Monday, December 17, 2018

PENGERTIAN DAN MASA PENYUSUNAN ITIHÀSA

PENGERTIAN DAN
MASA PENYUSUNAN ITIHÀSA 
 Image result for itihasa


Oleh: I Nyoman Ariyoga

2.1  Pengertian Itihàsa

Epic, epos atau Vìracarita, yakni Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata menurut J. N. Farquhar dalam bukunya An Outline of the Religious Literature of India (1984:44, Mishra, 1989:1)) asalnya adalah cerita kepahlawanan, selanjutnya menjadi sejarah susastra agama dan menempati kedudukan sangat penting sebagai sumber utama bagi masyarakat pada umumnya, dan juga (kitab-kitab Itihàsa ini) sebagai pertanda awalnya muncul sekta-sekta dalam Agama Hindu (Hinduisme). Kata Itihàsa terdiri dari 3 bagian yaitu: iti + ha + àsa.iti” dan “ha” adalah kata tambahan yang “indiclinable” di dalam bahasa Inggris. “Asa” adalah kata kerja “verb” di dalam bahasa Inggris. Arti kata Itihàsa adalah: “ini sudah terjadi begitu” (it happened so). Dahulu kala, beberapa juru cerita tua, biasanya menceritakan cerita-cerita tentang raja-raja dan lain-lain kepada anak-anak laki-laki dan perempuan. Setelah cerita berakhir mereka biasanya berkata kepada pendengarnya: “Awas anak-anak, cerita ini memang sudah terjadi begini” (iti = begini, ha = tentu, àsa = sudah terjadi). Dengan perlahan-lahan tiga kata itu sudah menjadi gaya dalam bercerita. Tiga kata sudah bersatu, yaitu: itihàsa, yang dimaksud: ‘sejarah raja-raja’, dan sebagainya. Demikian maka kata itihàsa yang pada mulanya hanya sebagai tradisi dari mulut ke mulut kemudian bermakna sebagai sejarah.
Di dalam kitab Mahàbhàrata, tepatnya pada Svargarohaóaparva (parva ke-18) kitab Mahàbhàrata dinyatakan sebagai berikut.

Itihāsamimaý puóyaý mahārthaý Vedasammitam,
Vyāsoktaý śruyate yena kåtvā brāhmaóamagrataá.

                                                                   M.B.Svargarohaóaparva 5. 57.

Cerita suci ini adalah peristiwa sejarah, dan mengandung makna yang dalam, dan kandungan  ajaran yang ada pada cerita ini sama seperti ajaran suci Veda. Karya Maharûi Vyàsa hendaknya di dengar terlebih bagi seorang Bràhmaóa.
 
Di dalam kitab Amarakoûa, karya Amaåûiýha kita mendapat kata lain  yaitu: àkhyàyikà yang mempunyai makna sama dengan itihàsa (sejarah):

Àkhyàyikopalabdhàrta

                                           Amarakoûa I.6.5

Àkhyàyikà adalah cerita yang benar-benar terjadi’.

Sesungguhnya itihàsa sedikit berbeda dengan puràóa. Tujuan utama Puràóa  adalah menyampaikan cerita-cerita pendidikan  keagamaan sedang  tujuan itihàsa adalah menceritakan sejarah semata. Itihàsa disebut juga vìracarita atau cerita kepahlawanan. Ada dua Itihàsa yang sangat terkenal di seluruh dunia, yaitu: Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata. Kedua vìracarita atau epos besar ini disebut juga àrûakàvya. Kata àrûakàvya berarti ‘syair yang sangat indah’  dan menyenangkan ditulis oleh para åûi. Penyusun Ràmàyaóa adalah Maharûi Vàlmìki dan penyusun Mahàbhàrata adalah Maharûi Kåûnadvaipàyana Vyàsa yang juga menghimpun mantra-mantra kitab suci Veda, menulis puràóa dan kitab Brahmàsùtra atau Vedàntasàra  (Mishra, 1989:16, Titib, 1998:6).
Lebih jauh di dalam  Amarakoûa I.4.4 kata Itihàsa diterjemahkan “puravåtta”, (in the truth it was signifies)  yang menunjukkan sesuatu hal telah terjadi di masa yang silam. Dalam perkembangan selanjutnya dalam literatur Sanskerta diberi arti yang sangat sederhana, ‘mite’, ‘legenda’, ‘cerita’ dan sering dihubungkan dengan kata dan diartikan sama dengan kata cerita, àskhyàna, akhyàyikà, kàthà dan sejenisnya. Apabila kita menerima pengertian tersebut sepenuhnya, yaitu  ‘suatu kejadian di masa yang silam, yang dihubungkan dengan cerita dan berkaitan dengan petunjuk tentang tugas-kewajiban, keberuntungan, cinta kasih dan tujuan akhir manusia  berupa kebebasan (puruûàrtha) disebutkan di dalam istilah Itihàsa. Itihàsa sebagai sarana penunjang pendidikan, dan dalam susastra Sanskerta mendukung pengertian bahwa seuatu itu dipercaya benar-benar ada. Menurut Àúvalàyana Gåhyasùtra (IV.6.6), ketika seseorang meninggal, sahabat-sahabatnya duduk bersama di sekeliling jenasah, membacakan cerita orang terkenal zaman dahulu. Dalam suasana dukacita itu dibacakan dengan irama tertentu juga kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa (Kapoor, II, 2001: 952). Tradisi dari zaman Veda di India tersebut masih terus berlangsung hingga kini di Bali (Indonesia), bahwa pada setiap ada upacara kematian, pembacaan karya sastra, umumnya berbahasa jawa Kuno selalu dilakukan, tentunya dengan harapan, pembcaan itu sebagai “phalaúloka  memberi manfaat kepada àtmà yang meninggal, keluarga yang ditinggalkan dan masyarakat umat pendengarnya.
Maharûi Kauþilya (Arthaúàstra V. 6. 225. 1) menyatakan bahwa dengan mendengarkan pembacaan kitab-kitab Itihàsa, sebagai tugas dan kewajiban harian dalam arti seorang raja akan memperoleh pendidikan yang sempurna (Arthaúàstra I.5.10.14), dengan Itivåtta dan Puràóa (yang merupakan element dari Itihàsa) juga dianjurkan kepada para menteri, dengan harapan, jangan sampai terjadi penyimpangan dalam melaksanakan pemerintahan oleh seorang raja.
Kitab Mahàbhàrata digambarkan sebagai ‘itihàsa mahàpuóyaá’ (Itihàsa mengandung nilai-nilai kebajikan yang utama/Àdiparva 112.16) dan sering juga disebut ‘puóyaá kàthàá’ (cerita penuh kebajikan). Di dalam beberapa Itihàsa yang umumnya mengutip kitab Mahàbhàrata dapat ditemukan formulasi ‘atrapy udàharantimàm itihàûa puratamam’ ‘sekarang mulai dengar cerita tentang Itihàsa kuno, dengar uraian berikut’. Cerita Itihàsa banyak mengandung unsur-unsur  pendidikan, dan hal ini sangat dominan di dalamnya. Jalinan sejarahnya seakan-akan tidak nampak. Demikian dapat dijumpai dalam Mahàbhàrata XII.391.14: ‘Sungguh tidak diragukan lagi, wahai Maharûi, seperti pisau belati yang dihujamkan ke hulu hati saya, air mata saya mengalir mendengarkan pembacaan kitab Itihàsa, inilah puncak kerinduan saya, semoga juga hal ini menentramkan hati kami’.
Maharûi Kauþilya di dalam 2 úlokanya (I.5.10.15) memahami makna Itihàsa dalam pengertian kolektip yang terdiri dari 6 kelompok, yaitu: puràóa, itivåtta, àkhyayika, udàharana, dharmaúàstra, dan arthaúàstra. Keseluruhan kelompok itu dianggap benar, dan menyegarkan dalam memecahkan berbagai kesulitan. Kitab Mahàbhàrata sendiri menyebutkan bahwa kitab ini adalah Itihàsa yang terbaik (I.1.266) dan seterusnya. Lebih jauh dapat dipercaya bahwa di masa yang silam India eksistensi Itihàsa atau Itihàsavada telah sangat merakyat dan populer, seperti dinyatakan berikut: “Di dalam pàriplavan àkhyànam, siklus ritual selama 10 hari dari upacara Aúvamedha, dan diulangi dalam setahun, dalam upacara kuda yang dijadikan sararan upacara itu mengembara seluas-luasnya setiap hari, diikuti oleh para petinggi dan sang raja, dan upacara ini dipimpin oleh seorang pandita yang disebut hotå. Hari pertama persembahan ditujukan kepada Manu Vaivaúvata sebagai  raja dan manusia sebagai rakyatnya dan mantra-mantra dari kitab suci Ågveda dirapalkan. Pada hari kedua persembahan ditujukan kepadaYama Vaivaúvata, para pitara, dan kàóða ke-3 dari Yajurveda yang dirapalkan. Pada hari ke-3 ditujukan kepada Varuóa Àditya, para Gandharva, dan parva dari Atharvanah. yang dirapalkan. Pada hari k-4 persembahan ditujukan kepada Soma Vaiûóava dan para Apsara, dan parva dari Aògirasaá yang dirapalkan. Pada hari ke-5 persembahan ditujukan kepada Arbuda Kàdraveya, dan para ular naga. Pada hari ke-6 persembahan ditujukan kepada Kubera  Vaúiúravàna, para ràkûasa dan parva Devajanavidyà yang dirapalkan atau Rakûoviyà atau Paúcavidyà. Pada hari ke-7 persembahan ditujukan kepada Asiþà Dhanvana, para asura dan màyà dengan pembacaan Asuravidyà. Pada hari ke-8 ditujukan Matsya  Sammada, monster air dan Itihàsa dari Puraóavidyà yang dirapalkan. Pada hari ke-9 ditujukan kepada Tarkûya Vaipasyata, raja burung dan Puràóa dari Puràóaveda yang dirapalkan dan pada hari ke-10 ditujukan kepada Dharma Indra, para devatà dan Sàmaveda yang dirapalkan. Jelaslah dapat dirunut seri kitab yang dirapalkan yaikni Ågveda, Yajurveda, Atharvànaá, Aògirasaá,  Sarpavidyà (Viûavidyà), Devajanavidyà atau Rakûàrividyà dan Paiúacavidyà, Màyà atau Asuravidyà, Itihàsa, Puràóa dan Sàmani (Sàmaveda). Daftar yang sama terdapat pada beberapa teks susastra Veda, seperti Úatapatha Bràhmaóa XIX. V.4.10, Båhadàraóyaka Upaniûad II.4.10, IV.1.2, XI.5.6., Taitirìya Àraóyaka II.9. Aúvalàyana Gåhyasutra III.3.1, Atharvaveda XV.6.3.
Dalam daftar kuno di atas, selalu ditemukan posisi berpasangan antara Itihàsa dan Puràóa, dalam hal tertentu sebagai kata majemuk “dvàndva”. Tidak diragukan lagi sejak kitab suci  Veda dituliskan kembali, keberadaan cerita-cerita Itihàsa atau Puràóa atau diberi topik Itihàsa-Puràóa dan diperhitungkan (termasuk) dalam Veda, demikian pula dalam Arthaúàstra, disebutkan eksistensi  Itihàsaveda yang masih berkembang di sekitar abad ke-3 Sebelum Masehi. Para penulis sekarang berpendapat bahwa hampir di semua susastra Sanskerta kita menemukan pengertian tentang Itihàsapuràóa yang kuno itu. Materi cerita rupanya dikumpulkan dari cerita-cerita yang diambil dari kitab-kitab Bràhmaóa,  cerita di dalam Veda dan cerita-cerita lisan tentang kepahlawanan yang sangat memasyarakat saat itu.
Dari kitab Nirukta karya Yàska kita mengetahui adanya salah satu cabang pembelajaran Veda (Vedic School) yang dikenal dengan Aitihàsika, diberi nama demikian karena di dalam menfasirkan mantra-mantra Veda atau sùkta Veda tertentu, menggunakan pendekatan Itihàsa. Yàska melampirkan narasi singkat sebagai suplemen yang menunjukkan  eksistensi Itihàsa atau Àkhyàyana. Seperti subjek yang dibahas dalam pengantarnya, masih nampak kelanjutan dari kitab-kitab Bràhmaóa. Demikian ditemukan istilah Itihàsa di dalam Båhaddevatà dan di dalam Anukràmaói untuk kitab suci Ågveda, dan komentar dari masa pertengahan seperti Devaràja, Durgà, Sadguruúiûya dan teristimewa Sàyaóa ditemukan hal yang sama. Bahkan di dalam teks yang nampak lebih modern masih juga dipertahankan.
Masih barangkali perlu diamati, akhirnya bahwa hubungan antara sùkta Veda dengan Itihàsa merupakan subjek yang belum serasi di dalam philologi Veda.  E. Windisch telah lebih awal memperkirakan bahwa himne Purùrava dan Urvaúì (Ågveda X) merupakan narasi dari konteks Itihàsa ini. Idea ini kemudian dikembangkan oleh H. Oldenberg yang mengajukan teori bahwa sejumlah mantra Ågveda secara actual merupakan dalil yang diambil dari prosa dinarasikan sebagai media bagian dari metrum, dan mesti diakui sangat populer di masa India Kuno. Untuk transmisi yang sistematik ini Oldenberg menyebutnya àkhyàyana, dalam salah satu contohnya adalah kisah Úunahsepam Àkhyànam. Kiranya sudah cukup, ia berpandangan untuk mengajarkan dan belajar tentang mantra-mantra Veda merupakan satu bagian saja, sementara metrum prosa, bahasa yang tidak selalu seperti itu, sayang sekali  tidak terhitung jumlahnya generasi penerus sebagai pencerita, kehilangan keasliaanya. Teristimewa, dalam konteks prosa yang merupakan tradisi yang belakangan yang mesuplai untuk himne-himne Àkhyàyana Ågveda, menurut Oldenberg, ternyata tidak asli secara keseluruhannya, namun demikian masih nampak kelanjutan dari tradisi itu. Teori Àkhyàna yang disampaikan oleh Oldenberg secara umum dapat diterima. Pischel, Geldner, dan penulis dewasa ini pada umumnya setuju dengan pandangan itu.
Di lain pihak, S. Levi menyatakan bahwa umumnya dialog yang terdapat dalam himne Ågveda demikian jelas dan tidak memerlukan sebuah cerita untuk menghubungkannya bersama, semata-mata bacaan dari semacam pemandangan yang dramatis. Sebagai bukti, faktanya Max Muller telah menyatakan sebagai aksi dramatis dalam hubungannya dengan  Ågveda I.165. Berbeda dengan dua sarjana di atas, J. Hartel  menolak teori Àkhyàna, ia mengaggap semua himne Saývàda dalam Ågveda adalah sebuah nyanyian drama yang responsive, yang dipertunjukkan dalam kegiatan  pada upacara Yajña dan diyakini merupakan benih-benih tumbuhnya seni drama India. L. von Schroeder mengambil langkah lebih jauh menjelaskan bahwa semua himne  tersebut sebagai drama ritual. Winternitz menerima jalan tengah dari kedua pandangan yang berbeda di atas, mangajukan teori nyanyian dialog Ågveda tidak semua dapat dijelaskan dengan teori yang sama. Beberapa di antaranya adalah balada yang di dalamnya segala sesuatu diceritakan dalam kata-kata yang teliti, oleh karenanya introduksi prosa hanya penting dalam kasus tertentu, beberapa adalah fragmen puisi yang disusun dengan narasi secara terpisah, dan beberapa unsurnya tidak dapat diselamatkan, dan sebagian lainnya dianggap sebagai úloka berkaitan dengan drama ritual.
A.B. Keith (dalam Kapoor, 953-955) memperdebatkannya bahwa sangat tidak mungkin untuk benar-benar mendapatkan bukti yang kuat dari berbagai teori itu. Ia mengatakan bahwa di dalam susastra Veda kuno tidak ada bekas apakah hal itu merupakan pengetahuan sebuah puisi-prosa Àkhàyana seperti dikemukan oleh Oldenberg, tetapi sepertinya  dalam rangkaian upacara atau seperti yang dikatakan oleh von Schroeder, kedua tipe nampaknya sejalan dalam kaitannya dengan teks ritual dari kitab suci Veda. Simpulan Keith, menurutnya hal itu bukan penjelasan yang menghasilkan sebuah solusi dalam semua penjelasan tidak juga merupakan penjelasan sebuah solusi dalam semua aspek yang memuaskan dan hal itu masih tertutup.
Itihàsa disebut juga Vìracarita atau epos memuat berbagai aspek pemikiran keagamaan yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari bangsa Arya, baik berkaitan dengan sejarah politiknya, sejarah keagamaannya, maupun sejarah perkembangan idea-idea filsafat di India dan merupakan mata rantai yang tidak pernah putus dengan masa lampau, masa yang mendahuluinya, sering terjadi adanya masukan yang baru ke dalam yang lama, sehingga timbullah “liberalisme konservatif” dan hal ini yang mendorong tercapainya hasil-hasil yang gemilang di lapangan kebudayaan dan peradaban India (Radharishnan, 1989:43).
Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki disebut Mahàkàvya yang artinya karya puisi yang besar (agung). Yang memenuhi semua persyaratan sebuah naskah dalam bentuk puisi. Pengarangnya disebut Mahàkavi. Sebagai persyaratan sebuah Mahàkàvya diperlukan  adanya pahlawan laki-laki dan pahlawan perempuan. Dewi Sìtà dalam Ràmàyaóa memegang peranan yang sangat penting dan dominan sebagai pahlawan wanita dalam mahakarya tersebut (Shastri, 2006:63).   
Cerita Ràma sesungguhnya merupakan tuntunan mulia untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia, sejak masa yang silam hingga dewasa ini masih relevan. Cerita ini sama seperti amåta, sama seperti Sungai Gaògà yang maha suci (nadìtama). Cerita ini mengandung koleksi beberapa idealisme agung seperti putra yang dermawan, kakak yang ramah, suami yang tercinta dan penuh tanggung jawab. Ayah yang memenuhi kewajiban dan contoh raja bijak pelindung warga negara, Ràma yang merupakan tokoh dan pahlawan utama dalam Ràmàyaóa dianggap lebih tinggi dari Gunung Sumeru, lebih besar dari langit, lebih dalam dibandingkan dengan dalamnya samudra dan lain-lain memuji kemuliaan Úrì Ràma, oleh karena itu cerita ini sangat terkenal di seluruh dunia. Di Asia Timur dan Tenggara cerita Úrì Ràma sudah sangat populer dan menduduki tempat yang sangat terhormat. Di Laos cerita Ràma dikenal sebagai Fa Lak-Fa Lam (Lak = Lakûamaóa, Lam= Ràma, Ràma dan Lakûamaóa). Di Thailand dikenal sebagai Ràmakien  dan di Indonesia dikenal sebagai Ràmàyaóa Kakawin. Cerita Ràma ini sangat umum sebagai cerita wayang Indonesia (Mishra, 1988:16).
Istilah Yunani “epos” adalah padanan dari istilah Sanskerta Itihàsa. Kedua epos Iliad dan Odisseus (Odyssey) dan buku I Sejarah dari Titus-Livius merupakan padanan Yunani-Romawi kuno (Pra-Nasrani), dari Mahàbhàrata dan Ràmayana. Istilah Yunani “epos” menjelma menjadi istilah “epopee” di dalam bahasa Perancis (Tristani, 2002:1). Bimal Krishna Matilal (1989:4) menyatakan bahwa Mahàbhàrata yang terdiri dari 200.000 baris lebih, delapan kali lebih besar dibandingkan dengan Illiad dan Odyssey digabungkan menjadi satu.
Seperti telah umum diketahui bahwa Itihàsa terdiri dari dua epos besar (vìracarita) yaitu Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata. Itihàsa, juga termasuk kitab-kitab Puràóa dinyatakan sebagai jantung hati, atau nurani dari ajaran Agama Hindu (Klostermaier, 1990:74) yang menunjukkan kepada kita bahwa sumber ajaran Agama Hindu, di samping tentunya Veda sebagai wahyu Tuhan Yang Maha Esa adalah kitab-kitab Itihàsa dan juga Puràóa. Dalam kedua jenis kitab-kitab tersebut kita mendapatkan contoh pengamalan, implementasi ajaran Agama Hindu untuk kehidupan sehari-hari.  Di antara kedua epos tersebut Ràmàyaóa ternyata lebih tua dibandingkan dengan Mahàbhàrata. Untuk membuktikan hal tersebut dapat dirunut dari beberapa hal, antara lain:
1)    Maharûi Vàlmìki tampak bersinar di Indraloka, istana dewa Indra, di Kahyangan disebutkan dalam Sabhaparva (7.16) Mahàbhàrata.
2)    Disebutkan pula di dalam Udyogaparva (83.27) Mahàbhàrata, Maharûi Vàlmìki bertemu dengan Úrì Kåûóa yang sedang berangkat menuju Hastinàpura sebagai seorang utusan dari pihak Paóðava.
3)    Sàtyaki (salah seorang pahlawan di pihak Paóðava) membaca syair Ràmàyaóa yang disusun oleh Maharûi Vàlmìki, setelah membunuh raja Bhùriúrava dalam perang Bhàratayuddha dinyatakan dalam Droóaparva (143) Mahàbhàrata.
4)    Di dalam Anuúàsanaparva (8.8) Mahàbhàrata dijelaskan bahwa Maharûi Vàlmìki menguraikan manfaat pemujaan (kebhaktian) kepada Sang Hyang Úiva (Mani,1989: 823). Sebaliknya pada kitab Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki tidak dijumpai uraian atau keterangan apapun tentang kitab Mahàbhàrata karya Maharûi Vyàsa atau Kåûóadvaipàyana.
5)    Lebih jauh G. S. Altekar dalam bukunya Studies on Vàlmìki Ràmàyaóa (1987: 53) menyatakan bahwa sama sekali tidak ditemukan informasi tentang Bhàrata atau Mahàbhàrata di dalam kitab Ràmàyaóa. Tidak ditemukan sama sekali satu nama maupun uraian tentang suatu kejadian dalam cerita Mahàbhàrata. Sebaliknya uraian ringkas tentang Ràmàyaóa diuraikan dalam 25 episode dari Àraóyaka atau Vànaparva (257-276) Mahàbhàrata edisi Kumbhakonam. Beberapa kejadian diceritakan di antaranya dalam topik Ràmopàkhyàna.
6)    Di dalam Droóaparva (59.29) disebutkan Maharûi Vyàsa menggambarkan keutamaan perilaku Úrì Ràma, “semua orang meneladani sikap yang dilakukan oleh Úrì Ràma. Seluruh dunia senantiasa menjadikan Úrì Ràma sebagai teladan, ketika Úrì Ràma memerintah” dan banyak lagi cerita atau nasehat yang terdapat di dalam Mahàbhàrata mengutip úloka Ràmayaóa karya Vàmìki.
7)    Demikian pula di dalam Adiparva (204.5-6) Mahàbhàrata, Vidura, seorang Menteri dari raja Dhåtaràûþra memberi nasehat sebagai berikut: Ada dua orang utama yang sangat mulia pada masanya, cerdas dan bijaksana, wahai raja, nasehatilah putra anda dan putra Paóðu. Yang selalu mengikuti kebenaran dan taat kepada hukum, kedua orang tersebut adalah pertama Mahàràja Bhàrata dan tidak diragukan lagi yang kedua adalah Úrì Ràma, putra Mahàràja Daúaratha, keturunan Maharûi Gaya” (Trikha, 1981:10).
8)    Lebih jauh dalam cerita 16 raja secara ringkas diuraikan di dalam kitab Úàntiparva Mahàbhàrata. Yudhiûþhira sangat menderita dan menyesali banyak korban yang mengerikan gugur dalam perang besar keluarga Bhàrata. Kemenangan dalam perang dan kerajaan yang ia peroleh kembali tidak memberikan kedamaian dalam pikirannya. Arjuna memohon kepada Úrì Kåûóa untuk menenangkan dan membangkitkan kesadarannya. Úrì Kåûóa kemudian menceritakan 16 raja kuno yang sangat terkenal. Ia menceritakan 16 raja kuno yang agung dan senantiasa menegakkan kebenaran semasa hidupnya sampai mereka meninggalkan dunia ini. Mengapa Yudhiûþhira menyesali mereka yang gugur dalam pertempuran? Dari enam belas raja tersebut, Úrì Ràma adalah yang sangat terkenal sebagai penegak kebenaran. Úrì Kåûóa menjelaskan dengan panjang lebar keutamaan Úrì Ràma yang sangat ideal dan patut diteladani, barangkali sangat sesuai menurut pandangan Yudhiûþhira yang mengharapkan segera pulih kesadarannya dan memerintah kerajaan, meneladani model pemerintahan Úrì Ràma (Atlekar, 1987: 58).
9)    Di dalam Bhagavadgìtà, yang merupakan bagian dari Bhìûmaparva,  diuraikan bahwa Úrì Kåûóa menjelaskan kepada Arjuna untuk tidak ragu-ragu dalam pikirannya dan menjadikannya siap untuk bertempur. Dalam adhyàya X, 31,  Úrì Kåûóa menjelaskan Vibhùti Yoga atau ‘perwujudan dari kekuatan suci’. Dalam adhyàya tersebut dijelaskan: “Di antara para pahlawan yang memegang senjata, Aku adalah Ràma”. Hal ini menunjukkan bahwa Ràma ada lebih dahulu dari Úrì Kåûóa. Úrì Kåûóa populer dengan nama yang lain, yakni Vàsudeva. Dalam adhyàya X.37 Bhagavadgìtà, Úrì Kåûóa menyatakan: “Aku adalah Vàsudeva di antara para Våûói” (Atlekar, 1987: 59).
Berdasarkan uraian tersebut jelaslah bahwa kitab Ràmàyaóa lebih tua usianya dibandingklan dengan kitab Mahàbhàrata. Rajendra Singh Kushwaha (2003:22) menegaskan bahwa Śrì Ràma tidak dapat dipandang sebagai tokoh mitologis atau pahlawan dalam epos. Arkeologi modern belum mampu mengungkapkan  periodisasi dari Śrì Ràma dan Bhàratiya (masyarakat India) tidak dapat menerima Śrì Ràma sebagai semata-mata tokoh mitologis, dan kini bukti-bukti sejarah jelas dan terus menerus diungkapkan. Dapat pula ditambahkan dewasa ini, dalam bahasa Hindi yang merupakan perkembangan dari bahasa Sanskerta, kata Itihàsa berarti sejarah (history) dan bila mengamati jurusan sejarah di sebuah Universitas atau College di India, ditemukan papan nama Itihàsa Vibhaga yang artinya Department of History atau jurusan sejarah.
Di lihat dari isinya, sesuai dengan úloka dalam Àdiparva, maka kitab Mahàbhàrata digambarkan sebagai kitab Dharmaúàstra, sebagai Arthaúàstra, sebagai Kàmaúàstra, dan sebagai Mokûaúàstra (arthaúàstramidaý proktaý dharmaúàstramidaý mahat kàmaúàstramidaý proktam vyàsenàmitabuddhinà). Lebih jauh dinyatakan bahwa apa saja tentang ajaran dharma, artha, kàma dan mokûa, terkandung dalam kitab Mahàbhàrata ini, barangkali dapat di jumpai di tempat-tempat lainnya, tetapi apa yang tidak ada di dalam kitab ini tidak akan pernah dijumpai di kitab-kitab lainnya (Dharme cārthe ca kāme ca mokûe ca Bhàratarûarbha, yadihāsti tadanyatra yannehāsti na kutra kvacit. Svargarohaóaparva V.50).
Úloka Svargarohaóparva V.50 di atas diterjemahkan dalam kitab Sarasamuccaya berbahasa Jawa Kuno sebagai berikut.

Anaku kamuò Janamejaya, salviriò varavarah, yàvat makapadàrthangcaturvarga, sàvataranya, sakopanyasanya, hana juga ya òke, saòskûepanya, ikaò hana òke, ya ika hana iò len saòkeriki, ikaò tan hana òke, tan hana ike riò le saòkeriki”.

Sarasamuccaya 1.

“Anakda Janamejaya, segala ajaran tentang catur varga (Dharma, Artha, Kàma, dan Mokûa) baikpun sumber, maupun uraian arti atau tafsirnya, ada terdapat di sini; singkatnya, segala yang terdapat di sini akan terdapat dalam sastra lain; yang tidak terdapat di sini tidak akan ditemukan dalam sastra lain dari sastra ini”

A.N. Jani (1989:69) menambahkan, bahwa Mahàbhàrata tidak hanya puisi sejarah kepahlawanan (itihàsa), tetapi juga merupakan buku hukum dan moralitas (dharmaúàstra), buku etika (tata susila) atau nìti, dan faktanya merupakan sebuah buku ensiklopedia tentang budaya India, yang di dalamnya terdapat berbagai permasalahan moralitas.
         Menurut S. G. Kantawala (1989:89) Mahàbhàrata merupakan kompedium berbagai legenda, cerita-cerita, pengajaran dan pendidikan, hukum, moral, filsafat, dan sebagainya. Mahàbhàrata juga disebut sebuah Kavya (Àdiparva 1.173), sebuah Dharmaúàstra (Àdiparva 56.21) dan sebuah cerita kepahlawanan (Itihàsa) seperti dijumpai dalam Àdiparva (56.21, 56.19, 1.17, 1.52, 56.18). Berdasarkan kutipan di atas Mahàbhàrata merupakan sebuah cerita berbingkai yang di dalamnya terkandung berbagai pengetahuan, moralitas, hukum, pendidikan budi pekerti, filsafat hidup, cerita kepahlwanan, dan sebagainya.


2.2  Ruang Lingkup dan Jumlah Kitab-Kitab Itihàsa

Seperti telah disebutkan di atas kitab Itihàsa terdiri dari dua kitab besar, yaitu Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata. Ràmàyaóa tertua adalah Ràmàyaóa berbahasa  Sanskerta karya Àdikavi Vàlmìki, sedang Mahàbhàrata karya Maharûi Vyàsa, Vedavyàsa atau Kåûóa Dvaipàyaóa. Nama lain Ràmàyaóa adalah Caturviýúati-sàhasrì-saýhità. Hal  ini disebabkan oleh karena jumlah úloka (syair)nya sebanyak 24.000 buah. Beberapa pandita Hindu di India percaya bahwa masing-masing keseribu úloka dimulai dengan Gàyatrì mantram. Buku Ràmàyaóa karya Vàlmìki menurut edisi Ràmàyaóa oleh Úrì Ràmakoûa Maóðala, Sadàúivapith, Poona, India, terdiri dari 7 kàóða, 659 sargah dan 23.864 úloka sebagai berikut.

No.
Nama Kàóða
Jumlah Sargaá
Jumlah úloka
1.
Bàla Kàóða (masa kanak-kanak Úrì Ràma di Ayodhyà kemudian belajar di Àúrama dan diminta melindungi para Maharûi di hutan)

77


2.266

2.
Ayodhyà Kàóða (penobatan Úrì Ràma di Ayodhyà yang akhirnya dibatalkan oleh raja Daúaratha, ayahdanya)

119

4.185

3.

Àraóya Kàóða (masa pembuangan/ pengembaraan Ràma di hutan bersama Sìtà dan Lakûamaóa).


75

2.441
4.
Kiûkióða Kàóða (saat bertemu dengan Hanùman, Sugriva dan Subali)


67

2.453

5.
Sundara Kàóða (pembuatan jembatan menuju Laòka)


68

2.807

6.
Yuddha Kàóða (pertempuran Úrì Ràma dengan Ràvaóa dan pasukannya)


111

5.675

7.
Uttara Kàóða (uraian asal dan kembalinya Úrì Ràma sebagai avatàra Viûóu)


128

3.373


Jumlah
645
23.200


Prakûipta (tambahan)

14

664

Jumlah keseluruhan
669
23.864


Demikian jumlah úloka Ràmàyaóa Vàlmìki mendekati 24.000 úloka. Jumlah úloka ini tentu berbeda di dalam setiap edisi Ràmàyaóa, tetapi cerita Úrì Ràma tetap sama dan tidak berbeda. Umumnya terdapat 3 edisi Ràmàyaóa yang sangat terkenal di India, yaitu: Edisi India Utara (kota Lahaur), Edisi India Selatan (kota Madras), Edisi India Timur atau Bengali (kota Calcuta)(Mishra, 1988:16).
Di samping Àdikavya (syair pertama, perdana dan utama) Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki tersebut di atas, terdapat pula beberapa Ràmàyaóa yang juga dihubungkan sebagai karya Àdikavi Vàlmìki, Ràmàyaóa tersebut antara lain: Vàsiûþharàmàyaóa atau Jñànavàsiûþha. Adbhùta Ràmàyaóa, Adbhùtottàràràmàyaóa dan lain-lain. Menurut Adbhùtaràmàyaóa, dewi Sìtàlah yang membunuh Ràvaóa yang berkepala sepuluh. Ràmàyaóa lainnya yang berbahasa Sanskerta adalah Adhyàtmaràmàyaóa. Ràmàyaóa ini merupakan bagian dari Brahmàóðapuràóa. Ràmàyaóa ini ditulis dalam bentuk percakapan antara dewi Umà (Parvatì) dengan Sang Hyang Úiva. Ànandaràmàyaóa dan Mùla Ràmàyaóa memuji keagungan Hanùman (Mani, 1989: 641). Terdapat juga Kamba Ràmàyaóa berbahasa Sanskerta.
Di samping itu, dalam masa belakangan ditulis pula Ràmacarita Manasa karya Maharûi Tulaûìdàúa atau Tulaûìdàúa Ràmàyaóa dengan media bahasa Hindi, di Thailand dikenal Ràmakien atau Ràmakìrti, yakni Ràmàyaóa berbahasa Thai yang oleh Prof. Dr. Satya Vrat Shastri (1989)  diterbitkan dalam bahasa Sanskerta dengan terjemahan Inggris dengan nama Úrìràmakìrtimahàkàvyam, sedang di Indonesia dikenal Ràmàyaóa berbahasa Jawa Kuno yang penulisnya tidak dikenal secara pasti, namun pada akhir karya ini menyebut Yogìúvara, yang secara tradisional, nama ini disebut sebagai penyusunnya.
Mahàbhàrata dikenal sebagai buku Itihàsa. Kata mahà berarti besar atau agung, sedang kata Bhàrata berarti raja-raja dari  dinasti Bhàrata. Jadi Mahàbhàrata berarti cerita agung tentang keluarga Bhàrata. Raja-raja ini dikenal sebagai Pàóðava dan Kaurava. Buku Mahàbhàrata menceritakan cerita kedua keluarga yang berakhir dengan kemusnahan keluarga Kaurava. Pada  mulanya Maharûi Veda Vyàsa, menulis kitab ini dengan nama “Jaya Saýhità”. Setelah itu Vaisampayana, muridnya sendiri dan setelah itu, Suta Ugasrava, juru cerita yang menceritakan cerita ini. Demikian Mahàbhàrata terdiri dari tiga pangkalan  perkembangan, yaitu :   

Nama   Cerita
Penulis
Jumlah Úloka
1. Jaya Saýhità
Vedavyàsa
8.800
2. Bhàrata Saýhità
Vaiúampayana
24.000
3.Mahàbhàrata Saýhità      
Sùta Ugaúravà
100.000

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, nama lain Mahàbhàrata adalah “Úatasàhasri Saýhità”  (yang mempunyai seratus ribu úloka (Mishra, 1988: 18). Penjelasan tentang nama Jaya dapat dijumpai dalam kitab Àdi Parva (62.22), Parva Pertama Mahàbhàrata: “jayo nametihàso’yaý úrotvyo vijigìûuóà”, sedang nama Bhàrata Saýhitàm dijelaskan dalam Àdiparva (1.78): “catur viýúati sàhasrìý cakre bhàrata saýhitàm upàkhyànairvinà tàvad bhàrataý procyate budhaiá”. Mahàbhàrata disebut sebagai karya sastra, Itihàsa atau Vìracarita terbesar, di samping Ràmàyaóa, terdiri dari demikian banyak episode yang menunjukkan pula ditulis dalam beberapa periode, oleh karena itu juga disebut sebagai ‘Cycle of Poems’. Kisahnya adalah perang besar antara dua keluarga keturunan Bhàrata, antara Paóðava dan Kaurava dan karya ini oleh Akbar diterjemahkan ke dalam bahasa Persia, namun karena kemunculan dewa-dewa ke bumi, konsultasi di sorga, maka semua episode tersebut dihapuskan dalam versi terjemahan bahasa Persia (Kapoor, III. 2001:1149).
Mahàbhàrata ini dibangun atas delapan belas parva, yaitu:
1)    Àdiparva  (àdi = pertama). Melukiskan 2 raja bersaudara Dhåtaràûþra dan Pàóðu, keturunan dinasti Candra. Dhåtaràûþhra memili cacat tubuh berupa buta ke dua matanya sejak lahir)yang menurut hokum tidak berhak untuk naik tahta menggantikan ayahdanya. Dari perkawinan Dhåtaràûþra dengan Gàndhàrì lahir  seratus orang putra diberinama Kaurava, sedang dari perkawinan Pàóðu dengan Kuntì dan Màdrì lahir 5 orang putra diberi nama Pàóðava. Saudara tertua dari Pàóðava adalah Yudhiûþhira.
2)    Sabhàparva (sabhà = sidang, pertemuan). Pàóðava dan Kaurava hidup bersama di dalam keraton Hastinàpura. Yudhiûþhira senantiasa ditipu oleh Duryodhana (saudara tertua Kaurava) atas bujukan pamannya bernama Sakuni.
3)    Vànaparva (melukiskan kekalahan Pàóðava dan pembuangannya ke hutan).
4)    Viràtaparva (melukiskan pembuangan Pàóðava yang kedua).
5)    Udyogaparva (melukiskan kompromi antara Kaurava dan Pàóðava).
6)    Bhìsmaparva (melukiskan perang Bhàrata dan kejatuhan Bhìûma).
7)    Droóaparva (melukiskan perang Bhàrata dan kematian Droóa).
8)    Karóaparva (melukiskan perang Bhàrata dan kematian Karóa).
9)    Úalyaparva (melukiskan perang Bhàrata dan kematian Úalya).
10) Sauptikaparva (melukiskan perang malam oleh Aúvatthama dan kematian anak-anak   dewi Draupadì, melukiskan kematian Duryodhana). 
11) Strìparva ( melukiskan  ratap  tangis janda dan upacara kematian).
12) Úàntiparva (melukiskan kematian Bhìsma yang seorang kakek, sebelum beliau meninggal, beliau memberikan wejangan Dharma kepada Yudhiûþira).
13) Anuúàsanaparva (melukiskan kerajaan Pàóðava).
14) Àúvamedhikaparva (melukiskan Upacara Yajña Àúvamedha oleh Pàóðava).
15) Àúramavàsikaparva ( melukiskan Dhåtaràstra dan lain-lain tinggal di hutan).
16) Mauúalaparva (melukiskan kehancuran keturunan Yadu di Dwaraka.
17) Mahàprasthànikaparva (melukiskan kepergian Pàóðava ke Gunung Himawan).
18) Svargàrohanaparva (melukiskan kematian Bhìma, Arjuna dan lain-lain).
Menurut tradisi sastra India, kitab Mahàbhàrata mengandung beberapa unsur yaitu: ajaran tentang dharma, filsafat  hidup, kesusastraan, musik, kesenian, bentuk bangunan, permainan, tari-tarian, ilmu nujum, ilmu falak (astronomi), dan sebagainya. Kitab Mahàbhàrata dikenal juga sebagai Pañcama Veda  (Veda kelima). Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Nya sebagai Kåûóa mengatakan rahasia àtma (jiwa) kepada Arjuna dan jalan seseorang untuk membebaskan dirinya dari rangkaian hidup dan  mati untuk mencapai Mokûa, beratu kembali dengan Tuhan Yang Maha Esa.


2.3  Masa penyusunan kitab-kitab Itihàsa

Kapankah kitab-kitab Itihàsa ditulis? Seperti telah dijelaskan bahwa Ràmàyaóa jauh lebih dahulu disusun dibandingkan dengan Mahàbhàrata, bahkan Ràmàyaóa disebut Àdikavya, syair yang pertama, karena sebelum Ràmàyaóa tidak dijumpai dokumen sastra seperti karya sastra seindah kitab Ràmàyaóa. Berbagai pendapat tentang masa penyusunan kitab-kitab Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata. Para sarjana (Barat) rupanya mempunyai persepsi yang sama dan bulat tentang tiga esensi momentum berkaitan dengan sejarah Itihàsa (Farquhar, 1984:45). Dari ketiga momentum itu, dua di antaranya sama. Tiga momentum penuh tampak dalam Mahàbhàrata, sedang dalam Ràmàyana, momentum pertama dan kedua lebih mudah dipahami, sementara momentum ketiga tampaknya agak samar. Ketiga momentum tersebut adalah:
Itihàsa sebagai susastra populer pada sekitar abad ke 6, 5   dan 4 Sebelum Masehi. Itihàsa sebagai susastra sektarian oleh para pandita Vaiûóava sekitar abad ke 2 Sebelum Masehi. Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata) menjadi ensiklopedi teologi agung Vaiûóava, juga terkandung ajaran filsafat, politik dan hukum sekitar abad pertama dan kedua Masehi.  Di India, seperti halnya Yunani, epos muncul dari lagu-lagu untuk memuji perilaku mulia, hal ini ditunjukkan oleh beberapa bukti di masa yang silam. Pada mulanya lagu-lagu pujian itu dinyanyikan dan komposisinya dikembangkan, tidak hanya dinyanyikan tetapi juga dideklamasikan dan bahkan didramatisasikan. Menurut Farquhar (1984:46), para sarjana seperti Macdonell, Hopkins dan Keith sepakat menyatakan bahwa kedua epos itu muncul dalam abad yang sama, antara 600-300 Sebelum Masehi, sedang menurut Jacobi, karya Maharûi Vàlmìki sudah ditulis antara 600 sampai 400 Sebelum Masehi.
Pendapat di atas, tentunya tidak sepenuhnya diterima di kalangan sarjana lainnya, khususnya sarjana India. Peninggalan epigrafis dan arkeologis yang berhubungan dengan Itihàsa khususnya   Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata masih dapat dijumpai di beberapa tempat di India, misalnya  peninggalan-peninggalan purbakala di Ayodhyà, Citrakuta, Ràmeúvaram dan juga bekas kota Indrapraûþha, Kurukûetra, tempat-tempat suci  yang berhubungan dengan Sungai Gaògà, Yamunà dan sungai-sungai  suci lainnya, termasuk pula pertapaan-pertapaan seperti pertapaan Maharûi Vyàsa di Badrinatha (di lereng pegunungan Himalaya) yang  kini tempat-tempat bersejarah itu ramai dikunjungi oleh umat Hindu untuk melaksanakan Tìrthayàtra.
Kapankah Ràmàyaóa ditulis?. Tidak ada yang tahu pasti. P. Lal (1985: xxxiv) menyatakan: “Perkiraan kasar adalah antara tahun 1500 Sebelum Masehi sampai 200 Sebelum Masehi. Sebuah Laporan Press Trust of India yang dimuat oleh koran Ananda Bazar Patrika pada tanggal 20 Desember 1980 mengatakan: “Kapan Ràmàyaóa ditulis? Jika hasil penyelidikan  yang dilakukan ahli geologi  Ahmedabad bisa dipercaya, maka Ràmàyaóa tidak mungkin berumur lebih dari 2.800 tahun. Kota Shringaverapura yang disebutkan di dalam Ràmàyaóa terletak antara Uttar Pradesh dan Punjab baru-baru ini telah digali dan diselidiki, dan pengukuran kadar radioaktif karbonnya menunjukkan umur seperti tadi. Mereka mengajukan hasil penemuan ini kepada Badan Penyelidikan Arkeologi India. Juru bicaranya mengatakan bahwa materi-materi yang didapatkan dari penggalian itu asli serta utuh walaupun sudah melalui kurun waktu yang panjang. Dengan demikian, jelas tidak mungkin Ràmàyaóa ditulis sebelum tahun 800 Sebelum Masehi.
Prof. B. B. Lal  (dalam Lal, 1995:xxxvi, Atlekar, 1987:330) selanjutnya menyatakan bahwa Ràma dan Kåûóa sebagai tokoh sejarah, maka mereka pastilah hidup lebih awal dari zaman Buddha, yaitu abad ke-6 Sebelum Masehi. Jadi, ada jarak sekitar seribu tahun dari kejadian-kejadian yang disebutkan pada kedua epik itu dan terciptanya karangan tentangnya. Lebih jauh dinyatakan bahwa Prof. B. B. Lal begitu terkesan oleh hasil-hasil penggalian (yang berkaitan dengan peninggalan Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata), sehingga ia berani mengatakan bahwa Ràmàyaóa (demikian pula Mahàbhàrata) bukanlah semata-mata hasil khayalan. “Jika berita yang diedarkan tanggal 9 Februari 1981 dapat dipercaya, penggalian yang sedang berlangsung di Citrakuta, Uttar Pradesh telah menghasilkan sejumlah materi yang sama dengan yang ditemukan di berbagai lokasi Ràmàyaóa lainnya, seperti Ayodhyà (ibukota Kerajaan Daúaratha),  Shringaverapura (tempat Úrì Ràma menyeberangi Sungai Gaògà dalam perjalanannya ke selatan memulai 14 tahun pembuangannya) di mana Úrì Ràma tinggal sementara dengan Maharûi Bhàradvàja. Citrakuta terletak di tepi Sungai Mandakini, Distrik Banda, Uttar Pradesh. Di sini ditemukan banyak kuil di tepi kirinya. Salah satu pertanda utama zaman Ràmàyaóa adalah sejenis gerabah khusus yang oleh para akhli arkeologi disebut sebagai gerabah poles hitam dari utara. Benda-benda ini sangat halus berkilau, bagaikan berlapis cermin, dari yang hitam baja sampai warna muda. Di antara kuil-kuil di Citrakuta banyak daerah terbuka. Di daerah inilah ditemukan berbagai jenis gerabah hitam mengilau dari zaman yang tertua selama masa penggalian empat tahun terakhir ini.
Juga dalam sumber yang sama (Lal, 1985L:xxxvii) dalam pidatonya di seminar empat hari di Direktorat Arkeologi Madhya Pradesh tanggal 23 Februari 1978, tentang nilai sejarah Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata, Dr. A. K. Chatterjee merasa yakin bahwa “Ràmàyaóa yang asli diselesaikan jauh sebelum Mahàbhàrata dan kedua naskah itu diselesaikan sebelum berdiri komplek kesenian Pataliputra-Ujjaini”. Menurut Chatterjee seluruh naskah Ràmàyaóa, kecuali Uttarakàóða adalah karya satu orang, seorang penyair yang hidup “sebelum lahir Sang Mahavira (pendiri Agama Jaina) dan Sang Buddha (pendiri Agama Buddha). Uttarakàóða ditulis berabad-abad setelah itu, namun sebelum kelahiran Kristus. Dikatakan bahwa Úrì Ràma, Daúaratha, dan Aúvapati (salah satu mertua Daúaratha) hidup sekitar tahun 2.050 Sebelum Masehi, ini didasarkan melalui bukti kesusastraan, terutama syair dalam Puràóa yang mengatakan adanya tenggang waktu sekitar 1.050 tahun antara Parikûit II dan Mahàpadmànanda, serta beberapa bagian lain dari Puràóa dan Mahàbhàrata yang menyatakan ada tiga puluh generasi antara Úrì Ràma dan Båhadbala yang terbunuh dalam perang di Kurukûetra.
Bansi Pandit (2005:405-406) dengan mengutip pendapat David Frawley (Pandit Vamadeva Shastri) seorang peneliti Barat menyatakan bahwa Veda disusun sekitar tahun 6.500 Sebelum Masehi, dibuktikan dari mantram-mantram Ågveda yang mengacu pada konfigurasi astronomis yang menunjuk waktu 6.500 Sebelum Masehi. Zaman Veda berlangsung antara 6.000-2.000 Sebelum Masehi, sedang periode Úrì Ràma sekitar 4.750 Sebelum Masehi. Pendapat Bansi Pandit di atas rupanya dapat dijadikan pegangan mengingat setelah zaman Ràmàyaóa diikuti dengan zaman Mahàbhàrata. Menurut Satya Vrat Shastri terdapat tiga episode sebelum Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki seperti bentuknya sekarang, yaitu: (1) Percakapan antara Maharûi Vàlmìki dengan Devarûi Nàrada. (2) Terbunuhnya burung Krauñca oleh seorang pemburu, dan (3) Kerunia Dewa Brahmà kepada Maharûi Vàlmìki untuk menggambarkan kehidupan Śrì Ràma.
Tentang masa penyusunan kitab Mahàbhàrata dapat dirunut sebagai berikut. Perang besar keluarga Bhàrata  (Mahàbhàratayuddha) berlangsung  pada tahun tahun 3.l38 Sebelum Masehi yang merupakan masa akhir  dari jaman Dvapara Yuga. Keterangan ini berdasarkan prasasti  Aihole  yang  dikeluarkan  oleh   raja  Puleskin II. Demikian pula  penobatan raja Parìkûit, cucu Arjuna  (Pàóðava) berlangsung pada  tanggal l8 Februari tahun 3.l02 Sebelum Masehi. Pendapat ini  dikemukakan oleh seorang akhli astronomi yang bernama Aryabhatta. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Maharûi Garga, Varamihira dan Kalhana (Gambhìrànanda, 1984:XIII, Kushwaha, 2003:34). Karandikar mengatakan bahwa perang besar keluarga Bhàrata itu terjadi pada tahun 1.93l Sebelum Masehi, sedang menurut pendapat Prof. Sen Gupta bahwa perang itu berlangsung pada tahun 2.566 Sebelum Masehi dan C. V. Vaidya menyatakan pada tahun 3.102 Sebelum Masehi (Gambhìrànanda, 1984:XIII).   Kurukûetra  yang luasnya sekitar 100 kilometer persegi kini menjadi sebuah kota suci. Di sekitar Kurukûetra ini kita  jumpai tempat diwedarkannya sabda suci Bhagavadgìtà oleh Úrì  Kåûóa yang diterima oleh Arjuna,  tempat ini bernama Jyotisara.  Juga tempat Åûi Agung Bhìûma rebah di atas tempat tidur dari panah  (úaratalpa) yang kini bernama Banagaògà Bhìûma, tempat gugurnya  Abhimaóyu yang dikeroyok oleh Kaurava, tempat dewi Draupadì  memuja dewi Durgà untuk keberhasilan Pàóðava dalam perang besar  Bhàratayuddha kini disebut Candrakupa, dan lain-lain.
Tentang Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata sebagai sumber sejarah Agama Hindu, G.S. Atlekar (1987:329) dalam bukunya Studies on Vàlmìki’s Ràmàyaóa menyatakan. The fact is that since the time of the Ràmàyaóa  and the Mahàbhàrata also, the general public was of the firm opinion that the persons of both these epics where historic ones and the stories narrated therein were historic events. Ancient tradition was also same. Lebih jauh dalam bahasa Sanskerta  kata Itihàsa diterjemahkan  ke dalam bahasa Inggris history yang artinya sejarah, jurusan  sejarah pada Univeåûitàs (Viúvavidyàlaya) atau Institut (Mahàvidyàlaya) disebut Itihàsa Vibhaga (Department of History). Ràjaniti Vibhaga (Department of Political Science), dan lain-lain. Jadi  berdasarkan penjelasan di atas, Itihàsa dalam hubungannya  dengan susastra Hindu, adalah kitab sejarah. Selanjutnya peristiwa sejarah  itu diangkat menjadi karya sastra yang indah dan mempesona oleh  Àdikavi Vàlmìki dalam Mahàkavya Ràmàyaóa, kemudian perang besar  keluarga Bhàrata diangkat menjadi karya sastra Mahàbhàrata oleh  Maharûi Vyàsa (Kåûóadvaipàyana) bukan berarti kebenaran sejarah itu lenyap. Di India Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata tidak digolongkan  ke dalam karya sastra, sebab karya agung monumental itu cukup disebut Itihàsa saja. Keutamaan dari Itihàsa ini, di samping dapat  dikaji dari keindahan sastranya, sudut estetikanya, juga dapat  dikaji melalui ajaran moral agama, filsafat maupun Yoga. Demikian pula dalam awal Mahàbhàrata, Maharûi Vyàsa yang dikenal juga bernama Kåûóadvaipàyaóa menyatakan.

                        Puràóasaýhità puróya kathà dharmàrthasaýúrità.

                                                                        M.B. Àdiparva I.16.

                        (Cerita yang menarik ini merupakan perpaduan antara  peristiwa 
sejarah  dan  mitologi  sebagai landasan mewujudkan Dharma).

Demikian antara lain penjelasan penyusun langsung kedua kitab Itihàsa tersebut di atas yang merupakan pula landasan untuk mengkaji kedudukan Itihàsa dan Puràóa sebagai sumber ajaran Agama Hindu. Maharûi Vàlmìki adalah seorang filosuf moral realistik, dia menginterpretasikan hukum  Dharma yang dalam prakteknya  berguna bagi mahkluk hidup, melalui usaha ini bisa membuat karakter dan nilai asosiasi untuk masyarakat serta lebih tinggi dari ukuran nilai eskatologi abstrak. M.A. Buch mengatakan, “Teori etika Hindu adalah  koherensi organik yang merupakan pengalaman dan alasan bercampur bersama-sama, selalu dinamis. Lingkungan diambil ke dalam hitungan meski tanpa  putus sejak masa lalu. Ini barangkali paling benar tentang Vàlmìki. Saya telah mencoba mengembangkan  ide ini sebagai point utama dalam thesis saya. Saya juga menghormati beberapa halaman untuk menunjukkan bahwa Ràmàyana merupakan ajaran  moral Hindu laksana batu yang tidur. Dalam tokoh Ràma, Lakûamaóa dan Bhàrata  merupakan suatu contoh persaudaraan yang tiada bandingnya. Hanumàn merupakan seorang penyembah   sebagai pelayan dan Sìtà adalah istri yang sebenarnya, dalam kerajaan yang ideal dalam persahabatan kita memiliki keperluan hakiki daripada moralitas kehidupan  yang lengkap setiap umat Hindu  untuk kabajikan moral dan sosial. Gambaran kami terhadap kehidupan moral tidak akan lengkap sampai  perlakuan anti sosial dan kejahatan setiap orang pada koridor waktu juga digambarkan”. “Orang Yunani kuno  menekankan kesempurnaan fisik  dan kebaikan intelektualitas sebagai tujuan dari kehidupan manusia, Hindu kuno menekankan kepada kesempurnaan kehidupan di dunia, kepemilikan, kebahagiaan, kenikmatan seksual, kehidupan keluarga, kenikmatan hidup, tetapi tidak seluruhnya dan secukupnya,  kesempurnaan tentang seksualitas ini harus diarahkan ke jalan untuk kesempurnaan spiritual manusia”. “Ini merupkan tujuan Vàlmìki  dan saya mencoba membawanya keluar secara penuh dalam aspek-aspek yang berbeda Vàlmìki tidak pernah dibayang-bayangi oleh ketakhayulan religius, ortodox atau metafisika. Dia telah mempresentasikan  kepada kita kenyataan-kenyataan kongkrit yang mengantarkan kita dapat tiba pada keterangan  dan dugaan nyata tentang pandangan pragmatis realistik tentang Dharma yang selalu relatif terhadap ruang dan waktu” (Bhattacharji, 1984: 108).
 “E.W. Hopkins, Mc Kenzie, Farquhar dan beberapa sarjana Barat yang dipengaruhi oleh standar etika Kristiani yang telah gagal untuk  mengerti tentang signifikansi kebenaran dari pada hukum Dharma. Penyangkalan terhadap kenyataan ini sering terbawa pada  situasi kritik menuntut para pemikir Hindu untuk pengembangan  pengetahuan moralitas. Tanpa diragukan lagi bahwa di dalam  kontradiksi dengan para pemikir Barat tiada terpisahkan uraian yang ditulis di India pada pokok-pokok vital seperti di bawah ini, meski saya siapkan  keutamaan bahwa ajaran Vàlmìki bukan merupakan teori akademis, dia memenuhi kewajiban besar ini dalam karya Ràmàyana miliknya. Dia menyasar moral ideal dalam kehidupan  dalam karakter yang terkemuka. Rai Sahib Dineshchandra Sen sangat jelas melihat bahwa “puisi-puisi epos dalam segala zaman  dan negara memberikan ekspresi terhadap idea yang  mengambang di udara di antara dia, mentransmisikan bangsanya secara sering dari waktu yang telah lama. Idea nasional dan kebudayaan  mengklaim dia sebagai  eksponen yang paling pandai bicara. Ceritera tentang kepahlawanan,  tentang kebaikan tanpa  noda dan kemanusiaan yang ideal, dari zaman ke zaman menginspirasikan  suatu ras, yang tersimpan, untuk dibicarakan, di dalam menghimpun puisi-puisi epos. Tradisi kuno mungkin menjadi baru dan menjadi interpretasi  yang sesuai dengan  perkembangan zaman di tangan ahli-ahli epos.  Ini merupakan pegangan yang baik terhadap Ràmàyana” (Bhattacharji, 1984:108).  
Masalah–masalah tentang takdir dan teori tentang karma sangat  ditonjolkan di dalam Ràmàyana. Ràma, dalam jalan yang tidak biasanya, menekankan  jalan nasib yang muncul pada umat manusia  dan meski secara panjang lebar menyangkal doktrin tentang keinginan yang bebas, menyatakan bahwa Kaikeyì mengucilkan dirinya namun dia tidak mungkin terhina. Tetapi kita lihat bahwa Vàlmìki  melalui Lakûamaóa  yang menolak doktrin yang kaku. Saya mencurahkan hal yang khusus untuk mengkritisi problem ini, yakni pandangan semua orang  yang menyatakan bahwa teori karma sebagai sentral doktrin pada Hinduisme yang meninggalkan skala moralitas. Itu ditunjukkan bahwa  perlakuan karya Vàlmìki meninggalkan bekas sebagai suatu doktrin tentang takdir, sering kali dikhayalkan sebagai keinginan Tuhan Yang Maha Esa atau beberapa kekuasaan supra natural lainnya terhadap manusia-manusia yang  lemah yang tidak ditemukan.
Melalui pendahuluan ini, ijinkanlah saya  mengatakan sebuah kata atau dua buah kata tentang karya di bawah penilaian saya: India kuno merupakan  guru besar dalam hal penulisan, dan di luar tulisan  awal datang suatu kelompok  khusus berupa karya seperti Småti dan Dharmaúàstra yang ditulis oleh Manu,  Atri, Viûóu, Harita, Yajñavalkya, Uúana, Aògira, Yama, Apastamba, Saývarta, Katyàyana, Båhaspati, Paràúara, Vyàsa, Saýkha, Likhita, Dakûa, Gautama,  Úatatapa dan Vasiûþha. Kitab-kitab tersebut merupakan hukum  agung yang diikuti oleh sejumlah  komentator yang dalam pandangan tentang  perubahan keadaan mencoba untuk menginterpretasikan kitab-kitab tersebut dalam penjelasan dari fakta-fakta baru. Saya berpegangan kepada Vàlmìki sebagai seorang  eksponen yang agung yang melalui puisi-puisi tersebut mengekspresikan interpretasi mereka tentang hukum Dharma.  Semua itu, demikian pentingnya. Dan merupakan kitab sebagai kamus tentang referensi moral. Ini menjadi universal  disebabkan oleh daya tarik  untuk menjernihkan dengan pemikiran-pemikiran mulia yang diekspresikan. Ketika tidak mengklaim menjadi suatu perlakuan moral  itu dicoba mengkombinasikan  agama dan moralitas  sebagai cara komprehensif untuk melibatkan  segmen kehidupan manusia.  Sesungguhnya merupakan kebanggaan bagi kami  sebagai catatan yang bagus tentang kehidupan moral oleh umat manusia seperti kami. Ràmàyaóa mungkin menggambarkan sebagai suatu pedoman moral tanpa memasukkan dalam tekniknya secara detail yang akan membimbing pembaca dalam menghadapi kewajiban-kewajiban hidup. “Ini memberi petunjuk  terhadap prinsip secara umum oleh keluarga dan kehidupan rumah tangga juga diatur, secara spesifikasi sejumlah kasus yang paling mugkin terjadi sebenarnya“.  Ini merupakan ekspresi tentang penyelidikan etika dan semangat religius. Ada penulis tentang moral yang diberikan secara abstrak dan prinsip formal tentang moralitas, yang sering tidak dipraktekkan sebab merupakan kontek di luar kehidupan, tetapi Vàlmìki memberikan contoh kongkret tentang prinsip-prinsip kebenaran perbuatan manusia secara nyata  atau situasi-situasi yang dihadapi (Bhattacharji, 1984:211).
Selanjutnya tentang masa penulisan kitab Mahàbhàrata. Menurut kitab Varàha Puràóa  Maharûi Vyàsa menyusun kitab Mahàbhàrata pada masa akhir Dvàparayuga dan sekaligus pada masa awal Kaliyuga, sedang Bhàgavata Puràóa menyatakan Úrì Kåûóa meninggalkan raganya pada hari pertama zaman Kaliyuga. Bhàgavata Puràóa merupakan kitab yang isinya didedikasikan kepada Úrì Kåûóa, Tuhan Yang Maha Esa yang mengambil wujud manusia maha sempurna. Kitab ini juga disebutkan ditulis oleh Maharûi Vyàsa. Penjelasan ini dapat dijumpai pada úloka Àdiparva, sebagai berikut:

Vàsudevasya màhàtmyam pàóðavanaý ca satyatàm,
durvåttaý Dhàrttaràûþràó uktavàn bhagavànåûiá.
idaý úatasahastraý tu lokànàý puóyakarmaóàm.

Àdiparva   1.  100.

Ia juga (Maharûi Vyàsa) menggambarkan kedewataan Vàsudeva (Úrì Kåûóa, kebajikan putrra-putra Pàóðava dan juga kejahatan yang dilakukan oleh putra-putra Dhåtaràûþhra.

Seperti disebutkan di atas, nama asli kitab ini adalah  Bhàrata (dinyatakan dalam Àdiparva 1.201) yang disusun oleh Maharûi Vyàsa dengan nama ‘jaya’  seperti dinyatakan dalam kitab Àdiparva berikut:

                        Nàràyaóaý namaskåtya naraý caiva narottamaý,
                        Devìý Sarasvatìý caiva tato jayam  udìrayet.

                                                                                 M.B.  Àdiparva 1.1.

Dengan menyampaikan sujud bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Nàràyaóa) dan semua tokoh-tokoh agung dan juga Dewi Ilmu Pengetahuan (Sarasvatì), marilah dengan ini kita berdoa semoga karya yang bernama ‘jaya’ ini sukses dikerjakan).

Penjelasan serupa juga dapat ditemukan pada bagian akhir Mahàbhàrata, tepatnya pada Svargarohaóaparva sebagai berikut:

                        Bhàrataý úåóuyànityaý bharataý parikìrttayet,
                        bhàrataý bhavane yasya tasya hastagato jayaá.

                                                                                   M.B. Svargarohaóaparva 6.89.

                        Seseorang hendaknya dapat mendengarkan (Mahà)bhàrata setiap hari.
                        Seseorang hendaknya dapat memetik nilai-nilai yang terkandung dalam
                        (Mahà)bhàrata. Seseorang hendaknya memiliki dan menempatkannya
                        pada setiap rumahnya, yang ditangannya, semua teks itu populer dengan
                        nama ‘jaya’.

Setelah kematian Pàóðava dan Kaurava, para siswa Maharûi Vyàsa, seperti Sumantu, Jaimini, Paila, Úuka dan Vaiúampàyana menyebar-luaskan buku ini. Mereka menulis cerita yang bersumber pada cerita Bhàrata ini yang kini hanya 2 tertinggal, yakni:  ‘Bhàrata’ karya Vaiúampàyana dan ‘Aúvamedhaparva’  karya Jaimini. Karya agung Maharûi Vyàsa yang disebut ‘Bhàrata’ pertama kali dijelaskan oleh Vaiúampàyana ketika upacara korban ular (Sarpasattra atau Yajñasarpa) berlangsung. Atas permohonan raja Janamejaya, Vaiúampàyana menambahkan beberapa fakta dari karya aslinya, yang kemudian lebih dikenal dengan nama ‘Jaya’. Jaya dengan berbagai tambahan kemudian populer lebih dikenal dengan nama Bhàratasaýhità. Sùta atau Sùta Gosvami, juga disebut Romaharsaóa  menceritakan kepada Maharûi Úaunaka dan para åûi lainnya bertempat di hutan Naimiúa dengan menambahkan beberapa hal yang dianggap penting pada kitab Bhàratasaýhità, sehingga kitab ini menjadi semakin lebih besar dari aslinya. Mahàbhàrata yang sekarang adalah edisi tambahan yang terlengkap tersebut. Fakta berikut menunjukkan bahwa Mahàbhàrata melewati 3 tahapan evolusi sesuai nama yang dimilikinya, yaitu: Jaya, Bhàratasaýhità dan Mahàbhàrata seperti disebutkan dalam kitab Àdiparva berikut:

                        Mucyate sarva pàpebhyo rahunà candramà tathà,
Jaya nàmetihàso’yaý úrotavya vijigìûuóà.

                                                                                    M.B. Àdiparva 62.20.

Semua jenis kepapaan (dosa nestapa) lenyap, seperti halnya Rahu (yang tidak dapat menutup cahaya bulan selamanya), demikianlah nama karya sastra ini adalah ‘jaya’, hendaknya hal ini didengar oleh mereka yang ingin memperoleh keberhasilan (kejayaan).

Upàkhyànaiá saha jñoyadyaý bhàratamuttamam.
Caturviýúati sàhasrìý cakre bhàratasaýhitàm,
Upàkhyànairvinà tavad bhàrataý procyate budhaiá.

                                                                                  M.B. Àdiparva  1.101.      

Maharûi Vyàsa aslinya menyusun kitab Bhàrata, secara eksklusif dalam beberapa episode, dalam 24 ribu syair dan semuanya ini oleh para akhli disebut Bhàrata.

Tribhirvarûaiá sadotthàyi Kåûóadvaipàyano muniá,
Mahàbhàratamàkhyànaý kåtavànidam uttamam.

                                                       M.B. Àdiparva 62.52.

Maharûi Kåûóa Dvaipàyana secara teratur setiap hari selama tiga tahun menyusun kitab sejarah yang mengagumkan ini, yang disebut Mahàbhàrata.
Terdapat 3 perbedaan pendapat tentang jumlah úloka dalam kitab Mahàbhàrata. Menurut Ugraúrava, jumlahnya 8.800 úloka, menurut Maharûi Vyàsa jumlahnya 24.000 úloka dan menurut pernyataan yang lain 1 lakh (10.000) úloka, seperti berikut

Idaý úatasahasraý tu lokànàý puóyakarmaóàm (100)
Upàkhyànaiá saha jñeyamàdyaý bhàratam uttamam
Catur viýúati sàhasrìý cakre bhàratasaýhitàm (101)

                                                                               M.B. Àdiparva 1.  100-101.

Terdapat perbedaan narasi dalam Mahàbhàrata, yaitu deskriptif, filosofis dan oratoris menunjukkan adanya tiga orang penyusun yang berbeda. Vaiúampàyana dan Sùta menambahkan beberapa cerita kepada karya asli yang bernama ‘Jaya’ karya Maharûi Vyàsa. Berdasarkan pandangan di atas, maka dapat diduga bahwa Maharûi Vyàsa hanya menyusun karya yang asli dan merupakan cerita inti dari Mahàbhàrata yang terdiri dari 8.800 úloka dan karya sastra itu dinamakan ‘Jaya’ seperti tersebut dalam úloka pertama manggala dari Mahàbhàrata (Àdiparva 1.1). Vaiúampàyana menambahkan cukup banyak úloka yang merupakan karyanya sendiri sehingga kitab ini terdiri dari 24.000 úloka dan memberi nama ‘Bhàratasaýhità’. Selanjutnya Sùta yang menambahkan lagi sehingga kitab itu menjadi sangat tebal dan memberi nama ‘Mahàbhàrata’. Kitab epos Mahàbhàrata yang kini sampai kepada kita terdiri dari 10.000 úloka dan bentuknya seperti sekarang karena perjalanan waktu beberapa abad, dari kitab ‘Jaya’ menjadi ‘Mahàbhàrata’.
Bilamana merunut ke masa yang silam. Tahun Kali (Kali Varûa) mulai tahun 3.102 Sebelum Masehi. Perang besar Mahàbhàrata terjadi pada masa akhir Dvàparayuga yang bersamaan dengan mulainya masa Kaliyuga seperti disebutkan dalam úloka berikut:

Antare caiva sampràpte Kalidvàparayorabhùt,
Samantapañcake yuddhaý kurupàóðavasenayoá.

                                                                                  M.B. Àdiparva 2. 13. 

(Pada masa akhir Dvàparayuga dan pada awal zaman Kali, terjadilah perang besar antara keluarga Kuru (Kaurava) dengan Pàóðava, bertempat di sini di Samantapañcaka)
    
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perang besar di antara keluarga Bhàrata (Mahàbhàratayuddha) berlangsung sekitar tahun 3.102 Sebelum Masehi. Dhåtaràûþra hidup sampai umur 18 tahun setelah perang besar tersebut terjadi dan menurut Strìparva, Pàóðava memerintah kerajaan selama 36 tahun. Ketika Úrì Kåûóa meninggalkan raganya kembali ke kahyangan, saat itu pula pemerintahan Pàóðava berakhir, dan mulainya Mahàprasthàna (pemusnahan besar). Úrì Kåûóa meninggal pada hari pertama Kaliyuga, 3.102 Masehi (Kushwaha, 2003:36). Dengan demikian jelaslah bahwa perang besar keluarga Bhàrata berlangsung pada tahun 3.138 Sebelum Masehi. Kebenaran teori ini didukung pula kitab-kitab Puràóa. Saat itu terdapat fenomena Saptagrahayoga (kombinasi posisi planet-planet berdasarkan teori astronomi), pada saat itu Raja Parìkûit, cucu Arjuna memerintah kerajaan, seperti ditunjukkan oleh kitab-kitab Puràóa berikut.


                        Saptarûayomaghàyuktàá kale parikûìte úatam

                                                                                    Matsyapuràóa 271.46.

                        Te tu parikûìte kale maghàsvàsan dvijottama

                                                                                    Viûóupuràóa 4.24.106.

Berdasarkan kutipan dari kitab-kitab Puràóa tersebut di atas, maka penobatan (pemerintahan) Parìkûit berlangsung pada bulan Magha atau Januari dan penelitian tentang tanggal kejadian seperti itu berlangsung pada bulan yang sama pada tahun 3.177 dan 477 Sebelum Masehi. Fenomena astronomi berikutnya akan terjadi pada tahun 2.223 Masehi. Fenomena astronomis seperti ini berlangsung setiap seratus tahun sekali, dan dipercaya sesuatu telah terjadi pada masa 3.077 Sebelum Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Parìkûit, oleh karena itu perang Bhàrata terjadi pada tahun 3.138 Sebelum Masehi.
Pàóðava memerintah kerajaan selama 36 tahun setelah terjadinya perang besar dan Maharûi Vyàsa menulis epik kedewataan ini setelah kematian Pàóðava. Maharûi Vyàsa menghabiskan wakru 3 tahun untuk menyelesaikan karya ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Maharûi Vyàsa menyelesaikan karya agung ini pada tahun 3.100 Sebelum Masehi. Pàóðava memulai Mahàprasthàna setelah mempercayakan pemerintahan kepada panggantinya, yakni Parìkûit, peristiwa ini mesti terjadi pada tahun 3.102 Masehi. Parìkûit memerintah negara selama 60 tahun dan karena itu putranya bernama Janamejaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 3.042 Sebelum Masehi. Setelah 2 tahun memerintah sebagai seorang raja, ia melaksanakan upacara Sarpasattra (Sarpayajña) dan saat itu pertama kalinya Vaiúampàyana menjelaskan tentang ‘Jaya’ (Mahàbhàrata) kepada para pandita yang berkumpul di sana. Kepastian tahun penyusunan kitab Mahàbhàrata ini didasarkan pada kesimpulan kedatangan dan berkumpulnya para padita di kerajaan Bhàrata seperti di atas, tetapi para sarjana Barat berbeda dalam menentukan  masa penyusunan kitab ini. Mereka berargumentasi bahwa perang besar Bhàrata terjadi pada abad ke-10 Sebelum Masehi dengan penekanan sebagai berikut.
Thema cerita adalah pertempuran antara dinasti Kuru dengan Pañcala. Setelah perang besar tersebut berlangsung seperti dinyatakan dalam Yajuveda, kedua dinasti itu bersatu, oleh karenanya perang besar itu berlangsung pada abad ke-10 Sebelum Masehi. Masa itu merupakan masa pemujaan dan pengagungan kepada para pahlawan dan nyanyian mengagungkan para pahlawan itu dilaksanakan oleh pihak Kuru dan Pàóðava yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan seterusnya nyanyian puji-pujian kepada para pahlawan itu berupa kitab Mahàbhàrata.
Pandangan lainnya menyatakan bahwa di dalam kitab Mahàbhàrata, dewa Brahmà menempati posisi yang sangat utama. Pada zaman Veda, dewa ini tidak demikian populer, kurang diperhitungkan. Pada masa keemasan Buddha, dewa Brahmà menempati kedudukan yang sangat tinggi dalam Hinduisme, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Mahàbhàrata ditulis pada abad ke-6 Sebelum Masehi. Selanjutnya saat itu ditemukan sekitar 8.800 úloka dalam kitab Mahàbhàrata. Terhadap berlipat jumlah úloka Mahàbhàrata mencapai 24.000 úloka, saat itu tahapan kitab Mahàbhàrata mendapat warna Vaiûóava dan Úrì Kåûóa dipuja sebagai inkarnasi Sang Hyang Viûóu. Megasthenes yang mengunjungi India pada tahun 300 Sebelum Masehi mencatat bahwa saat itu sebagian besar umat Hindu adalah pengikut Vaiûóava. Pada bagian tertentu dari Mahàbhàrata terdapat rujukan tentang Yunani dan Buddhis, oleh karena itu kronologis dari luar (asing) menyimpulkan bahwa Mahàbhàrata kemungkinan ditulis setelah Buddha dan setelah penyerbuan kepada kerajaan Bhàrata (India), yakni pada tahun 300 Sebelum Masehi.
Tahapan ketiga,  Mahàbhàrata dalam bentuknya sekarang adalah ditambahkannya ajaran filsafat agama di dalamnya. Dharmasaýhità dari Manusmåti menjadi sangat populer pada abad ke-5 Masehi dan tahapan ke-3 tersusunnya Mahàbhàrata mesti telah dimulai ditulis sebelum abad itu, pada abad ke-3 Masehi (Mani, 1989: 122). Untuk membuktikan bahwa Itihàsa dan Puràóa sebagai karya sastra sejarah, selanjutnya dapat dijadikan sebagai sumber data penyusunan sejarah perkembangan Agama Hindu, diperlukan kajian yang mendalam untuk membuktikan kebenaran data yang digunakan. Itihàsa, khususnya Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata secara terus menerus diteliti oleh para akhli sejarah. Berbagai data epigrafis, arkeologis, tradisi terus diteliti dan semakin hari banyak dilakukan penggalian untuk membuktikan kebenaran kedua epos besar itu.
Peninggalan epigrafis dan arkeologis yang berhubungan dengan Itihàsa khususnya   Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata masih dapat dijumpai di India, misalnya  peninggalan-peninggalan purbakala di Ayodhyà, Citrakuta, Ràmeúvaram dan juga bekas kota Indrapraûþha, Kurukûetra, tempat-tempat suci  yang berhubungan dengan Sungai Ganggà, Yamunà dan sungai-sungai  suci lainnya, termasuk pula pertapaan-pertapaan seperti pertapaan Maharûi Vyàsa di Badrinatha (di lereng pegunungan Himalaya) yang  kini tempat-tempat bersejarah itu ramai dikunjungi oleh umat Hindu untuk melaksanakan Tìrthayàtra.
Terdapat beberapa perbedaan pandangan tentang Itihàsa (Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata) tentang masa penulisan kedua kitab yang sangat besar itu. Menurut kepercayaan dan tradisi India, Úrì Ràma diyakini hidup pada masa akhir Traitàyuga yakni sekitar tahun 867.100 Sebelum Masehi. Menurut Ràmàyaóa Úrì Ràma memerintah kerajaan selama 11.000 tahun dan ketika naik tahta ia baru berumur 47 tahun. Maharûi Vàlmìki mulai menulis vìracarita Ràmàyaóa setelah Kuúa dan Lava lahir. Berdasarkan informasi selayang pandang itu, para sarjana berpendapat sekitar tahun 867.000 Sebelum Masehi. Pendapat ini dikritik oleh baik sarajana Barat maupun Timur dan tidak dapat menerima pandangan tersebut.  Profesor Yacobi berpandangan Ràmàyaóa belakangan dengan Mahàbhàrata. Hampir sebagian besar sarjana tidak setuju dengan pendapat ini. Sebagian besar mereka berpendapat bahwa Ràmàyaóa lebih dahulu ditulis dibandingkan dengan Mahàbhàrata. Adapun argumentasinya adalah sebagai berikut.
1)    Secara tradisional diyakini oleh masyarakat India bahwa Ràmàyaóa ditulis jauh lebih dahulu dibandingkan dengan Mahàbhàrata.
2)    Di dalam Ràmàyaóa tidak ada petunjuk adanya referensi tentang cerita yang terdapat di dalam kitab Mahàbhàrata.
3)    Cerita Úrì Ràma dijadikan rujukan dalam berbagai cerita Jataka Buddha (Buddhistics).
4)    Vàlmìki tidak menyebut nama kota Pàþalìputra yang dibangun sekitar tahun 380 Sebelum Masehi. Tidak dapat dibantah bahwa Úri Ràma dapat melewati kota tersebut.
5)    Selama masa pemerintahan Aúoka, bahasa Pràkåta menjadi bahasa sehari-hari di tempat terjadinya beberapa peristiwa disebutkan di dalam kitab Ràmàyaóa, dengan demikian kitab Ràmàyaóa telah ditulis lebih dahulu sebelum muncul dan berkembangnya bahasa Pràkåta. Menurut Profesor A. B. Keith, kitab Ràmàyaóa telah ditulis tahun 300 Sebelum Masehi (Mani, 1989: 641).
            Para sarjana sependapat bahwa perang Mahàbhàrata (Bhàratayuddha) itu berlangsung dalam waktu yang panjang. Bagaimanapun juga, wajar  terdapat berbagai pendapat dengan perbedaannya yang besar tentang hal tersebut. Di dalam Àdiparva (2.13) disebutkan bahwa tempat perang besar tersebut berlangsung di Samanta Pañcaka (daerah dengan lima danau, Kurukûetra) pada era akhir Dvàparayuga, saat dimulainya Kaliyuga. M. M. Haridas Siddhàntavàgìsa dan C. V. Vaidya berpendapat dari tahun 3101 Sebelum Masehi. Vaidya juga memakai dokumen yang ditulis oleh ahli sejarah Yunani Megasthenes tentang India yang mendukung pendapat di atas. Para Indologist Eropa, menyarankan berbagai data antara 1500 sampai 900 Sebelum Masehi. Terdapat  pula perbedaan pendapat antara para sarjana tentang disusunnya kitab Mahàbhàrata. Secara tradisional disebutkan pada saat mangkatnya raja Parìkûit dan sebelum korban ular (sarpayajña) di kota Takûìlà dan menyebutkan tahun 3041 Sebelum Masehi. Para sarjana Eropa umumnya memperkirakan bahwa karya yang asli ditulis abad ke-4 atau ke-5 Sebelum Masehi, dan akhirnya berkembang dengan berbagai tambahan sampai dengan awal Masehi. Hopkins meneliti inti dari Mahàbhàrata. Winternitz dan yang lain-lain mengajukan teori tentang karya yang asli berupa perang Kuru-Pañcàla yang di dalamnya menguraikan kepahlawanan para Kaurava (putra-putra Dhåtaràûþra) sebagai pahlawan, yang akhirnya dimodifikasi dalam bentuknya seperti sekarang (Mookerji, 1995:132).
            Di samping peninggalan berupa prasasti dan bangunan purbakala,  konon di Kurukûetra masih dijumpai bekas-bekas radioaktip yang  menunjukkan betapa dahsyatnya perang besar saat itu. Data tradisi  lainnya yang mendukung sumber sejarah tersebut di atas adalah  keturunan para åûi Veda seperti Bharadvàa, Atri dan juga dinasti  Yadhu, yakni dinasti Úrì Kåûóa, para Yadhava sampai kini masih jelas keturunanya.
Itihàsa adalah sejarah, maka Puràóa adalah sejarah kuna,  yang keduanya  kita bandingkan Itihàsa sebagai sejarah  kontemporer (contemporary history),  karena penyusunnya Maharûi  Vyàsa masih hidup keetika karya agung Mahàbhàrata itu disusun,  sedang Puràóa adalah sejarah kuna (ancient history). Kitab-kitab  Puràóa isinya penuh dengan ajaran agama,  moral,  pendidikan budi  pekerti dan lain-lain termasuk cerita para dewa, para åûi dan raja-raja yang memerintah dunia. Di antara l8 Puràóa besar (Mahàpuràóa) yaitu Bhaviûya Puràóa (artinya sejarah yang akan datang) isinya sangat cocok dengan sejarah India kemudian. Pada kitab yang ditulis pada kurun waktu yang amat tua itu disebutkan bahwa India  (Bhàratavarsa) akan dikuasai (dijajah) oleh seorang ratu yang  bernama Victovati yang berasal dari Barat. Kitab ini juga  menyebutklan jangka waktu kekuasaannya dan beberapa kata dalam  bahasa Inggris seperti nama-nama hari dan lain-lain. Ratu  Victovati, tidak lain adalah Victoria, ratu Inggris yang menguasai India pada masa penjajahan dulu.
Itihàsa atau epik, yakni Ràmàyaóa dan Mahàbhàrata aslinya adalah cerita kepahlawanan, kemudian menjadi karya sejarah yang sangat erat berkaitan dengan sastra agama, dan hal sangat penting sebagai dibuktikan oleh tanggapan masyarakat pada umumnya sebagai awal dari kebangkitan sekta, pakûa atau saýpradàya dalam Agama Hindu. Hal itu nampaknya sangat luas untuk secara tepat mencari bentuknya yang aslitentang kebenaran sejarah tersebut, dan dalam hal Mahàbhàrata, bentukya yang sekarang adalah sesuatu yang luar biasa dan yang  seperti memberi petunjuk kepada kita tentang sisipan tidak berkesudahan, tak terhitung  merupakan suatu kebijAkûaan bagi pemiliknya, dan sesuatu yang mendalam lebih dari pada yang dirasakan. Setiap bagian dari karya sastra ini hendaknya dibaca sebagai titik tolak sejarah di mana hal tersebut dimunculkan. Para sarjana rupanya sepakat bulat untuk membagi menjadi tiga esensial moment sejarah dari epik tersebut. Dua hal nampaknya sama, namun ketiga tahapan dapat dilihat dalam Mahàbhàrata secara keseluruhan, tetapi untuk yang pertama dan kedua dengan mudah dapat ditemukan dalam kitab Ràmàyaóa, sedang tahapan yang ketiga digambarkan agak samar di dalam kitab tersebut, tetapi mendapat porsi yang besar di dalam kitab Mahàbhàrata. Ketiga tahapan tersebut adalah:
1)    Itihàsa disusun sebagai puisi populer, pada sekitar abad ke-6, ke-5 atau ke-4 Sebelum Masehi.
2)    Itihàsa berubah menjadi puisi yang beåûifat sektarian oleh para pandita Vaiûóava sekitar abad ke-2 Sebelum Masehi.
3)    Ketuhanan yang berciri Vaiûóava (Vaiûóava theism) dalam kedua epik tersebut, khususnya Mahàbhàrata menjadi ensiklopedi agung tentang teologi, filsafat, pollitik dan hukum, sekitar abad pertama atau ke-2 Masehi (Farquhar, 1984:  44).
 Ràmàyaóa sebagai sebuah epik sepertinya tampak sangat jauh dengan kitab suci Veda, walaupun legenda Ràmàyaóa dapat dihubungkan dengan susastra Veda, namun dalam benang merah yang kurang jelas. Prabhu Janaka dari Videha disebutkan cukup sering dalam kitab-kitab Upaniûad seperti juga sebagai ayah dari dewi Sìtà mesti ditinggalkan dengan penuh keragu-raguan. A. Weber juga menunjukkan beberapa kelemahan menghubungkan antara Ràmàyaóa dengan Yajurveda. Sìtà sebagai pahlawan (tokoh) wanita sudah sejak lama disebutkan dalam legenda Ràma. Nama Sìtà berarti “mata bajak” , lahir dari bumi dan Ibu Perthivì mengakui sebagai putrinya dan memasukkannya kembali ke dalam kandungannya. Walaupun kenyataan ini sejalan hanya pada “kaóðha VII”, namun nampaknya memang sangat tua. Dalam beberapa kasus, idea tentang dewi pertanian (Sìtà) yang disebutkan dalam doa membuka ladang dijumpai dalam Ågveda (IV.57.6) juga sangat tua dan hal ini merupakan kelanjutan dari zaman Veda. Di dalam kitab Gåhyasùtra masih diwariskan mantra pemujaan yang memunculkan dewi Sìtà dalam hal yang kurang seperti biasanya sangat cermerlang dipersonifikasikan, sebagai memancarkan cahaya bunga teratai pada seluruh tubuhnya, matanya berwarna hitam dan sebagainya.  Namun Weber tentunya benar ketika ia mengingatkan kepada pengertian yang terkandung dalam Veda, Sìtà sebagai dewi “mata bajak”, dipisahkan dengan penggambarannya dalam legenda Ràma sebagai jurang yang dalam.  Dalam zaman Veda tidak nampak begitu jelas indikasi adanya nyanyian Ràma dan Sìtà. Walaupun   kita, seperti halnya Jacobi jumpai mitologi kuno berupa perang antara Indra dengan Våtra, kembali nampak dalam perang antara Ràma dengan Ràvaóa.  Simpulan penelitian tentang masa ditulisnya Ràmàyaóa, dapatlah dinyatakan sebagai berikut.
1)    Cerita  yang lebih baru (belakangan) dari Ràmàyaóa teristimewa buku (kaóða) I dan VII berbeda dengan Ràmàyaóa yang asli, yakni buku II dan VI cukup makan waktu yang panjang.
2)    Seluruh Ràmàyaóa bersama dengan porsi cerita yang belakangan adalah merupakan karya yang sudah populer, ketika Mahàbhàrata belum mengambil bentuknya yang sekarang.
3)    Barangkali Ràmàyaóa yang sekarang dalam bentuk dan isinya sudah muncul pada abad ke-2 Masehi. Namun inti Mahàbhàrata yang kuno agaknya lebih tua dengan bentuk Ràmàyaóa yang tertua.
4)    Di dalam Veda kita tidak menemukan jejak keberadaan epik Ràmàyaóa dan sangat kurang nampaknya dalam legenda Ràma.
5)    Di dalam teks buku kuno Buddha Tripiþaka tidak dijelaskan pengetahuan tentang keberadaan Ràmàyaóa, tetapi jejaknya dapat dijumpai dalam Àkhyàna, di dalamnya legenda Ràma dinyanyikan. Jejak cerita tentang Buddha sama sekali tidak jelas dan tidak ditemukan dalam kitab Ràmàyaóa, oleh karena itu bagaimana mungkin karakter Úrì Ràma mendapat pengaruh dari Buddhisme. Tidak ada sama sekali pengaruh dari Yunani dalam Ràmàyaóa dan dalam Ràmàyaóa yang asli juga tidak ada informasi tentang Yunani. Pàóðava
6)    Sangat mungkin Ràmàyaóa karya Maharûi Vàlmìki disusun pada abad ke-4 atau ke-3 Sebelum Masehi dengan menggunakan sumber Àkhyàna (Winternitz, 1990:493).
Sejalan dengan penelitian Maurice Winternitz (1990:453) tentang Ràmàyaóa seperti tersebut di atas, sarjana ini menarik suatu simpulan tentang dituliskannya kitab Mahàbhàrata adalah sebagai berikut:
1)    Kisah-kisah, legenda-legenda dan puisi-puisi perorangan yang terdapat di dalam kandungan Mahàbhàrata dapat ditemukan kembali ketika kitab suci Veda dituliskan.
2)    Kisah kepahlawanan (epik) “Bhàrata atau Mahàbhàrata” belum mucul dalam periode dituliskannya kitab suci Veda.
3)    Banyak cerita tentang ajaran moralitas dan wejangan-wejangan lainnya yang terkandung di dalam Mahàbhàrata merupakan karya  puisi para pertapa, dari padanya pula menjadi sumber cerita-cerita Buddhis dan Jain berasal dari sekitar abad ke-6 Masehi dan seterusnya.
4)    Pada sekitar abad ke-6 dan ke-4 Sebelum Masehi sudah ditulis kitab Mahàbhàrata, maka kitab tersebut rupanya belum dikenal di daerah agama Buddha berkembang saat itu.
5)    Keberadaan epik yang disebut Mahàbhàrata sebelum abad ke-4 Masehi, belum dapat dibuktikan secara pasti.
6)    Antara abad ke-4 Sebelum Masehi  dan abad ke-4 Masehi terjadi perubahan bentuk epik Mahàbhàrata dalam wujudnya yang seperti sekarang, kemukinan berlangsungnya secara bertahap.
7)    Pada abad ke-4 Masehi, Mahàbhàrata telah tersusun seperti sekarang baik dalam jumlah bukunya (volume), isi kandungan teksnya maupun karakter para tokohnya.
8)    Namun demikian perubahan dan tambahan yang tidak berarti terus menerus berlangsung bahkan sampai abad yang baru saja berlangsung.
9)    Tidak ada suatu kepastian tentang ditulisnya kitab Mahàbhàrata secara keseluruhan, tetapi masa masing-masing bagian (parva) dan ditentukan sendiri-sendiri.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat di antara para sarjana baik Barat maupun sarjana Timur tentang masa penulisan baik kitab Ràmàyaóa maupun Mahàbhàrata, adalah sesuatu yang wajar,  karena metodologi atau pendekatan serta data yang dipergunakan berbeda-beda. Penelitian demi penelitian masih terus dilakukan dan salah satu di antara berbagai data tersebut adalah hasil foto yang diambil oneh NASA (Badan Atom Amerika Serikat) yang mengungkapkan misteri jembatan kuno yang berlokasi di Selat Palk antara India dan Úrì Lankà. Bekas jembatan yang ditemukan ini dinamakan Jembatan Adam yang dibuat dari batu apung yang panjangnya sekitar 18 mil (30 kilometer). Jembatan yang sangat unik ini berbentuk seperti kurva ini dari komposisinya membuktikan telah dibuat oleh manusia jaman dahulu. Dari sejarah dan riset arkeologi memperjelas tentang adanya penduduk di Úrì Lankà, lebih kurang 1.750.000 tahun yang lalu, yang hampir sama dengan  tuanya dengan jembatan tersebut. Informasi ini erat hubungannya dengan kisah Ràmàyaóa, yang terjadi pada zaman Traitayuga, pada masa itu dikisahkan tentang pembangunan jembatan dari Rameshvaram  (India) sampai teluk Úrì Lankà dibawah pengawasan Úrì Ràma, yang merupakan inkarnasi Tuhan Yang Maha Esa. Informasi ini mungkin kurang begitu penting bagi arkeolog yang bermaksud untuk mengetahui asal-usul manusia, tetapi bagaimanapun juga hal ini sebagai pembuka pintu spiritual bagi umat manusia yang ingin mengetahui sejarah yang berhubungan dengan mitologi India (Kushwaha, 2003:51).
Demikian pula tentang tenggelam kota Dvàravati (Dvarikà) pada masa akhir Mahàbhàrata, di pantai Barat India, peninggalannya masih dapat di lihat dari permukaan laut. Kebenaran tenggelamnya sebuah kota dibuktikan pula hingga kini berupa tenggelamnya sebagian pura (mandir) Mahabalipuram (Mamallapuram) di tepi pantai dekat kota Madras, India Selatan yang diakibatkan semakin hari semakin meningginya permukaan air laut akibat pemanasan global.
Lebih lanjut tentang masa penyusunan kitab Mahàbhàrata, di dalam Àdiparva dinyatakan bahwa Maharûi Vyàsa menyusun kitab ini selama 3 tahun yang dilakukan setiap hari, seperti penjelasan berikut:

                        Tribhirvarsaiá sadotthàtho kåûóàdvaipàyano muniá,
                        Mahàbhàratamakhyànaý kåtavànidam adbhùtam.

                                                                                    Àdiparva 62.52.

                        (Maharûi Kåûóadvaipàyana secara teratur setiap pagi selama tiga tahun
                        menyusun kitab sejarah yang mengagumkan yang disebut Mahàbhàrata).

Demikian sepintas tentang penyusunan kitab  Mahàbhàrata yang sangat populer disusun oleh Maharûi Kåûódvaipàyaóa yang mengandung makna Demikian sepintas tentang penyusunan kitab  Mahàbhàrata yang sangat populer disusun oleh Maharûi Kåûódvaipàyaóa yang mengandung makna ‘yang lahir di pulau hitam’ (karena selalu ditutupi kabut di tengah-tengah Sungai Yamunà) yang dikenal juga dengan nama Maharûi Veda Vyàsa, yakni yang maha agung penghimpun mantra-mantra Veda yang merupakan warisan dunia dewasa ini.


 




















Bekas Jembatan Úri Ràma dari India menuju Alengka, hasil foto NASA (Kushwaha,2003:51)





Pragmen kota Dvàravati (Dvarikà) yang tenggelam di Barat Laut Mumbay, sumbangan foto dr. G. Wardana




No comments:

Post a Comment