DIALEKTIKA RASIONALISME DAN
EMPIRISME TENTANG PENGETAHUAN DAN TITIK TEMU ATAU SINTESIS PEMIKIRAN RASIONALISME DAN EMPIRISME SEBAGAI UPAYA
PENCARIAN KEBENARAN PENGETAHUAN
I.
Pendahuluan
Salah satu ilmu pengetahuan yang berkewajiban untuk menyelidiki segala
sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran
manusia sendiri adalah ilmu filsafat. Sementara untuk mendalami suatu hal
tertentu, objek atau lapangannya disebut dengan ilmu pengetahuan. Namun ilmu
pengetahuan sangat membutuhkan filsafat untuk memberikan penjelasan secara
sistematis, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tentang sebab-sebab
terjadinya suatu hal. Dalam hal ini filsafat bertugas untuk mencari sebab-sebab
pertama dan terdalam sampai ke akar-akarnya dari suatu hal tersebut. Oleh
karena itu, lapangan filsafat sangat jelas, ia meliputi segala apa yang ada tidak
ada yang dikecualikan. Hal-hal seperti jiwa manusia, kebaikan, kebenaran,
bahkan Tuhan sendiri dipersoalkan dalam filsafat. Filsafat, pada satu
pihak sebagai ilmu berupaya
menjelaskan sebab-sebab atau prinsip terdalam keberadaan suatu realitas,
misalnya tentang Tuhan, manusia dan alam semesta, tetapi pada pihak lain sebagai sikap hidup. Sebagai
sikap hidup filsafat mengarahkan dan membina seseorang untuk senantiasa dan
secara berkelanjutan merefleksi dan mengkaji realitas secara rasional. Filsafat
dalam hal ini tidak hanya berkutat dengan teori atau konsep belaka, tetapi
justru lebih banyak mendalami kenyataan hidup konkret. Filsafat sangat praktis
karena menyangkut sikap dan pandangan yang dipertanggungjawabkan. Filsafat
mencari kebenaran dan kebijaksanaan dalam ziarah kehidupan ini.
Dalam sejarah filsafat, ada
dua aliran yang sangat signifikan dan relevan dalam membicarakan apa itu
kebenaran pengetahuan dan bagaimana pengetahuan tentang kebenaran itu
bersumber. Dua aliran tersebut adalah rasionalisme dan empirisme yang
berusaha bahkan dengan ekstrim, mempertahankan argumentasinya masing-masing.
Namun dengan kekuatan dialektis, filsafat mampu membuat sintesis atau titik
temu antara keduanya, yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
masing-masing pihak memiliki andil yang sangat penting dalam membangun ilmu
pengetahuan dewasa ini, lebih spesifik dalam dunia pendidikan dan pembelajaran.
Untuk mengetahui isi dari pemikiran-pemikiran dari kedua aliran filsafat ini, dapat
dibahas dalam pemikiran-pemikiran dasarnya.
II. Pemikiran-Pemikiran yang Bertentangan
tentang Kebenarann Pengetahuan
A. Menurut Aliran Rasionalisme
Pengagungan manusia yang dari kodratnya sebagai binatang yang berakal budi
dan manusia yang berpikir menentukan segala sesuatu di dunia ini, menjadi dasar
dan basis rujukan dari pemikir-pemikir rasionalis. Menurut aliran rasionalisme,
yang menjadi sumber satu-satunya pengetahuan adalah akal budi manusia.
Pandangan ini didukung oleh Plato yang mengatakan bahwa pengetahuan
adalah kumpulan ingatan manusia yang dapat mengetahui dan menyelidiki sesuatu
untuk mencapai pengetahuan sejati. Untuk mencapai pengetahuan sejati, manusia
mengandalkan akal budinya, yang Plato (427-347 SM) sebut sebagai ide abadi yang
ada dalam dunia ide-ide. Sementara Rene Descates (1596-1650) mengatakan bahwa
untuk dapat mencapai pengetahuan yang benar dan sejati tentang realitas,
manusia harus mengandalkan akal budi. Dan kegiatan untuk menangkap realitas
dengan mengandalkan akal budi ini, disebut proses berpikir.
Menurut Descartes, ketika manusia berpikir, maka manusia itu ada. ”Saya
berpikir, maka saya ada” . Kegiatan berpikir untuk menegaskan keberadaan manusia
adalah kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan, yang menjadi landasan bagi
pemikiran dan pengetahuan manusia. Karena itu, kegiatan berpikir dengan
mengandalkan akal budi adalah unsur yang paling kokoh dan pokok dari
pengetahuan manusia. Segala sesuatu yang dapat diterima akal budi dalam proses
berpikir menjadi pengetahuan yang paling benar dan paling sejati. Pengetahuan
berdasarkan versi rasionalisme adalah pengetahuan yang sifat yang ada begitu
saja secara pasti dalam akal budi manusia (apriori), tanpa ada
proses awal dalam memunculkan pengetahuan tersebut.
Ada beberapa implikasi penting dari pandangan rasionalisme untuk saat ini: Pertama, Matematika dan Ilmu Ukur
yang memiliki aksioma-aksioma umum harus dikembangkan karena menjadi bidang-bidang
yang dapat memajukan pengetahuan manusia di dunia ini, yang dapat dimanfaatkan
bagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Kedua, apa yang menjadi pengetahuan sejati, umum,
dan universal hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal budi manusia.
Orang yang bijaksana dalam hidup adalah orang yang melihat segala sesuatu
melalui akal budinya, bukan berdasarkan gejala-gejala atau
fenomena-fenomena. Ketiga, karena
matematika dan ilmu ukur yang dikembangkan, maka metode yang lazim dipakai
untuk mengembangkan pengetahuan adalah metode deduktif, di mana proses
pengetahuan manusia terbentuk dengan mendeduksikan, menurunkan pengetahuan-pengetahuan
partikular atau khusus dari prinsip-prinsip umum atau pertama yang bersifat
pasif dan universal. Keempat, metode
deduktif dipakai untuk mencapai pengetahuan apriori dengan mengandalkan
silogisme. Disebut apriori karena manusia sudah memiliki pengetahuan itu
sebelum dan mendahului pengalaman. Sementara silogisme adalah kemampuan akal
budi manusia untuk menarik kesimpulan dari prinsip umum tertentu yang sudah ada
dalam benaknya.
B. Menurut Aliran Empirisme
Menurut pandangan empirisme, pengetahuan manusia harus didasarkan pada
bukti yang meyakinkan. Menurut aliran ini, bukti bahwa pengetahuan itu benar
dan sejati serta pasti adalah pengetahuan ini dapat diamati dan memiliki bukti
pengalaman empiris. Bukti pengalaman empiris yang dimaksud adalah
pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indera. Oleh karena
itu, pengalaman, percobaan, pengamatan, penelitian langsung di lapangan untuk
mengumpulkan fakta dan data, menjadi titik tolak dari pengetahuan manusia
karena didasarkan pada pengalaman indrawi. Secara ekstrim aliran melihat panca
indera berperanan penting dalam membentuk pengetahuan dibandingkan dengan akal
budi. Ada beberapa alasan, yakni: Pertama, semua
pernyataan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang
disimpulkan dari pengalaman. Kedua, konsep
atau ide tidak bisa terbentuk tanpa didasarkan pada pengalaman. Ketiga, akal budi
hanya bisa berfungsi kalau punya acuan ke realitas atau pengalaman. Dengan ini,
aliran empirisme mau menegaskan bahwa pengetahuan adalah suatu yang harus
tampak pada kita melalui indera. Sebuah konsep atau proposisi tentang sesuatu
tidak bisa terbentuk tanpa sesuatu itu diamati lebih dahulu (aposteriori).
Dua tokoh penting dari aliran ini adalah John Locke dan David Hume. Dalam
bukunya An Essay Concerning Human Understanding, John Locke
(1632-1704) mengatakan bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini seperti kertas
putih kosong (tabula rasa),
karenanya ide atau konsep belum ada dalam diri manusia, pengetahuan baru ada
ketika manusia memiliki pengalaman. Manusia baru menegaskan keberadaan
pengetahuan ketika berpengalaman atau mendayagunakan berbagai kemampuan
inderawinya. Secara radikal mereka mengklaim: Saya merasa berpengalaman, maka
saya ada. Dengan ini John Locke kembali menegaskan bahwa sumber
pengetahuan adalah pengalaman manusia. Sementara David Hume (1711-1776) dalam
bukunya yang berjudul An Enquiry Concerning Human Understanding (1748)
menegaskan bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia melalui dua
proses dalam diri manusia. Proses pertama adalah kesan (impresi), yaitu
pencerapan langsung panca indera terhadap realitas, dan proses kedua adalah
proses tidak langsung dimana kesan tersebut diolah lagi dalam diri manusia.
Tetapi menurut David Hume, sumber pertama dan utama tetap ada pada pengalaman
atau realitas.
Ada beberapa implikasi penting dari pemikiran aliran empirisme ini. Pertama, Kebenaran yang pasti adalah
kebenaran yang bersumber pada pengalaman dan karena itu tidak dapat diragukan
lagi. Kedua, yang
menjadi metode dalam aliran ini adalah metode induktif, yakni metode yang
mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus menuju hal yang umum. Ketiga, karena itu,
pengetahuan dengan sendirinya bersifat aposteriori,
yakni pengalaman mendahului segala sesuatu atau sudah sebelum yang lainnya
dalam membentuk pengetahuan manusia. Keempat, valid tidaknya pengetahuan manusia,
tergantung pada kesesuaiannya atau pembuktian secara langsung lewat pengalaman,
fakta, dan data.
Bila aliran rasionalisme membuat kesimpulan bahwa pengetahuan manusia
termanifestasi dalam bentuk apriori, maka aliran empirisme membuat
kesimpulan bahwa pengetahuan manusia termanifestasi dalam bentuk aposteriori.
Yang dimaksudkan dengan bentuk pengetahuan apriori adalah
pengetahuan yang sudah lebih dahulu atau sebelumnya ada. Sementara bentuk
pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang ada sesudahnya.
III.
Titik Temu Atau Sintesis Pemikiran Rasionalisme dan Empirisme sebagai Upaya
Pencarian Kebenaran Pengetahuan
Filsafat tanpa dialektika adalah kebosanan dan kebuntuan. Oleh karena itu,
sudah menjadi keharusan filosofis untuk membuat sintesis dari dua tesis yang dikemukakan
oleh aliran rasionalisme dan empirisme di atas. Dengan demikian, pengetahuan
semakin mendapat ruang untuk terus berkembang tanpa titik batas.
Dalam konteks perkelahian dua aliran, sintesis bisa dikaji antara
lain dengan merujuk pada pemikiran Aristoteles tentang Potensi dan Forma,
Immanuel Kant tentang benda dalam dirinya sendiri, Heidegger tentang pengetahuan Imanen dan
Transenden, Leibniz tentang bentuk pengetahuan Apriori dan Aposteriori.
Dalam kesempatan ini akan menjelaskan mengenai pemikiran Aristoteles
tentang Potensi dan Forma, Leibniz tentang bentuk pengetahuan Apriori dan Aposteriori.
Aristoteles (384-322 SM) memulai mempertemukan dua pandangan ini dengan
membahas tentang realitas yang merupakan bentukan dari materi dan forma.
Menurutnya, materi adalah potensi menjadi sesuatu. Potensi ini belum menjadi
sesuatu jika tidak ada prinsip lain yang membentuknya. Prinsip yang menjadikan
potensi itu sesuatu adalah forma. Forma adalah prinsip yang menentukan sesuatu
menjadi sesuatu. Materi bukanlah realitas bila belum diforma. Sebaliknya, forma
tanpa materi tidak berarti. Materi adalah potensi yang bersangkut paut dengan
kegiatan inderawi dan gerakan-gerakan tubuh manusia. Sedangkan forma berkaitan
dengan kegiatan berpikir manusia. Gerakan tubuh manusia berdasarkan perintah
pikiran, dan sebaliknya isi perintah pikiran dapat nampak dalam kegiatan
inderawi dan gerakan lokal manusia.
Berdasarkan pemahaman tentang materi dan forma ini, Aristoteles menegaskan
bahwa pengetahuan manusia terbentuk dari hasil kegiatan membuat abstraksi
yang dilakukan atas bantuan akal budi terhadap kenyataan yang bisa
diamati. Oleh karena itu, akal budi hanya melakukan abstraksi atas data yang
diperoleh melalui pengamatan. Dengan demikian, agar pengetahuan bisa tercapai,
maka dibutuhkan baik pengamatan maupun akal budi. Bagi Aristoteles, dari
penelitian dapat ditarik prinsip-prinsip umum tertentu yang ditemukan di balik
semua fakta dan data yang dilaporkan pancaindera. Pengetahuan yang diperoleh
melalui cara diproses dengan melibatkan panca indera dan akal budi.
Berdasarkan inilah, maka menurut Aristoteles, manusia tidak hanya tahu akan
atau tahu bahwa sesuatu terjadi sebagaimana dilaporkan panca indera, melainkan
juga tahu mengapa sesuatu terjadi sebagaimana adanya. Manusia, dengan kemampuan
akal budinya, mampu mengadakan refleksi dan abstraksi tentang peristiwa atau
kenyataan yang ditangkap panca indera, dan dengan demikian sampai pada
pengetahuan yang universal. Pengetahuan adalah sintesis yang integral dan
berkesinambungan antara sensasi dan refleksi.
Pada sintesis yang kemudian, Leibniz (1646-1716) menguraikan
kebenaran pengetahuan dalam dua bentuk, yakni pengetahuan apriori dan
pengetahuan aposteriori. Dua bentuk pengetahuan kemudian dimanfaatkan untuk memahami realitas secara
komprehensif. Dengan demikian, ketika memahami realitas secara
komprehensif maka ilmu pengetahuan pun berkembang secara komprehensif pula.
Leibniz mengurai ketegangan kedua aliran ini dengan memulai dari cara
mengetahui realitas. Menurutnya pengetahuan berawal dari bagaimana memahami
realitas. Ada dua cara memahami realitas, yakni: Pertama: memahami realitas secara aposteriori berarti
memahami realitas mengacu pada apa yang ditemukan secara aktual di dunia ini,
yaitu melalui pancaindera. Dengan kata lain, realitas terbentuk berdasarkan
pengalaman empirik manusia. Kedua,
memahami realitas secara apriori adalah memahaminya
mengacu pada sebab realitas itu. Memahami sesuatu secara apriori adalah
dengan memahami apa yang menjadi sebabnya, apa yang memunculkan apa yang
memungkin hal itu terjadi. Berdasarkan inilah, Leibniz membuat distingsi antara
kebenaran yang berasal dari fakta dan pengalaman kebenaran aposteriori,
yang pembuktiannya dengan berdasarkan pengalaman dan kebenaran yang berasal
dari akal budi kebenaran apriori yang pembuktiannya dengan melihat
hubungannya dengan proposisi yang sama.
IV.
Pendidikan Sebagai Akvitas Penemuan Pengetahuan Kebenaran
Sensasi atau raktek pendidikan sering dijalankan tanpa dasar yang
direfleksikan, karena itu tidak sistematis dan tidak kritis. Suatu pendidikan
yang sistematis dan kritis pada umumnya didasarkan pada suatu pandangan
filosofis tentang Tuhan, manusia dan dunia ciptaan. Jika demikian maka
pendidikan mencerminkan pandangan filosofis tentang Tuhan, manusia dan kosmos.
Dengan kata lain, pandangan filosofis tentang Tuhan, manusia dan kosmos
mempunyai dampak atau implikasi pada praktek pendidikan. Ada beberapa poin yang
penting berkaitan dengan aktivitas pendidikan sebagai sensasi atau praktek yang
senantiasa direfleksikan secara sistematis. Pertama, pendidikan adalah aktivitas untuk
membangun diri kita sendiri. Dengan berpikir lebih mendalam, manusia mengalami
dan menyadari kehadiran dirinya yang nyata di alam dunia ini. Dengan
pendidikan, Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk berpikir
untuk hidup sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri. Kedua, pendidikan
memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan
persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara dangkal saja,
tidak mudah melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya. Dalam
filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini
merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya. Ketiga, pendidikan memberikan pandangan yang luas,
membendung akuisme dan eksklusivisme. Keempat, pendidikan
merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut-ikutan
saja, membuntut pada pandangan umum, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang
dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, dengan cita-cita mencari
kebenaran. Kelima, pendidikan
memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika)
maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa,
ilmu mendidik, dan sebagainya.
Konsep rasional sangat urgen dalam aktivitas praktek pendidikan.
Refleksi konseptual sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan, namun mengenai eksistensi ilmu pendidikan. Refleksi filosofis atas praktek pendidikan akan menentukan kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan pendidikan secara umum. Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.
Refleksi konseptual sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan, namun mengenai eksistensi ilmu pendidikan. Refleksi filosofis atas praktek pendidikan akan menentukan kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan pendidikan secara umum. Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.
V. Penutup
Dengan demikian, nampak jelas bahwa titik temu pandangan aliran
rasionalisme dan empirisme terletak pada bagaimana pancaindera dan akal budi
manusia berperan secara seimbang dan saling melengkapi dalam membentuk
pengetahuan manusia. Keseimbangan dan saling melengkapi antara keduanya akan
berdampak positif bagi perkembangan pengetahuan khususnya, dan perkembangan
dunia umumnya. Dalam menjalankan aktivitas pendidikan, keseimbangan antara
pengetahuan empirik-sensasional harus diseimbangkan dengan pengetahuan
rasional-reflektif. Pendidikan sebagai aktivitas pemanusiaan perlu menjaga
keseimbangan pengetahuan yang bersifat apriori dan aposteriori demi keutuhan
pemahaman dan pengertian tentang realitas diri, sesama dan lingkungannya.
Dengan demikian, nilai-nilai yang dicari dan ditegaskan dalam pendidikan
senantiasa mendapat perhatian. Dalam hal ini, pendidikan secara bebas selalu
pada berpihak pada kebenaran pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek
Pembebasan (Diindonesiakan oleh Sindhunata), Gramedia: Jakarta
Paulo Freire. 2004. Politik Pendidikan:
Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (diindonesiakan oleh Agung Prihantono
& Fuad Fudiyarto), Yogyakarta: Pustaka Jaya.
http://mardiahrahmawati.blogspot.com/2012/04/filsafat-pendidikan-ilmu
pengetahuan.html, diakses tanggal 27 Septemer 2016.
No comments:
Post a Comment