Asia Timur dan Tenggara cerita Úrì Ràma sudah sangat
populer dan menduduki tempat yang sangat terhormat. Di Laos cerita Ràma dikenal
sebagai Fa Lak-Fa Lam (Lak = Lakûamaóa, Lam= Ràma, Ràma dan Lakûamaóa). Di Thailand dikenal sebagai
Ràmakien dan di Indonesia dikenal
sebagai Ràmàyaóa Kakawin. Cerita Ràma ini sangat umum sebagai cerita wayang
Indonesia (Mishra, 1988:16).
Istilah Yunani “epos” adalah padanan dari istilah Sanskerta
Itihàsa. Kedua epos Iliad dan Odisseus (Odyssey) dan buku I Sejarah dari Titus-Livius merupakan padanan
Yunani-Romawi kuno (Pra-Nasrani), dari Mahàbhàrata dan Ràmayana. Istilah Yunani
“epos” menjelma menjadi istilah “epopee”
di dalam bahasa Perancis (Tristani, 2002:1). Bimal Krishna Matilal (1989:4) menyatakan
bahwa Mahàbhàrata yang terdiri dari 200.000 baris lebih, delapan kali lebih
besar dibandingkan dengan Illiad dan Odyssey digabungkan menjadi satu.
Seperti telah umum diketahui bahwa Itihàsa terdiri dari dua
epos besar (vìracarita) yaitu Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata. Itihàsa, juga termasuk
kitab-kitab Puràóa dinyatakan sebagai jantung hati, atau nurani dari ajaran Agama
Hindu (Klostermaier, 1990:74) yang menunjukkan kepada kita bahwa sumber ajaran Agama
Hindu, di samping tentunya Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa adalah
kitab-kitab Itihàsa dan juga Puràóa. Dalam kedua jenis kitab-kitab tersebut
kita mendapatkan contoh pengamalan, implementasi ajaran Agama Hindu untuk
kehidupan sehari-hari. Di antara kedua
epos tersebut Ràmàyaóa ternyata lebih tua dibandingkan dengan Mahàbhàrata.
Untuk membuktikan hal tersebut dapat dirunut dari beberapa hal, antara lain:
1) Maharûi Vàlmìki tampak bersinar
di Indraloka, istana dewa Indra, di Kahyangan disebutkan dalam Sabhaparva
(7.16) Mahàbhàrata.
2) Disebutkan pula di dalam
Udyogaparva (83.27) Mahàbhàrata, Maharûi Vàlmìki bertemu dengan Úrì Kåûóa yang
sedang berangkat menuju Hastinàpura sebagai seorang utusan dari pihak Paóðava.
3) Sàtyaki (salah seorang
pahlawan di pihak Paóðava) membaca syair Ràmàyaóa yang disusun oleh Maharûi
Vàlmìki, setelah membunuh raja Bhùriúrava dalam perang Bhàratayuddha dinyatakan
dalam Droóaparva (143) Mahàbhàrata.
4) Di dalam Anuúàsanaparva
(8.8) Mahàbhàrata dijelaskan bahwa Maharûi Vàlmìki menguraikan manfaat pemujaan
(kebhaktian) kepada Sang Hyang Úiva (Mani,1989: 823). Sebaliknya pada kitab
Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki tidak dijumpai uraian atau keterangan apapun
tentang kitab Mahàbhàrata karya Maharûi Vyàsa atau Kåûóadvaipàyana.
5) Lebih jauh G. S. Altekar
dalam bukunya Studies on Vàlmìki Ràmàyaóa
(1987: 53) menyatakan bahwa sama sekali tidak ditemukan informasi tentang
Bhàrata atau Mahàbhàrata di dalam kitab Ràmàyaóa. Tidak ditemukan sama sekali
satu nama maupun uraian tentang suatu kejadian dalam cerita Mahàbhàrata.
Sebaliknya uraian ringkas tentang Ràmàyaóa diuraikan dalam 25 episode dari
Àraóyaka atau Vànaparva (257-276) Mahàbhàrata edisi Kumbhakonam. Beberapa
kejadian diceritakan di antaranya dalam topik Ràmopàkhyàna.
6) Di dalam Droóaparva
(59.29) disebutkan Maharûi Vyàsa menggambarkan keutamaan perilaku Úrì Ràma,
“semua orang meneladani sikap yang dilakukan oleh Úrì Ràma. Seluruh dunia
senantiasa menjadikan Úrì Ràma sebagai teladan, ketika Úrì Ràma memerintah” dan
banyak lagi cerita atau nasehat yang terdapat di dalam Mahàbhàrata mengutip
úloka Ràmayaóa karya Vàmìki.
7) Demikian pula di dalam
Adiparva (204.5-6) Mahàbhàrata, Vidura, seorang Menteri dari raja Dhåtaràûþra
memberi nasehat sebagai berikut: Ada dua orang utama yang sangat mulia pada
masanya, cerdas dan bijaksana, wahai raja, nasehatilah putra anda dan putra
Paóðu. Yang selalu mengikuti kebenaran dan taat kepada hukum, kedua orang
tersebut adalah pertama Mahàràja Bhàrata dan tidak diragukan lagi yang kedua
adalah Úrì Ràma, putra Mahàràja Daúaratha, keturunan Maharûi Gaya” (Trikha,
1981:10).
8) Lebih jauh dalam cerita
16 raja secara ringkas diuraikan di dalam kitab Úàntiparva Mahàbhàrata.
Yudhiûþhira sangat menderita dan menyesali banyak korban yang mengerikan gugur
dalam perang besar keluarga Bhàrata. Kemenangan dalam perang dan kerajaan yang
ia peroleh kembali tidak memberikan kedamaian dalam pikirannya. Arjuna memohon
kepada Úrì Kåûóa untuk menenangkan dan membangkitkan kesadarannya. Úrì Kåûóa
kemudian menceritakan 16 raja kuno yang sangat terkenal. Ia menceritakan 16
raja kuno yang agung dan senantiasa menegakkan kebenaran semasa hidupnya sampai
mereka meninggalkan dunia ini. Mengapa Yudhiûþhira menyesali mereka yang gugur
dalam pertempuran? Dari enam belas raja tersebut, Úrì Ràma adalah yang sangat
terkenal sebagai penegak kebenaran. Úrì Kåûóa menjelaskan dengan panjang lebar
keutamaan Úrì Ràma yang sangat ideal dan patut diteladani, barangkali sangat
sesuai menurut pandangan Yudhiûþhira yang mengharapkan segera pulih
kesadarannya dan memerintah kerajaan, meneladani model pemerintahan Úrì Ràma
(Atlekar, 1987: 58).
9) Di dalam Bhagavadgìtà,
yang merupakan bagian dari Bhìûmaparva,
diuraikan bahwa Úrì Kåûóa menjelaskan kepada Arjuna untuk tidak
ragu-ragu dalam pikirannya dan menjadikannya siap untuk bertempur. Dalam
adhyàya X, 31, Úrì Kåûóa menjelaskan
Vibhùti Yoga atau ‘perwujudan dari kekuatan suci’. Dalam adhyàya tersebut dijelaskan:
“Di antara para pahlawan yang memegang senjata, Aku adalah Ràma”. Hal ini
menunjukkan bahwa Ràma ada lebih dahulu dari Úrì Kåûóa. Úrì Kåûóa populer
dengan nama yang lain, yakni Vàsudeva. Dalam adhyàya X.37 Bhagavadgìtà, Úrì
Kåûóa menyatakan: “Aku adalah Vàsudeva di antara para Våûói” (Atlekar, 1987:
59).
Berdasarkan uraian
tersebut jelaslah bahwa kitab Ràmàyaóa lebih tua usianya dibandingklan dengan
kitab Mahàbhàrata. Rajendra Singh Kushwaha (2003:22) menegaskan bahwa Śrì Ràma
tidak dapat dipandang sebagai tokoh mitologis atau pahlawan dalam epos.
Arkeologi modern belum mampu mengungkapkan
periodisasi dari Śrì Ràma dan Bhàratiya (masyarakat India) tidak dapat
menerima Śrì Ràma sebagai semata-mata tokoh mitologis, dan kini bukti-bukti
sejarah jelas dan terus menerus diungkapkan. Dapat pula ditambahkan dewasa ini,
dalam bahasa Hindi yang merupakan perkembangan dari bahasa Sanskerta, kata
Itihàsa berarti sejarah (history) dan
bila mengamati jurusan sejarah di sebuah Universitas atau College di India, ditemukan
papan nama Itihàsa Vibhaga yang artinya Department
of History atau jurusan sejarah.
Di lihat dari isinya,
sesuai dengan úloka dalam Àdiparva, maka kitab Mahàbhàrata digambarkan sebagai
kitab Dharmaúàstra, sebagai Arthaúàstra, sebagai Kàmaúàstra, dan sebagai
Mokûaúàstra (arthaúàstramidaý proktaý
dharmaúàstramidaý mahat kàmaúàstramidaý proktam vyàsenàmitabuddhinà). Lebih
jauh dinyatakan bahwa apa saja tentang ajaran dharma, artha, kàma dan mokûa,
terkandung dalam kitab Mahàbhàrata ini, barangkali dapat di jumpai di
tempat-tempat lainnya, tetapi apa yang tidak ada di dalam kitab ini tidak akan
pernah dijumpai di kitab-kitab lainnya (Dharme
cārthe ca kāme ca mokûe ca Bhàratarûarbha, yadihāsti tadanyatra yannehāsti na
kutra kvacit. Svargarohaóaparva V.50).
Úloka Svargarohaóparva
V.50 di atas diterjemahkan dalam kitab Sarasamuccaya berbahasa Jawa Kuno
sebagai berikut.
“Anaku kamuò Janamejaya, salviriò varavarah, yàvat
makapadàrthangcaturvarga, sàvataranya, sakopanyasanya, hana juga ya òke, saòskûepanya,
ikaò hana òke, ya ika hana iò len saòkeriki, ikaò tan hana òke, tan hana ike
riò le saòkeriki”.
Sarasamuccaya 1.
“Anakda Janamejaya,
segala ajaran tentang catur varga (Dharma, Artha, Kàma, dan Mokûa) baikpun
sumber, maupun uraian arti atau tafsirnya, ada terdapat di sini; singkatnya,
segala yang terdapat di sini akan terdapat dalam sastra lain; yang tidak
terdapat di sini tidak akan ditemukan dalam sastra lain dari sastra ini”
A.N. Jani (1989:69)
menambahkan, bahwa Mahàbhàrata tidak hanya puisi sejarah kepahlawanan
(itihàsa), tetapi juga merupakan buku hukum dan moralitas (dharmaúàstra), buku
etika (tata susila) atau nìti, dan faktanya merupakan sebuah buku ensiklopedia
tentang budaya India, yang di dalamnya terdapat berbagai permasalahan moralitas.
Menurut S. G.
Kantawala (1989:89) Mahàbhàrata merupakan kompedium berbagai legenda,
cerita-cerita, pengajaran dan pendidikan, hukum, moral, filsafat, dan
sebagainya. Mahàbhàrata juga disebut sebuah Kavya (Àdiparva 1.173), sebuah
Dharmaúàstra (Àdiparva 56.21) dan sebuah cerita kepahlawanan (Itihàsa) seperti
dijumpai dalam Àdiparva (56.21, 56.19, 1.17, 1.52, 56.18). Berdasarkan kutipan
di atas Mahàbhàrata merupakan sebuah cerita berbingkai yang di dalamnya
terkandung berbagai pengetahuan, moralitas, hukum, pendidikan budi pekerti,
filsafat hidup, cerita kepahlwanan, dan sebagainya.
2.2 Ruang Lingkup dan Jumlah Kitab-Kitab Itihàsa
Seperti telah disebutkan
di atas kitab Itihàsa terdiri dari dua kitab besar, yaitu Ràmàyaóa dan
Mahàbhàrata. Ràmàyaóa tertua adalah Ràmàyaóa berbahasa Sanskerta karya Àdikavi Vàlmìki, sedang
Mahàbhàrata karya Maharûi Vyàsa, Vedavyàsa atau Kåûóa Dvaipàyaóa. Nama lain
Ràmàyaóa adalah Caturviýúati-sàhasrì-saýhità. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah úloka
(syair)nya sebanyak 24.000 buah. Beberapa pandita Hindu di India percaya bahwa
masing-masing keseribu úloka dimulai dengan Gàyatrì mantram. Buku Ràmàyaóa
karya Vàlmìki menurut edisi Ràmàyaóa oleh Úrì Ràmakoûa Maóðala, Sadàúivapith, Poona,
India, terdiri dari 7 kàóða, 659 sargah dan 23.864 úloka sebagai berikut.
No.
|
Nama Kàóða
|
Jumlah Sargaá
|
Jumlah úloka
|
1.
|
Bàla Kàóða (masa kanak-kanak Úrì Ràma di Ayodhyà kemudian
belajar di Àúrama dan diminta melindungi para Maharûi di hutan)
|
77
|
2.266
|
2.
|
Ayodhyà Kàóða (penobatan Úrì Ràma di Ayodhyà yang akhirnya
dibatalkan oleh raja Daúaratha, ayahdanya)
|
119
|
4.185
|
3.
|
Àraóya Kàóða (masa pembuangan/ pengembaraan Ràma di hutan
bersama Sìtà dan Lakûamaóa).
|
75
|
2.441
|
4.
|
Kiûkióða Kàóða (saat bertemu dengan Hanùman, Sugriva dan
Subali)
|
67
|
2.453
|
5.
|
Sundara Kàóða (pembuatan jembatan menuju Laòka)
|
68
|
2.807
|
6.
|
Yuddha Kàóða (pertempuran Úrì Ràma dengan Ràvaóa dan
pasukannya)
|
111
|
5.675
|
7.
|
Uttara Kàóða (uraian asal dan kembalinya Úrì Ràma sebagai
avatàra Viûóu)
|
128
|
3.373
|
|
Jumlah
|
645
|
23.200
|
|
Prakûipta (tambahan)
|
14
|
664
|
|
Jumlah keseluruhan
|
669
|
23.864
|
Demikian jumlah úloka
Ràmàyaóa Vàlmìki mendekati 24.000 úloka. Jumlah úloka ini tentu berbeda di
dalam setiap edisi Ràmàyaóa, tetapi cerita Úrì Ràma tetap sama dan tidak
berbeda. Umumnya terdapat 3 edisi Ràmàyaóa yang sangat terkenal di India,
yaitu: Edisi India Utara (kota Lahaur), Edisi India Selatan (kota Madras),
Edisi India Timur atau Bengali (kota Calcuta)(Mishra, 1988:16).
Di samping Àdikavya
(syair pertama, perdana dan utama) Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki tersebut di
atas, terdapat pula beberapa Ràmàyaóa yang juga dihubungkan sebagai karya
Àdikavi Vàlmìki, Ràmàyaóa tersebut antara lain: Vàsiûþharàmàyaóa atau
Jñànavàsiûþha. Adbhùta Ràmàyaóa, Adbhùtottàràràmàyaóa dan lain-lain. Menurut
Adbhùtaràmàyaóa, dewi Sìtàlah yang membunuh Ràvaóa yang berkepala sepuluh.
Ràmàyaóa lainnya yang berbahasa Sanskerta adalah Adhyàtmaràmàyaóa. Ràmàyaóa ini
merupakan bagian dari Brahmàóðapuràóa. Ràmàyaóa ini ditulis dalam bentuk
percakapan antara dewi Umà (Parvatì) dengan Sang Hyang Úiva. Ànandaràmàyaóa dan
Mùla Ràmàyaóa memuji keagungan Hanùman (Mani, 1989: 641). Terdapat juga Kamba
Ràmàyaóa berbahasa Sanskerta.
Di samping itu, dalam
masa belakangan ditulis pula Ràmacarita Manasa karya Maharûi Tulaûìdàúa atau
Tulaûìdàúa Ràmàyaóa dengan media bahasa Hindi, di Thailand dikenal Ràmakien atau
Ràmakìrti, yakni Ràmàyaóa berbahasa Thai yang oleh Prof. Dr. Satya Vrat Shastri
(1989) diterbitkan dalam bahasa Sanskerta
dengan terjemahan Inggris dengan nama Úrìràmakìrtimahàkàvyam, sedang di
Indonesia dikenal Ràmàyaóa berbahasa Jawa Kuno yang penulisnya tidak dikenal
secara pasti, namun pada akhir karya ini menyebut Yogìúvara, yang secara
tradisional, nama ini disebut sebagai penyusunnya.
Mahàbhàrata dikenal
sebagai buku Itihàsa. Kata mahà berarti besar atau agung, sedang kata Bhàrata
berarti raja-raja dari dinasti Bhàrata.
Jadi Mahàbhàrata berarti cerita agung tentang keluarga Bhàrata. Raja-raja ini
dikenal sebagai Pàóðava dan Kaurava. Buku Mahàbhàrata menceritakan cerita kedua
keluarga yang berakhir dengan kemusnahan keluarga Kaurava. Pada mulanya Maharûi Veda Vyàsa, menulis kitab ini
dengan nama “Jaya Saýhità”. Setelah itu Vaisampayana, muridnya sendiri dan
setelah itu, Suta Ugasrava, juru cerita yang menceritakan cerita ini. Demikian
Mahàbhàrata terdiri dari tiga pangkalan
perkembangan, yaitu :
Nama Cerita
|
Penulis
|
Jumlah Úloka
|
1. Jaya Saýhità
|
Vedavyàsa
|
8.800
|
2. Bhàrata Saýhità
|
Vaiúampayana
|
24.000
|
3.Mahàbhàrata Saýhità
|
Sùta Ugaúravà
|
100.000
|
Berdasarkan penjelasan
tersebut di atas, nama lain Mahàbhàrata adalah “Úatasàhasri Saýhità” (yang mempunyai seratus ribu úloka (Mishra,
1988: 18). Penjelasan tentang nama Jaya dapat dijumpai dalam kitab Àdi Parva (62.22),
Parva Pertama Mahàbhàrata: “jayo nametihàso’yaý úrotvyo vijigìûuóà”, sedang
nama Bhàrata Saýhitàm dijelaskan dalam Àdiparva (1.78): “catur viýúati sàhasrìý
cakre bhàrata saýhitàm upàkhyànairvinà tàvad bhàrataý procyate budhaiá”.
Mahàbhàrata disebut sebagai karya sastra, Itihàsa atau Vìracarita terbesar, di
samping Ràmàyaóa, terdiri dari demikian banyak episode yang menunjukkan pula
ditulis dalam beberapa periode, oleh karena itu juga disebut sebagai ‘Cycle of Poems’. Kisahnya adalah perang
besar antara dua keluarga keturunan Bhàrata, antara Paóðava dan Kaurava dan
karya ini oleh Akbar diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, namun karena
kemunculan dewa-dewa ke bumi, konsultasi di sorga, maka semua episode tersebut
dihapuskan dalam versi terjemahan bahasa Persia (Kapoor, III. 2001:1149).
Mahàbhàrata ini dibangun
atas delapan belas parva, yaitu:
1) Àdiparva (àdi = pertama). Melukiskan 2 raja bersaudara
Dhåtaràûþra dan Pàóðu, keturunan dinasti Candra. Dhåtaràûþhra memili cacat
tubuh berupa buta ke dua matanya sejak lahir)yang menurut hokum tidak berhak
untuk naik tahta menggantikan ayahdanya. Dari perkawinan Dhåtaràûþra dengan
Gàndhàrì lahir seratus orang putra
diberinama Kaurava, sedang dari perkawinan Pàóðu dengan Kuntì dan Màdrì lahir 5
orang putra diberi nama Pàóðava. Saudara tertua dari Pàóðava adalah
Yudhiûþhira.
2) Sabhàparva (sabhà =
sidang, pertemuan). Pàóðava dan Kaurava hidup bersama di dalam keraton
Hastinàpura. Yudhiûþhira senantiasa ditipu oleh Duryodhana (saudara tertua
Kaurava) atas bujukan pamannya bernama Sakuni.
3) Vànaparva (melukiskan
kekalahan Pàóðava dan pembuangannya ke hutan).
4) Viràtaparva (melukiskan
pembuangan Pàóðava yang kedua).
5) Udyogaparva (melukiskan
kompromi antara Kaurava dan Pàóðava).
6) Bhìsmaparva (melukiskan
perang Bhàrata dan kejatuhan Bhìûma).
7) Droóaparva (melukiskan
perang Bhàrata dan kematian Droóa).
8) Karóaparva (melukiskan
perang Bhàrata dan kematian Karóa).
9) Úalyaparva (melukiskan
perang Bhàrata dan kematian Úalya).
10) Sauptikaparva (melukiskan
perang malam oleh Aúvatthama dan kematian anak-anak dewi Draupadì, melukiskan kematian
Duryodhana).
11) Strìparva (
melukiskan ratap tangis janda dan upacara kematian).
12) Úàntiparva (melukiskan
kematian Bhìsma yang seorang kakek, sebelum beliau meninggal, beliau memberikan
wejangan Dharma kepada Yudhiûþira).
13) Anuúàsanaparva
(melukiskan kerajaan Pàóðava).
14) Àúvamedhikaparva
(melukiskan Upacara Yajña Àúvamedha oleh Pàóðava).
15) Àúramavàsikaparva (
melukiskan Dhåtaràstra dan lain-lain tinggal di hutan).
16) Mauúalaparva (melukiskan
kehancuran keturunan Yadu di Dwaraka.
17) Mahàprasthànikaparva
(melukiskan kepergian Pàóðava ke Gunung Himawan).
18) Svargàrohanaparva
(melukiskan kematian Bhìma, Arjuna dan lain-lain).
Menurut tradisi sastra
India, kitab Mahàbhàrata mengandung beberapa unsur yaitu: ajaran tentang
dharma, filsafat hidup, kesusastraan,
musik, kesenian, bentuk bangunan, permainan, tari-tarian, ilmu nujum, ilmu
falak (astronomi), dan sebagainya. Kitab Mahàbhàrata dikenal juga sebagai
Pañcama Veda (Veda kelima). Tuhan Yang
Maha Esa dalam wujud-Nya sebagai Kåûóa mengatakan rahasia àtma (jiwa) kepada
Arjuna dan jalan seseorang untuk membebaskan dirinya dari rangkaian hidup
dan mati untuk mencapai Mokûa,
beratu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa.
2.3 Masa penyusunan kitab-kitab Itihàsa
Kapankah kitab-kitab Itihàsa ditulis? Seperti telah
dijelaskan bahwa Ràmàyaóa jauh lebih dahulu disusun dibandingkan dengan
Mahàbhàrata, bahkan Ràmàyaóa disebut Àdikavya, syair yang pertama, karena
sebelum Ràmàyaóa tidak dijumpai dokumen sastra seperti karya sastra seindah
kitab Ràmàyaóa. Berbagai pendapat tentang masa penyusunan kitab-kitab Ràmàyaóa
dan Mahàbhàrata. Para sarjana (Barat) rupanya mempunyai persepsi yang sama dan
bulat tentang tiga esensi momentum berkaitan dengan sejarah Itihàsa (Farquhar,
1984:45). Dari ketiga momentum itu, dua di antaranya sama. Tiga momentum penuh
tampak dalam Mahàbhàrata, sedang dalam Ràmàyana, momentum pertama dan kedua
lebih mudah dipahami, sementara momentum ketiga tampaknya agak samar. Ketiga
momentum tersebut adalah:
Itihàsa sebagai susastra populer
pada sekitar abad ke 6, 5 dan 4 Sebelum
Masehi. Itihàsa sebagai susastra sektarian oleh para pandita Vaiûóava sekitar
abad ke 2 Sebelum Masehi. Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata) menjadi
ensiklopedi teologi agung Vaiûóava, juga terkandung ajaran filsafat, politik
dan hukum sekitar abad pertama dan kedua Masehi. Di India, seperti halnya Yunani, epos muncul
dari lagu-lagu untuk memuji perilaku mulia, hal ini ditunjukkan oleh beberapa bukti
di masa yang silam. Pada mulanya lagu-lagu pujian itu dinyanyikan dan
komposisinya dikembangkan, tidak hanya dinyanyikan tetapi juga dideklamasikan
dan bahkan didramatisasikan. Menurut Farquhar (1984:46), para sarjana seperti
Macdonell, Hopkins dan Keith sepakat menyatakan bahwa kedua epos itu muncul
dalam abad yang sama, antara 600-300 Sebelum Masehi, sedang menurut Jacobi,
karya Maharûi Vàlmìki sudah ditulis antara 600 sampai 400 Sebelum Masehi.
Pendapat di atas, tentunya tidak sepenuhnya diterima di kalangan sarjana
lainnya, khususnya sarjana India. Peninggalan epigrafis dan arkeologis yang
berhubungan dengan Itihàsa khususnya
Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata masih dapat dijumpai di beberapa tempat di
India, misalnya peninggalan-peninggalan
purbakala di Ayodhyà, Citrakuta, Ràmeúvaram dan juga bekas kota Indrapraûþha,
Kurukûetra, tempat-tempat suci yang
berhubungan dengan Sungai Gaògà, Yamunà dan sungai-sungai suci lainnya, termasuk pula
pertapaan-pertapaan seperti pertapaan Maharûi Vyàsa di Badrinatha (di lereng
pegunungan Himalaya) yang kini
tempat-tempat bersejarah itu ramai dikunjungi oleh umat Hindu untuk
melaksanakan Tìrthayàtra.
Kapankah Ràmàyaóa ditulis?.
Tidak ada yang tahu pasti. P. Lal (1985: xxxiv) menyatakan: “Perkiraan kasar
adalah antara tahun 1500 Sebelum Masehi sampai 200 Sebelum Masehi. Sebuah
Laporan Press Trust of India yang
dimuat oleh koran Ananda Bazar Patrika pada tanggal 20 Desember 1980
mengatakan: “Kapan Ràmàyaóa ditulis? Jika hasil penyelidikan yang dilakukan ahli geologi Ahmedabad bisa dipercaya, maka Ràmàyaóa tidak
mungkin berumur lebih dari 2.800 tahun. Kota Shringaverapura yang disebutkan di
dalam Ràmàyaóa terletak antara Uttar Pradesh dan Punjab baru-baru ini telah
digali dan diselidiki, dan pengukuran kadar radioaktif karbonnya menunjukkan
umur seperti tadi. Mereka mengajukan hasil penemuan ini kepada Badan
Penyelidikan Arkeologi India. Juru bicaranya mengatakan bahwa materi-materi
yang didapatkan dari penggalian itu asli serta utuh walaupun sudah melalui
kurun waktu yang panjang. Dengan demikian, jelas tidak mungkin Ràmàyaóa ditulis
sebelum tahun 800 Sebelum Masehi.
Prof. B. B. Lal (dalam Lal, 1995:xxxvi, Atlekar, 1987:330) selanjutnya
menyatakan bahwa Ràma dan Kåûóa sebagai tokoh sejarah, maka mereka pastilah
hidup lebih awal dari zaman Buddha, yaitu abad ke-6 Sebelum Masehi. Jadi, ada
jarak sekitar seribu tahun dari kejadian-kejadian yang disebutkan pada kedua
epik itu dan terciptanya karangan tentangnya. Lebih jauh dinyatakan bahwa Prof.
B. B. Lal begitu terkesan oleh hasil-hasil penggalian (yang berkaitan dengan
peninggalan Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata), sehingga ia berani mengatakan bahwa
Ràmàyaóa (demikian pula Mahàbhàrata) bukanlah semata-mata hasil khayalan. “Jika
berita yang diedarkan tanggal 9 Februari 1981 dapat dipercaya, penggalian yang
sedang berlangsung di Citrakuta, Uttar Pradesh telah menghasilkan sejumlah materi
yang sama dengan yang ditemukan di berbagai lokasi Ràmàyaóa lainnya, seperti
Ayodhyà (ibukota Kerajaan Daúaratha),
Shringaverapura (tempat Úrì Ràma menyeberangi Sungai Gaògà dalam
perjalanannya ke selatan memulai 14 tahun pembuangannya) di mana Úrì Ràma
tinggal sementara dengan Maharûi Bhàradvàja. Citrakuta terletak di tepi Sungai
Mandakini, Distrik Banda, Uttar Pradesh. Di sini ditemukan banyak kuil di tepi
kirinya. Salah satu pertanda utama zaman Ràmàyaóa adalah sejenis gerabah khusus
yang oleh para akhli arkeologi disebut sebagai gerabah poles hitam dari utara.
Benda-benda ini sangat halus berkilau, bagaikan berlapis cermin, dari yang
hitam baja sampai warna muda. Di antara kuil-kuil di Citrakuta banyak daerah
terbuka. Di daerah inilah ditemukan berbagai jenis gerabah hitam mengilau dari
zaman yang tertua selama masa penggalian empat tahun terakhir ini.
Juga dalam sumber yang
sama (Lal, 1985L:xxxvii) dalam pidatonya di seminar empat hari di Direktorat
Arkeologi Madhya Pradesh tanggal 23 Februari 1978, tentang nilai sejarah
Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata, Dr. A. K. Chatterjee merasa yakin bahwa “Ràmàyaóa
yang asli diselesaikan jauh sebelum Mahàbhàrata dan kedua naskah itu
diselesaikan sebelum berdiri komplek kesenian Pataliputra-Ujjaini”. Menurut
Chatterjee seluruh naskah Ràmàyaóa, kecuali Uttarakàóða adalah karya satu
orang, seorang penyair yang hidup “sebelum lahir Sang Mahavira (pendiri Agama
Jaina) dan Sang Buddha (pendiri Agama Buddha). Uttarakàóða ditulis berabad-abad
setelah itu, namun sebelum kelahiran Kristus. Dikatakan bahwa Úrì Ràma,
Daúaratha, dan Aúvapati (salah satu mertua Daúaratha) hidup sekitar tahun 2.050
Sebelum Masehi, ini didasarkan melalui bukti kesusastraan, terutama syair dalam
Puràóa yang mengatakan adanya tenggang waktu sekitar 1.050 tahun antara
Parikûit II dan Mahàpadmànanda, serta beberapa bagian lain dari Puràóa dan
Mahàbhàrata yang menyatakan ada tiga puluh generasi antara Úrì Ràma dan
Båhadbala yang terbunuh dalam perang di Kurukûetra.
Bansi Pandit
(2005:405-406) dengan mengutip pendapat David Frawley (Pandit Vamadeva Shastri)
seorang peneliti Barat menyatakan bahwa Veda disusun sekitar tahun 6.500
Sebelum Masehi, dibuktikan dari mantram-mantram Ågveda yang mengacu pada
konfigurasi astronomis yang menunjuk waktu 6.500 Sebelum Masehi. Zaman Veda
berlangsung antara 6.000-2.000 Sebelum Masehi, sedang periode Úrì Ràma sekitar
4.750 Sebelum Masehi. Pendapat Bansi Pandit di atas rupanya dapat dijadikan
pegangan mengingat setelah zaman Ràmàyaóa diikuti dengan zaman Mahàbhàrata.
Menurut Satya Vrat Shastri terdapat tiga episode sebelum Ràmàyaóa karya Maharûi
Vàlmìki seperti bentuknya sekarang, yaitu: (1) Percakapan antara Maharûi
Vàlmìki dengan Devarûi Nàrada. (2) Terbunuhnya burung Krauñca oleh seorang
pemburu, dan (3) Kerunia Dewa Brahmà kepada Maharûi Vàlmìki untuk menggambarkan
kehidupan Śrì Ràma.
Tentang masa penyusunan
kitab Mahàbhàrata dapat dirunut sebagai berikut. Perang besar keluarga
Bhàrata (Mahàbhàratayuddha)
berlangsung pada tahun tahun 3.l38
Sebelum Masehi yang merupakan masa akhir
dari jaman Dvapara Yuga. Keterangan ini berdasarkan prasasti Aihole
yang dikeluarkan oleh raja
Puleskin II. Demikian pula
penobatan raja Parìkûit, cucu Arjuna
(Pàóðava) berlangsung pada
tanggal l8 Februari tahun 3.l02 Sebelum Masehi. Pendapat ini dikemukakan oleh seorang akhli astronomi yang
bernama Aryabhatta. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Maharûi Garga, Varamihira
dan Kalhana (Gambhìrànanda, 1984:XIII, Kushwaha, 2003:34). Karandikar
mengatakan bahwa perang besar keluarga Bhàrata itu terjadi pada tahun 1.93l
Sebelum Masehi, sedang menurut pendapat Prof. Sen Gupta bahwa perang itu
berlangsung pada tahun 2.566 Sebelum Masehi dan C. V. Vaidya menyatakan pada
tahun 3.102 Sebelum Masehi (Gambhìrànanda, 1984:XIII). Kurukûetra
yang luasnya sekitar 100 kilometer persegi kini menjadi sebuah kota
suci. Di sekitar Kurukûetra ini kita
jumpai tempat diwedarkannya sabda suci Bhagavadgìtà oleh Úrì Kåûóa yang diterima oleh Arjuna, tempat ini bernama Jyotisara. Juga tempat Åûi Agung Bhìûma rebah di atas
tempat tidur dari panah (úaratalpa) yang
kini bernama Banagaògà Bhìûma, tempat gugurnya
Abhimaóyu yang dikeroyok oleh Kaurava, tempat dewi Draupadì memuja dewi Durgà untuk keberhasilan Pàóðava
dalam perang besar Bhàratayuddha kini
disebut Candrakupa, dan lain-lain.
Tentang Ràmàyaóa dan
Mahàbhàrata sebagai sumber sejarah Agama Hindu, G.S. Atlekar (1987:329) dalam
bukunya Studies on Vàlmìki’s Ràmàyaóa menyatakan. The fact is that since the time of the
Ràmàyaóa and the Mahàbhàrata also, the
general public was of the firm opinion that the persons of both these epics
where historic ones and the stories narrated therein were historic events.
Ancient tradition was also same. Lebih jauh dalam bahasa Sanskerta kata Itihàsa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris history yang artinya
sejarah, jurusan sejarah pada
Univeåûitàs (Viúvavidyàlaya) atau Institut (Mahàvidyàlaya) disebut Itihàsa
Vibhaga (Department of History). Ràjaniti Vibhaga (Department of Political
Science), dan lain-lain. Jadi
berdasarkan penjelasan di atas, Itihàsa dalam hubungannya dengan susastra Hindu, adalah kitab sejarah.
Selanjutnya peristiwa sejarah itu
diangkat menjadi karya sastra yang indah dan mempesona oleh Àdikavi Vàlmìki dalam Mahàkavya Ràmàyaóa,
kemudian perang besar keluarga Bhàrata
diangkat menjadi karya sastra Mahàbhàrata oleh
Maharûi Vyàsa (Kåûóadvaipàyana) bukan berarti kebenaran sejarah itu
lenyap. Di India Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata tidak digolongkan ke dalam karya sastra, sebab karya agung
monumental itu cukup disebut Itihàsa saja. Keutamaan dari Itihàsa ini, di
samping dapat dikaji dari keindahan
sastranya, sudut estetikanya, juga dapat
dikaji melalui ajaran moral agama, filsafat maupun Yoga. Demikian pula
dalam awal Mahàbhàrata, Maharûi Vyàsa yang dikenal juga bernama Kåûóadvaipàyaóa
menyatakan.
Puràóasaýhità
puróya kathà dharmàrthasaýúrità.
M.B.
Àdiparva I.16.
(Cerita
yang menarik ini merupakan perpaduan antara
peristiwa
sejarah dan mitologi
sebagai landasan mewujudkan Dharma).
Demikian antara lain
penjelasan penyusun langsung kedua kitab Itihàsa tersebut di atas yang
merupakan pula landasan untuk mengkaji kedudukan Itihàsa dan Puràóa sebagai
sumber ajaran Agama Hindu. Maharûi Vàlmìki adalah seorang filosuf moral
realistik, dia menginterpretasikan hukum
Dharma yang dalam prakteknya
berguna bagi mahkluk hidup, melalui usaha ini bisa membuat karakter dan nilai
asosiasi untuk masyarakat serta lebih tinggi dari ukuran nilai eskatologi
abstrak. M.A. Buch mengatakan, “Teori etika Hindu adalah koherensi organik yang merupakan pengalaman
dan alasan bercampur bersama-sama, selalu dinamis. Lingkungan diambil ke dalam
hitungan meski tanpa putus sejak masa
lalu. Ini barangkali paling benar tentang Vàlmìki. Saya telah mencoba
mengembangkan ide ini sebagai point
utama dalam thesis saya. Saya juga menghormati beberapa halaman untuk
menunjukkan bahwa Ràmàyana merupakan ajaran
moral Hindu laksana batu yang tidur. Dalam tokoh Ràma, Lakûamaóa dan
Bhàrata merupakan suatu contoh
persaudaraan yang tiada bandingnya. Hanumàn merupakan seorang penyembah sebagai pelayan dan Sìtà adalah istri yang
sebenarnya, dalam kerajaan yang ideal dalam persahabatan kita memiliki
keperluan hakiki daripada moralitas kehidupan
yang lengkap setiap umat Hindu
untuk kabajikan moral dan sosial. Gambaran kami terhadap kehidupan moral
tidak akan lengkap sampai perlakuan anti
sosial dan kejahatan setiap orang pada koridor waktu juga digambarkan”. “Orang
Yunani kuno menekankan kesempurnaan
fisik dan kebaikan intelektualitas
sebagai tujuan dari kehidupan manusia, Hindu kuno menekankan kepada
kesempurnaan kehidupan di dunia, kepemilikan, kebahagiaan, kenikmatan seksual,
kehidupan keluarga, kenikmatan hidup, tetapi tidak seluruhnya dan
secukupnya, kesempurnaan tentang seksualitas
ini harus diarahkan ke jalan untuk kesempurnaan spiritual manusia”. “Ini
merupkan tujuan Vàlmìki dan saya mencoba
membawanya keluar secara penuh dalam aspek-aspek yang berbeda Vàlmìki tidak
pernah dibayang-bayangi oleh ketakhayulan religius, ortodox atau metafisika.
Dia telah mempresentasikan kepada kita
kenyataan-kenyataan kongkrit yang mengantarkan kita dapat tiba pada
keterangan dan dugaan nyata tentang
pandangan pragmatis realistik tentang Dharma yang selalu relatif terhadap ruang
dan waktu” (Bhattacharji, 1984: 108).
“E.W. Hopkins, Mc Kenzie, Farquhar dan
beberapa sarjana Barat yang dipengaruhi oleh standar etika Kristiani yang telah
gagal untuk mengerti tentang signifikansi
kebenaran dari pada hukum Dharma. Penyangkalan terhadap kenyataan ini sering
terbawa pada situasi kritik menuntut
para pemikir Hindu untuk pengembangan
pengetahuan moralitas. Tanpa diragukan lagi bahwa di dalam kontradiksi dengan para pemikir Barat tiada
terpisahkan uraian yang ditulis di India pada pokok-pokok vital seperti di
bawah ini, meski saya siapkan keutamaan
bahwa ajaran Vàlmìki bukan merupakan teori akademis, dia memenuhi kewajiban
besar ini dalam karya Ràmàyana miliknya. Dia menyasar moral ideal dalam
kehidupan dalam karakter yang terkemuka.
Rai Sahib Dineshchandra Sen sangat jelas melihat bahwa “puisi-puisi epos dalam
segala zaman dan negara memberikan
ekspresi terhadap idea yang mengambang
di udara di antara dia, mentransmisikan bangsanya secara sering dari waktu yang
telah lama. Idea nasional dan kebudayaan
mengklaim dia sebagai eksponen
yang paling pandai bicara. Ceritera tentang kepahlawanan, tentang kebaikan tanpa noda dan kemanusiaan yang ideal, dari zaman
ke zaman menginspirasikan suatu ras,
yang tersimpan, untuk dibicarakan, di dalam menghimpun puisi-puisi epos.
Tradisi kuno mungkin menjadi baru dan menjadi interpretasi yang sesuai dengan perkembangan zaman di tangan ahli-ahli
epos. Ini merupakan pegangan yang baik
terhadap Ràmàyana” (Bhattacharji, 1984:108).
Masalah–masalah tentang takdir
dan teori tentang karma sangat
ditonjolkan di dalam Ràmàyana. Ràma, dalam jalan yang tidak biasanya,
menekankan jalan nasib yang muncul pada
umat manusia dan meski secara panjang
lebar menyangkal doktrin tentang keinginan yang bebas, menyatakan bahwa Kaikeyì
mengucilkan dirinya namun dia tidak mungkin terhina. Tetapi kita lihat bahwa
Vàlmìki melalui Lakûamaóa yang menolak doktrin yang kaku. Saya
mencurahkan hal yang khusus untuk mengkritisi problem ini, yakni pandangan
semua orang yang menyatakan bahwa teori
karma sebagai sentral doktrin pada Hinduisme yang meninggalkan skala moralitas.
Itu ditunjukkan bahwa perlakuan karya
Vàlmìki meninggalkan bekas sebagai suatu doktrin tentang takdir, sering kali
dikhayalkan sebagai keinginan Tuhan Yang Maha Esa atau beberapa kekuasaan supra
natural lainnya terhadap manusia-manusia yang
lemah yang tidak ditemukan.
Melalui pendahuluan ini,
ijinkanlah saya mengatakan sebuah kata
atau dua buah kata tentang karya di bawah penilaian saya: India kuno
merupakan guru besar dalam hal
penulisan, dan di luar tulisan awal
datang suatu kelompok khusus berupa
karya seperti Småti dan Dharmaúàstra yang ditulis oleh Manu, Atri, Viûóu, Harita, Yajñavalkya, Uúana,
Aògira, Yama, Apastamba, Saývarta, Katyàyana, Båhaspati, Paràúara, Vyàsa,
Saýkha, Likhita, Dakûa, Gautama,
Úatatapa dan Vasiûþha. Kitab-kitab tersebut merupakan hukum agung yang diikuti oleh sejumlah komentator yang dalam pandangan tentang perubahan keadaan mencoba untuk
menginterpretasikan kitab-kitab tersebut dalam penjelasan dari fakta-fakta
baru. Saya berpegangan kepada Vàlmìki sebagai seorang eksponen yang agung yang melalui puisi-puisi
tersebut mengekspresikan interpretasi mereka tentang hukum Dharma. Semua itu, demikian pentingnya. Dan merupakan
kitab sebagai kamus tentang referensi moral. Ini menjadi universal disebabkan oleh daya tarik untuk menjernihkan dengan pemikiran-pemikiran
mulia yang diekspresikan. Ketika tidak mengklaim menjadi suatu perlakuan
moral itu dicoba mengkombinasikan agama dan moralitas sebagai cara komprehensif untuk
melibatkan segmen kehidupan
manusia. Sesungguhnya merupakan
kebanggaan bagi kami sebagai catatan
yang bagus tentang kehidupan moral oleh umat manusia seperti kami. Ràmàyaóa
mungkin menggambarkan sebagai suatu pedoman moral tanpa memasukkan dalam
tekniknya secara detail yang akan membimbing pembaca dalam menghadapi
kewajiban-kewajiban hidup. “Ini memberi petunjuk terhadap prinsip secara umum oleh keluarga
dan kehidupan rumah tangga juga diatur, secara spesifikasi sejumlah kasus yang
paling mugkin terjadi sebenarnya“. Ini
merupakan ekspresi tentang penyelidikan etika dan semangat religius. Ada
penulis tentang moral yang diberikan secara abstrak dan prinsip formal tentang
moralitas, yang sering tidak dipraktekkan sebab merupakan kontek di luar
kehidupan, tetapi Vàlmìki memberikan contoh kongkret tentang prinsip-prinsip
kebenaran perbuatan manusia secara nyata
atau situasi-situasi yang dihadapi (Bhattacharji, 1984:211).
Selanjutnya tentang masa
penulisan kitab Mahàbhàrata. Menurut kitab Varàha Puràóa Maharûi Vyàsa menyusun kitab Mahàbhàrata pada
masa akhir Dvàparayuga dan sekaligus pada masa awal Kaliyuga, sedang Bhàgavata
Puràóa menyatakan Úrì Kåûóa meninggalkan raganya pada hari pertama zaman
Kaliyuga. Bhàgavata Puràóa merupakan kitab yang isinya didedikasikan kepada Úrì
Kåûóa, Tuhan Yang Maha Esa yang mengambil wujud manusia maha sempurna. Kitab
ini juga disebutkan ditulis oleh Maharûi Vyàsa. Penjelasan ini dapat dijumpai
pada úloka Àdiparva, sebagai berikut:
Vàsudevasya màhàtmyam pàóðavanaý ca satyatàm,
durvåttaý Dhàrttaràûþràó uktavàn bhagavànåûiá.
idaý úatasahastraý tu lokànàý puóyakarmaóàm.
Àdiparva 1. 100.
Ia juga (Maharûi
Vyàsa) menggambarkan kedewataan Vàsudeva (Úrì Kåûóa, kebajikan putrra-putra Pàóðava
dan juga kejahatan yang dilakukan oleh putra-putra Dhåtaràûþhra.
Seperti disebutkan di
atas, nama asli kitab ini adalah Bhàrata
(dinyatakan dalam Àdiparva 1.201) yang disusun oleh Maharûi Vyàsa dengan nama
‘jaya’ seperti dinyatakan dalam kitab Àdiparva
berikut:
Nàràyaóaý
namaskåtya naraý caiva narottamaý,
Devìý
Sarasvatìý caiva tato jayam udìrayet.
M.B.
Àdiparva 1.1.
Dengan menyampaikan sujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
(Nàràyaóa) dan semua tokoh-tokoh agung dan juga Dewi Ilmu Pengetahuan
(Sarasvatì), marilah dengan ini kita berdoa semoga karya yang bernama ‘jaya’
ini sukses dikerjakan).
Penjelasan serupa juga
dapat ditemukan pada bagian akhir Mahàbhàrata, tepatnya pada Svargarohaóaparva
sebagai berikut:
Bhàrataý úåóuyànityaý bharataý
parikìrttayet,
bhàrataý bhavane yasya
tasya hastagato jayaá.
M.B. Svargarohaóaparva
6.89.
Seseorang
hendaknya dapat mendengarkan (Mahà)bhàrata setiap hari.
Seseorang
hendaknya dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam
(Mahà)bhàrata.
Seseorang hendaknya memiliki dan menempatkannya
pada setiap rumahnya,
yang ditangannya, semua teks itu populer dengan
nama
‘jaya’.
Setelah kematian Pàóðava dan Kaurava, para siswa Maharûi Vyàsa, seperti
Sumantu, Jaimini, Paila, Úuka dan Vaiúampàyana menyebar-luaskan buku ini.
Mereka menulis cerita yang bersumber pada cerita Bhàrata ini yang kini hanya 2
tertinggal, yakni: ‘Bhàrata’ karya
Vaiúampàyana dan ‘Aúvamedhaparva’ karya
Jaimini. Karya agung Maharûi Vyàsa yang disebut ‘Bhàrata’ pertama kali
dijelaskan oleh Vaiúampàyana ketika upacara korban ular (Sarpasattra atau Yajñasarpa)
berlangsung. Atas permohonan raja Janamejaya, Vaiúampàyana menambahkan beberapa
fakta dari karya aslinya, yang kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Jaya’. Jaya
dengan berbagai tambahan kemudian populer lebih dikenal dengan nama
Bhàratasaýhità. Sùta atau Sùta Gosvami, juga disebut Romaharsaóa menceritakan kepada Maharûi Úaunaka dan para
åûi lainnya bertempat di hutan Naimiúa dengan menambahkan beberapa hal yang
dianggap penting pada kitab Bhàratasaýhità, sehingga kitab ini menjadi semakin
lebih besar dari aslinya. Mahàbhàrata yang sekarang adalah edisi tambahan yang
terlengkap tersebut. Fakta berikut menunjukkan bahwa Mahàbhàrata melewati 3
tahapan evolusi sesuai nama yang dimilikinya, yaitu: Jaya, Bhàratasaýhità dan
Mahàbhàrata seperti disebutkan dalam kitab Àdiparva berikut:
Mucyate
sarva pàpebhyo rahunà candramà tathà,
Jaya nàmetihàso’yaý úrotavya vijigìûuóà.
M.B.
Àdiparva 62.20.
Semua jenis
kepapaan (dosa nestapa) lenyap, seperti halnya Rahu (yang tidak dapat menutup
cahaya bulan selamanya), demikianlah nama karya sastra ini adalah ‘jaya’,
hendaknya hal ini didengar oleh mereka yang ingin memperoleh keberhasilan
(kejayaan).
Upàkhyànaiá saha
jñoyadyaý bhàratamuttamam.
Caturviýúati sàhasrìý
cakre bhàratasaýhitàm,
Upàkhyànairvinà tavad
bhàrataý procyate budhaiá.
M.B. Àdiparva 1.101.
Maharûi Vyàsa
aslinya menyusun kitab Bhàrata, secara eksklusif dalam beberapa episode, dalam
24 ribu syair dan semuanya ini oleh para akhli disebut Bhàrata.
Tribhirvarûaiá sadotthàyi
Kåûóadvaipàyano muniá,
Mahàbhàratamàkhyànaý
kåtavànidam uttamam.
M.B. Àdiparva 62.52.
Maharûi Kåûóa Dvaipàyana
secara teratur setiap hari selama tiga tahun menyusun kitab sejarah yang
mengagumkan ini, yang disebut Mahàbhàrata.
Terdapat 3 perbedaan pendapat tentang jumlah úloka dalam kitab
Mahàbhàrata. Menurut Ugraúrava, jumlahnya 8.800 úloka, menurut Maharûi Vyàsa
jumlahnya 24.000 úloka dan menurut pernyataan yang lain 1 lakh (10.000) úloka,
seperti berikut
Idaý úatasahasraý tu
lokànàý puóyakarmaóàm (100)
Upàkhyànaiá saha
jñeyamàdyaý bhàratam uttamam
Catur viýúati sàhasrìý cakre
bhàratasaýhitàm (101)
M.B. Àdiparva 1. 100-101.
Terdapat perbedaan narasi
dalam Mahàbhàrata, yaitu deskriptif, filosofis dan oratoris menunjukkan adanya
tiga orang penyusun yang berbeda. Vaiúampàyana dan Sùta menambahkan beberapa cerita
kepada karya asli yang bernama ‘Jaya’ karya Maharûi Vyàsa. Berdasarkan
pandangan di atas, maka dapat diduga bahwa Maharûi Vyàsa hanya menyusun karya
yang asli dan merupakan cerita inti dari Mahàbhàrata yang terdiri dari 8.800
úloka dan karya sastra itu dinamakan ‘Jaya’ seperti tersebut dalam úloka
pertama manggala dari Mahàbhàrata (Àdiparva 1.1). Vaiúampàyana menambahkan
cukup banyak úloka yang merupakan karyanya sendiri sehingga kitab ini terdiri
dari 24.000 úloka dan memberi nama ‘Bhàratasaýhità’. Selanjutnya Sùta yang
menambahkan lagi sehingga kitab itu menjadi sangat tebal dan memberi nama
‘Mahàbhàrata’. Kitab epos Mahàbhàrata yang kini sampai kepada kita terdiri dari
10.000 úloka dan bentuknya seperti sekarang karena perjalanan waktu beberapa
abad, dari kitab ‘Jaya’ menjadi ‘Mahàbhàrata’.
Bilamana merunut ke masa
yang silam. Tahun Kali (Kali Varûa) mulai tahun 3.102 Sebelum Masehi. Perang
besar Mahàbhàrata terjadi pada masa akhir Dvàparayuga yang bersamaan dengan
mulainya masa Kaliyuga seperti disebutkan dalam úloka berikut:
Antare caiva sampràpte Kalidvàparayorabhùt,
Samantapañcake yuddhaý kurupàóðavasenayoá.
M.B. Àdiparva 2. 13.
(Pada masa akhir Dvàparayuga
dan pada awal zaman Kali, terjadilah perang besar antara keluarga Kuru
(Kaurava) dengan Pàóðava, bertempat di sini di Samantapañcaka)
Berdasarkan penjelasan di
atas maka dapat disimpulkan bahwa perang besar di antara keluarga Bhàrata (Mahàbhàratayuddha)
berlangsung sekitar tahun 3.102 Sebelum Masehi. Dhåtaràûþra hidup sampai umur
18 tahun setelah perang besar tersebut terjadi dan menurut Strìparva, Pàóðava
memerintah kerajaan selama 36 tahun. Ketika Úrì Kåûóa meninggalkan raganya
kembali ke kahyangan, saat itu pula pemerintahan Pàóðava berakhir, dan mulainya
Mahàprasthàna (pemusnahan besar). Úrì Kåûóa meninggal pada hari pertama
Kaliyuga, 3.102 Masehi (Kushwaha, 2003:36). Dengan demikian jelaslah bahwa
perang besar keluarga Bhàrata berlangsung pada tahun 3.138 Sebelum Masehi.
Kebenaran teori ini didukung pula kitab-kitab Puràóa. Saat itu terdapat
fenomena Saptagrahayoga (kombinasi posisi planet-planet berdasarkan teori
astronomi), pada saat itu Raja Parìkûit, cucu Arjuna memerintah kerajaan,
seperti ditunjukkan oleh kitab-kitab Puràóa berikut.
Saptarûayomaghàyuktàá
kale parikûìte úatam
Matsyapuràóa
271.46.
Te
tu parikûìte kale maghàsvàsan dvijottama
Viûóupuràóa
4.24.106.
Berdasarkan kutipan dari
kitab-kitab Puràóa tersebut di atas, maka penobatan (pemerintahan) Parìkûit
berlangsung pada bulan Magha atau Januari dan penelitian tentang tanggal
kejadian seperti itu berlangsung pada bulan yang sama pada tahun 3.177 dan 477
Sebelum Masehi. Fenomena astronomi berikutnya akan terjadi pada tahun 2.223
Masehi. Fenomena astronomis seperti ini berlangsung setiap seratus tahun
sekali, dan dipercaya sesuatu telah terjadi pada masa 3.077 Sebelum Masehi,
tepatnya pada masa pemerintahan Parìkûit, oleh karena itu perang Bhàrata terjadi
pada tahun 3.138 Sebelum Masehi.
Pàóðava memerintah
kerajaan selama 36 tahun setelah terjadinya perang besar dan Maharûi Vyàsa
menulis epik kedewataan ini setelah kematian Pàóðava. Maharûi Vyàsa
menghabiskan wakru 3 tahun untuk menyelesaikan karya ini. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Maharûi Vyàsa menyelesaikan karya agung ini pada tahun 3.100
Sebelum Masehi. Pàóðava memulai Mahàprasthàna setelah mempercayakan
pemerintahan kepada panggantinya, yakni Parìkûit, peristiwa ini mesti terjadi
pada tahun 3.102 Masehi. Parìkûit memerintah negara selama 60 tahun dan karena
itu putranya bernama Janamejaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 3.042
Sebelum Masehi. Setelah 2 tahun memerintah sebagai seorang raja, ia
melaksanakan upacara Sarpasattra (Sarpayajña) dan saat itu pertama kalinya
Vaiúampàyana menjelaskan tentang ‘Jaya’ (Mahàbhàrata) kepada para pandita yang
berkumpul di sana. Kepastian tahun penyusunan kitab Mahàbhàrata ini didasarkan
pada kesimpulan kedatangan dan berkumpulnya para padita di kerajaan Bhàrata
seperti di atas, tetapi para sarjana Barat berbeda dalam menentukan masa penyusunan kitab ini. Mereka
berargumentasi bahwa perang besar Bhàrata terjadi pada abad ke-10 Sebelum
Masehi dengan penekanan sebagai berikut.
Thema cerita adalah
pertempuran antara dinasti Kuru dengan Pañcala. Setelah perang besar tersebut
berlangsung seperti dinyatakan dalam Yajuveda, kedua dinasti itu bersatu, oleh
karenanya perang besar itu berlangsung pada abad ke-10 Sebelum Masehi. Masa itu
merupakan masa pemujaan dan pengagungan kepada para pahlawan dan nyanyian
mengagungkan para pahlawan itu dilaksanakan oleh pihak Kuru dan Pàóðava yang
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan seterusnya nyanyian
puji-pujian kepada para pahlawan itu berupa kitab Mahàbhàrata.
Pandangan lainnya menyatakan bahwa di dalam kitab
Mahàbhàrata, dewa Brahmà menempati posisi yang sangat utama. Pada zaman Veda,
dewa ini tidak demikian populer, kurang diperhitungkan. Pada masa keemasan
Buddha, dewa Brahmà menempati kedudukan yang sangat tinggi dalam Hinduisme,
oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Mahàbhàrata ditulis pada abad ke-6
Sebelum Masehi. Selanjutnya saat itu ditemukan sekitar 8.800 úloka dalam kitab
Mahàbhàrata. Terhadap berlipat jumlah úloka Mahàbhàrata mencapai 24.000 úloka,
saat itu tahapan kitab Mahàbhàrata mendapat warna Vaiûóava dan Úrì Kåûóa dipuja
sebagai inkarnasi Sang Hyang Viûóu. Megasthenes yang mengunjungi India pada
tahun 300 Sebelum Masehi mencatat bahwa saat itu sebagian besar umat Hindu
adalah pengikut Vaiûóava. Pada bagian tertentu dari Mahàbhàrata terdapat
rujukan tentang Yunani dan Buddhis, oleh karena itu kronologis dari luar
(asing) menyimpulkan bahwa Mahàbhàrata kemungkinan ditulis setelah Buddha dan
setelah penyerbuan kepada kerajaan Bhàrata (India), yakni pada tahun 300
Sebelum Masehi.
Tahapan ketiga, Mahàbhàrata dalam bentuknya sekarang adalah
ditambahkannya ajaran filsafat agama di dalamnya. Dharmasaýhità dari Manusmåti
menjadi sangat populer pada abad ke-5 Masehi dan tahapan ke-3 tersusunnya Mahàbhàrata
mesti telah dimulai ditulis sebelum abad itu, pada abad ke-3 Masehi (Mani,
1989: 122). Untuk membuktikan bahwa Itihàsa dan Puràóa sebagai karya sastra
sejarah, selanjutnya dapat dijadikan sebagai sumber data penyusunan sejarah
perkembangan Agama Hindu, diperlukan kajian yang mendalam untuk membuktikan
kebenaran data yang digunakan. Itihàsa, khususnya Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata
secara terus menerus diteliti oleh para akhli sejarah. Berbagai data epigrafis,
arkeologis, tradisi terus diteliti dan semakin hari banyak dilakukan penggalian
untuk membuktikan kebenaran kedua epos besar itu.
Peninggalan epigrafis dan
arkeologis yang berhubungan dengan Itihàsa khususnya Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata masih dapat
dijumpai di India, misalnya
peninggalan-peninggalan purbakala di Ayodhyà, Citrakuta, Ràmeúvaram dan
juga bekas kota Indrapraûþha, Kurukûetra, tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Sungai Ganggà, Yamunà
dan sungai-sungai suci lainnya, termasuk
pula pertapaan-pertapaan seperti pertapaan Maharûi Vyàsa di Badrinatha (di
lereng pegunungan Himalaya) yang kini
tempat-tempat bersejarah itu ramai dikunjungi oleh umat Hindu untuk
melaksanakan Tìrthayàtra.
Terdapat beberapa
perbedaan pandangan tentang Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata) tentang masa
penulisan kedua kitab yang sangat besar itu. Menurut kepercayaan dan tradisi
India, Úrì Ràma diyakini hidup pada masa akhir Traitàyuga yakni sekitar tahun
867.100 Sebelum Masehi. Menurut Ràmàyaóa Úrì Ràma memerintah kerajaan selama
11.000 tahun dan ketika naik tahta ia baru berumur 47 tahun. Maharûi Vàlmìki
mulai menulis vìracarita Ràmàyaóa setelah Kuúa dan Lava lahir. Berdasarkan
informasi selayang pandang itu, para sarjana berpendapat sekitar tahun 867.000
Sebelum Masehi. Pendapat ini dikritik oleh baik sarajana Barat maupun Timur dan
tidak dapat menerima pandangan tersebut.
Profesor Yacobi berpandangan Ràmàyaóa belakangan dengan Mahàbhàrata.
Hampir sebagian besar sarjana tidak setuju dengan pendapat ini. Sebagian besar
mereka berpendapat bahwa Ràmàyaóa lebih dahulu ditulis dibandingkan dengan
Mahàbhàrata. Adapun argumentasinya adalah sebagai berikut.
1) Secara tradisional
diyakini oleh masyarakat India bahwa Ràmàyaóa ditulis jauh lebih dahulu
dibandingkan dengan Mahàbhàrata.
2) Di dalam Ràmàyaóa tidak
ada petunjuk adanya referensi tentang cerita yang terdapat di dalam kitab
Mahàbhàrata.
3) Cerita Úrì Ràma dijadikan
rujukan dalam berbagai cerita Jataka Buddha (Buddhistics).
4) Vàlmìki tidak menyebut
nama kota Pàþalìputra yang dibangun sekitar tahun 380 Sebelum Masehi. Tidak dapat
dibantah bahwa Úri Ràma dapat melewati kota tersebut.
5) Selama masa pemerintahan
Aúoka, bahasa Pràkåta menjadi bahasa sehari-hari di tempat terjadinya beberapa
peristiwa disebutkan di dalam kitab Ràmàyaóa, dengan demikian kitab Ràmàyaóa
telah ditulis lebih dahulu sebelum muncul dan berkembangnya bahasa Pràkåta.
Menurut Profesor A. B. Keith, kitab Ràmàyaóa telah ditulis tahun 300 Sebelum
Masehi (Mani, 1989: 641).
Para
sarjana sependapat bahwa perang Mahàbhàrata (Bhàratayuddha) itu berlangsung
dalam waktu yang panjang. Bagaimanapun juga, wajar terdapat berbagai pendapat dengan
perbedaannya yang besar tentang hal tersebut. Di dalam Àdiparva (2.13)
disebutkan bahwa tempat perang besar tersebut berlangsung di Samanta Pañcaka
(daerah dengan lima danau, Kurukûetra) pada era akhir Dvàparayuga, saat
dimulainya Kaliyuga. M. M. Haridas Siddhàntavàgìsa dan C. V. Vaidya berpendapat
dari tahun 3101 Sebelum Masehi. Vaidya juga memakai dokumen yang ditulis oleh
ahli sejarah Yunani Megasthenes tentang India yang mendukung pendapat di atas.
Para Indologist Eropa, menyarankan berbagai data antara 1500 sampai 900 Sebelum
Masehi. Terdapat pula perbedaan pendapat
antara para sarjana tentang disusunnya kitab Mahàbhàrata. Secara tradisional
disebutkan pada saat mangkatnya raja Parìkûit dan sebelum korban ular
(sarpayajña) di kota Takûìlà dan menyebutkan tahun 3041 Sebelum Masehi. Para
sarjana Eropa umumnya memperkirakan bahwa karya yang asli ditulis abad ke-4
atau ke-5 Sebelum Masehi, dan akhirnya berkembang dengan berbagai tambahan
sampai dengan awal Masehi. Hopkins meneliti inti dari Mahàbhàrata. Winternitz
dan yang lain-lain mengajukan teori tentang karya yang asli berupa perang
Kuru-Pañcàla yang di dalamnya menguraikan kepahlawanan para Kaurava
(putra-putra Dhåtaràûþra) sebagai pahlawan, yang akhirnya dimodifikasi dalam
bentuknya seperti sekarang (Mookerji, 1995:132).
Di
samping peninggalan berupa prasasti dan bangunan purbakala, konon di Kurukûetra masih dijumpai
bekas-bekas radioaktip yang menunjukkan
betapa dahsyatnya perang besar saat itu. Data tradisi lainnya yang mendukung sumber sejarah
tersebut di atas adalah keturunan para
åûi Veda seperti Bharadvàa, Atri dan juga dinasti Yadhu, yakni dinasti Úrì Kåûóa, para Yadhava
sampai kini masih jelas keturunanya.
Itihàsa adalah sejarah,
maka Puràóa adalah sejarah kuna, yang
keduanya kita bandingkan Itihàsa sebagai
sejarah kontemporer (contemporary
history), karena penyusunnya Maharûi Vyàsa masih hidup keetika karya agung
Mahàbhàrata itu disusun, sedang Puràóa
adalah sejarah kuna (ancient history).
Kitab-kitab Puràóa isinya penuh dengan
ajaran agama, moral, pendidikan budi pekerti dan lain-lain termasuk cerita para
dewa, para åûi dan raja-raja yang memerintah dunia. Di antara l8 Puràóa besar
(Mahàpuràóa) yaitu Bhaviûya Puràóa (artinya sejarah yang akan datang) isinya
sangat cocok dengan sejarah India kemudian. Pada kitab yang ditulis pada kurun
waktu yang amat tua itu disebutkan bahwa India
(Bhàratavarsa) akan dikuasai (dijajah) oleh seorang ratu yang bernama Victovati yang berasal dari Barat.
Kitab ini juga menyebutklan jangka waktu
kekuasaannya dan beberapa kata dalam
bahasa Inggris seperti nama-nama hari dan lain-lain. Ratu Victovati, tidak lain adalah Victoria, ratu
Inggris yang menguasai India pada masa penjajahan dulu.
Itihàsa atau epik, yakni
Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata aslinya adalah cerita kepahlawanan, kemudian menjadi
karya sejarah yang sangat erat berkaitan dengan sastra agama, dan hal sangat
penting sebagai dibuktikan oleh tanggapan masyarakat pada umumnya sebagai awal
dari kebangkitan sekta, pakûa atau saýpradàya dalam Agama Hindu. Hal itu
nampaknya sangat luas untuk secara tepat mencari bentuknya yang aslitentang
kebenaran sejarah tersebut, dan dalam hal Mahàbhàrata, bentukya yang sekarang
adalah sesuatu yang luar biasa dan yang
seperti memberi petunjuk kepada kita tentang sisipan tidak berkesudahan,
tak terhitung merupakan suatu
kebijAkûaan bagi pemiliknya, dan sesuatu yang mendalam lebih dari pada yang
dirasakan. Setiap bagian dari karya sastra ini hendaknya dibaca sebagai titik
tolak sejarah di mana hal tersebut dimunculkan. Para sarjana rupanya sepakat
bulat untuk membagi menjadi tiga esensial moment sejarah dari epik tersebut.
Dua hal nampaknya sama, namun ketiga tahapan dapat dilihat dalam Mahàbhàrata
secara keseluruhan, tetapi untuk yang pertama dan kedua dengan mudah dapat
ditemukan dalam kitab Ràmàyaóa, sedang tahapan yang ketiga digambarkan agak
samar di dalam kitab tersebut, tetapi mendapat porsi yang besar di dalam kitab
Mahàbhàrata. Ketiga tahapan tersebut adalah:
1) Itihàsa disusun sebagai
puisi populer, pada sekitar abad ke-6, ke-5 atau ke-4 Sebelum Masehi.
2) Itihàsa berubah menjadi
puisi yang beåûifat sektarian oleh para pandita Vaiûóava sekitar abad ke-2
Sebelum Masehi.
3) Ketuhanan yang berciri Vaiûóava
(Vaiûóava theism) dalam kedua epik
tersebut, khususnya Mahàbhàrata menjadi ensiklopedi agung tentang teologi,
filsafat, pollitik dan hukum, sekitar abad pertama atau ke-2 Masehi (Farquhar,
1984: 44).
Ràmàyaóa sebagai sebuah epik sepertinya tampak
sangat jauh dengan kitab suci Veda, walaupun legenda Ràmàyaóa dapat dihubungkan
dengan susastra Veda, namun dalam benang merah yang kurang jelas. Prabhu Janaka
dari Videha disebutkan cukup sering dalam kitab-kitab Upaniûad seperti juga
sebagai ayah dari dewi Sìtà mesti ditinggalkan dengan penuh keragu-raguan. A.
Weber juga menunjukkan beberapa kelemahan menghubungkan antara Ràmàyaóa dengan
Yajurveda. Sìtà sebagai pahlawan (tokoh) wanita sudah sejak lama disebutkan
dalam legenda Ràma. Nama Sìtà berarti “mata bajak” , lahir dari bumi dan Ibu
Perthivì mengakui sebagai putrinya dan memasukkannya kembali ke dalam
kandungannya. Walaupun kenyataan ini sejalan hanya pada “kaóðha VII”, namun
nampaknya memang sangat tua. Dalam beberapa kasus, idea tentang dewi pertanian
(Sìtà) yang disebutkan dalam doa membuka ladang dijumpai dalam Ågveda (IV.57.6)
juga sangat tua dan hal ini merupakan kelanjutan dari zaman Veda. Di dalam
kitab Gåhyasùtra masih diwariskan mantra pemujaan yang memunculkan dewi Sìtà
dalam hal yang kurang seperti biasanya sangat cermerlang dipersonifikasikan,
sebagai memancarkan cahaya bunga teratai pada seluruh tubuhnya, matanya
berwarna hitam dan sebagainya. Namun
Weber tentunya benar ketika ia mengingatkan kepada pengertian yang terkandung
dalam Veda, Sìtà sebagai dewi “mata bajak”, dipisahkan dengan penggambarannya
dalam legenda Ràma sebagai jurang yang dalam.
Dalam zaman Veda tidak nampak begitu jelas indikasi adanya nyanyian Ràma
dan Sìtà. Walaupun kita, seperti halnya
Jacobi jumpai mitologi kuno berupa perang antara Indra dengan Våtra, kembali
nampak dalam perang antara Ràma dengan Ràvaóa.
Simpulan penelitian tentang masa ditulisnya Ràmàyaóa, dapatlah
dinyatakan sebagai berikut.
1) Cerita yang lebih baru (belakangan) dari Ràmàyaóa
teristimewa buku (kaóða) I dan VII berbeda dengan Ràmàyaóa yang asli, yakni
buku II dan VI cukup makan waktu yang panjang.
2) Seluruh Ràmàyaóa bersama
dengan porsi cerita yang belakangan adalah merupakan karya yang sudah populer,
ketika Mahàbhàrata belum mengambil bentuknya yang sekarang.
3) Barangkali Ràmàyaóa yang
sekarang dalam bentuk dan isinya sudah muncul pada abad ke-2 Masehi. Namun inti
Mahàbhàrata yang kuno agaknya lebih tua dengan bentuk Ràmàyaóa yang tertua.
4) Di dalam Veda kita tidak
menemukan jejak keberadaan epik Ràmàyaóa dan sangat kurang nampaknya dalam
legenda Ràma.
5) Di dalam teks buku kuno
Buddha Tripiþaka tidak dijelaskan pengetahuan tentang keberadaan Ràmàyaóa,
tetapi jejaknya dapat dijumpai dalam Àkhyàna, di dalamnya legenda Ràma
dinyanyikan. Jejak cerita tentang Buddha sama sekali tidak jelas dan tidak
ditemukan dalam kitab Ràmàyaóa, oleh karena itu bagaimana mungkin karakter Úrì
Ràma mendapat pengaruh dari Buddhisme. Tidak ada sama sekali pengaruh dari
Yunani dalam Ràmàyaóa dan dalam Ràmàyaóa yang asli juga tidak ada informasi
tentang Yunani. Pàóðava
6) Sangat mungkin Ràmàyaóa
karya Maharûi Vàlmìki disusun pada abad ke-4 atau ke-3 Sebelum Masehi dengan
menggunakan sumber Àkhyàna (Winternitz, 1990:493).
Sejalan dengan penelitian
Maurice Winternitz (1990:453) tentang Ràmàyaóa seperti tersebut di atas,
sarjana ini menarik suatu simpulan tentang dituliskannya kitab Mahàbhàrata
adalah sebagai berikut:
1) Kisah-kisah,
legenda-legenda dan puisi-puisi perorangan yang terdapat di dalam kandungan
Mahàbhàrata dapat ditemukan kembali ketika kitab suci Veda dituliskan.
2) Kisah kepahlawanan (epik)
“Bhàrata atau Mahàbhàrata” belum mucul dalam periode dituliskannya kitab suci
Veda.
3) Banyak cerita tentang
ajaran moralitas dan wejangan-wejangan lainnya yang terkandung di dalam Mahàbhàrata
merupakan karya puisi para pertapa, dari
padanya pula menjadi sumber cerita-cerita Buddhis dan Jain berasal dari sekitar
abad ke-6 Masehi dan seterusnya.
4) Pada sekitar abad ke-6
dan ke-4 Sebelum Masehi sudah ditulis kitab Mahàbhàrata, maka kitab tersebut
rupanya belum dikenal di daerah agama Buddha berkembang saat itu.
5) Keberadaan epik yang
disebut Mahàbhàrata sebelum abad ke-4 Masehi, belum dapat dibuktikan secara
pasti.
6) Antara abad ke-4 Sebelum
Masehi dan abad ke-4 Masehi terjadi
perubahan bentuk epik Mahàbhàrata dalam wujudnya yang seperti sekarang,
kemukinan berlangsungnya secara bertahap.
7) Pada abad ke-4 Masehi,
Mahàbhàrata telah tersusun seperti sekarang baik dalam jumlah bukunya (volume),
isi kandungan teksnya maupun karakter para tokohnya.
8) Namun demikian perubahan
dan tambahan yang tidak berarti terus menerus berlangsung bahkan sampai abad
yang baru saja berlangsung.
9) Tidak ada suatu kepastian
tentang ditulisnya kitab Mahàbhàrata secara keseluruhan, tetapi masa
masing-masing bagian (parva) dan ditentukan sendiri-sendiri.
Walaupun terdapat
perbedaan pendapat di antara para sarjana baik Barat maupun sarjana Timur
tentang masa penulisan baik kitab Ràmàyaóa maupun Mahàbhàrata, adalah sesuatu
yang wajar, karena metodologi atau
pendekatan serta data yang dipergunakan berbeda-beda. Penelitian demi
penelitian masih terus dilakukan dan salah satu di antara berbagai data
tersebut adalah hasil foto yang diambil oneh NASA (Badan Atom Amerika Serikat)
yang mengungkapkan misteri jembatan kuno yang berlokasi di Selat Palk antara
India dan Úrì Lankà. Bekas jembatan yang ditemukan ini dinamakan Jembatan Adam
yang dibuat dari batu apung yang panjangnya sekitar 18 mil (30 kilometer).
Jembatan yang sangat unik ini berbentuk seperti kurva ini dari komposisinya
membuktikan telah dibuat oleh manusia jaman dahulu. Dari sejarah dan riset
arkeologi memperjelas tentang adanya penduduk di Úrì Lankà, lebih kurang
1.750.000 tahun yang lalu, yang hampir sama dengan tuanya dengan jembatan tersebut. Informasi
ini erat hubungannya dengan kisah Ràmàyaóa, yang terjadi pada zaman Traitayuga,
pada masa itu dikisahkan tentang pembangunan jembatan dari Rameshvaram (India) sampai teluk Úrì Lankà dibawah
pengawasan Úrì Ràma, yang merupakan inkarnasi Tuhan Yang Maha Esa. Informasi
ini mungkin kurang begitu penting bagi arkeolog yang bermaksud untuk mengetahui
asal-usul manusia, tetapi bagaimanapun juga hal ini sebagai pembuka pintu
spiritual bagi umat manusia yang ingin mengetahui sejarah yang berhubungan
dengan mitologi India (Kushwaha, 2003:51).
Demikian pula tentang
tenggelam kota Dvàravati (Dvarikà) pada masa akhir Mahàbhàrata, di pantai Barat
India, peninggalannya masih dapat di lihat dari permukaan laut. Kebenaran
tenggelamnya sebuah kota dibuktikan pula hingga kini berupa tenggelamnya
sebagian pura (mandir) Mahabalipuram (Mamallapuram) di tepi pantai dekat kota
Madras, India Selatan yang diakibatkan semakin hari semakin meningginya
permukaan air laut akibat pemanasan global.
Lebih lanjut tentang masa penyusunan kitab Mahàbhàrata, di
dalam Àdiparva dinyatakan bahwa Maharûi Vyàsa menyusun kitab ini selama 3 tahun
yang dilakukan setiap hari, seperti penjelasan berikut:
Tribhirvarsaiá
sadotthàtho kåûóàdvaipàyano muniá,
Mahàbhàratamakhyànaý kåtavànidam adbhùtam.
Àdiparva
62.52.
(Maharûi
Kåûóadvaipàyana secara teratur setiap pagi selama tiga tahun
menyusun
kitab sejarah yang mengagumkan yang disebut Mahàbhàrata).
Demikian
sepintas tentang penyusunan kitab
Mahàbhàrata yang sangat populer disusun oleh Maharûi Kåûódvaipàyaóa yang
mengandung makna Demikian sepintas tentang penyusunan kitab Mahàbhàrata yang sangat populer disusun oleh Maharûi
Kåûódvaipàyaóa yang mengandung makna ‘yang lahir di pulau hitam’ (karena selalu
ditutupi kabut di tengah-tengah Sungai Yamunà) yang dikenal juga dengan nama Maharûi
Veda Vyàsa, yakni yang maha agung penghimpun mantra-mantra Veda yang merupakan
warisan dunia dewasa ini.
![]() |
Bekas Jembatan Úri
Ràma dari India menuju Alengka, hasil foto NASA (Kushwaha,2003:51)
|
![]()
Pragmen
kota Dvàravati (Dvarikà) yang tenggelam di Barat Laut Mumbay, sumbangan foto
dr. G. Wardana
|
No comments:
Post a Comment