Monday, December 17, 2018

DIALEKTIKA RASIONALISME DAN EMPIRISME


DIALEKTIKA RASIONALISME DAN EMPIRISME TENTANG PENGETAHUAN DAN TITIK TEMU ATAU SINTESIS PEMIKIRAN RASIONALISME DAN EMPIRISME SEBAGAI UPAYA PENCARIAN KEBENARAN PENGETAHUAN
Image result for hindu
I.     Pendahuluan
Salah satu ilmu pengetahuan yang berkewajiban untuk menyelidiki segala sesuatu, dengan mencari sebab-sebab terdalam, berdasarkan kekuatan pikiran manusia sendiri adalah ilmu filsafat. Sementara untuk mendalami suatu hal tertentu, objek atau lapangannya disebut dengan ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan sangat membutuhkan filsafat untuk memberikan penjelasan secara sistematis, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tentang sebab-sebab terjadinya suatu hal. Dalam hal ini filsafat bertugas untuk mencari sebab-sebab pertama dan terdalam sampai ke akar-akarnya dari suatu hal tersebut. Oleh karena itu, lapangan filsafat sangat jelas, ia meliputi segala apa yang ada tidak ada yang dikecualikan. Hal-hal seperti jiwa manusia, kebaikan, kebenaran, bahkan Tuhan sendiri dipersoalkan dalam filsafat. Filsafat, pada satu pihak sebagai ilmu berupaya menjelaskan sebab-sebab atau prinsip terdalam keberadaan suatu realitas, misalnya tentang Tuhan, manusia dan alam semesta, tetapi pada pihak lain sebagai sikap hidupSebagai sikap hidup filsafat mengarahkan dan membina seseorang untuk senantiasa dan secara berkelanjutan merefleksi dan mengkaji realitas secara rasional. Filsafat dalam hal ini tidak hanya berkutat dengan teori atau konsep belaka, tetapi justru lebih banyak mendalami kenyataan hidup konkret. Filsafat sangat praktis karena menyangkut sikap dan pandangan yang dipertanggungjawabkan. Filsafat mencari kebenaran dan kebijaksanaan dalam ziarah kehidupan ini.
          Dalam sejarah filsafat, ada dua aliran yang sangat signifikan dan relevan dalam membicarakan apa itu kebenaran pengetahuan dan bagaimana pengetahuan tentang kebenaran itu bersumber. Dua aliran  tersebut adalah rasionalisme dan empirisme yang berusaha bahkan dengan ekstrim, mempertahankan argumentasinya masing-masing. Namun dengan kekuatan dialektis, filsafat mampu membuat sintesis atau titik temu antara keduanya, yang pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masing-masing pihak memiliki andil yang sangat penting dalam membangun ilmu pengetahuan dewasa ini, lebih spesifik dalam dunia pendidikan dan pembelajaran. Untuk mengetahui isi dari pemikiran-pemikiran dari kedua aliran filsafat ini, dapat dibahas dalam pemikiran-pemikiran dasarnya.

  II.     Pemikiran-Pemikiran yang Bertentangan tentang Kebenarann Pengetahuan
A.  Menurut Aliran Rasionalisme
Pengagungan manusia yang dari kodratnya sebagai binatang yang berakal budi dan manusia yang berpikir menentukan segala sesuatu di dunia ini, menjadi dasar dan basis rujukan dari pemikir-pemikir rasionalis. Menurut aliran rasionalisme, yang menjadi sumber satu-satunya pengetahuan adalah akal budi manusia. Pandangan ini didukung oleh Plato yang mengatakan bahwa pengetahuan  adalah kumpulan ingatan manusia yang dapat mengetahui dan menyelidiki sesuatu untuk  mencapai pengetahuan sejati. Untuk mencapai pengetahuan sejati, manusia mengandalkan akal budinya, yang Plato (427-347 SM) sebut sebagai ide abadi yang ada dalam dunia ide-ide. Sementara Rene Descates (1596-1650) mengatakan bahwa untuk dapat mencapai pengetahuan yang benar dan sejati tentang realitas, manusia harus mengandalkan akal budi. Dan kegiatan untuk menangkap realitas dengan mengandalkan akal budi ini, disebut proses berpikir.
Menurut Descartes, ketika manusia berpikir, maka manusia itu ada. ”Saya berpikir, maka saya ada” . Kegiatan berpikir untuk menegaskan keberadaan manusia adalah kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan, yang menjadi landasan bagi pemikiran dan pengetahuan manusia. Karena itu, kegiatan berpikir dengan mengandalkan akal budi adalah unsur yang paling kokoh dan pokok dari pengetahuan manusia. Segala sesuatu yang dapat diterima akal budi dalam proses berpikir menjadi pengetahuan yang paling benar dan paling sejati. Pengetahuan berdasarkan versi rasionalisme adalah pengetahuan yang sifat yang ada begitu saja secara pasti dalam akal budi manusia  (apriori), tanpa ada proses awal dalam memunculkan pengetahuan tersebut.
Ada beberapa implikasi penting dari pandangan rasionalisme untuk saat ini: Pertama, Matematika dan Ilmu Ukur yang memiliki aksioma-aksioma umum harus dikembangkan karena menjadi bidang-bidang yang dapat memajukan pengetahuan manusia di dunia ini, yang dapat dimanfaatkan bagai pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Kedua, apa yang menjadi pengetahuan sejati, umum, dan universal hanya dapat ditemukan dalam dan dengan bantuan akal budi manusia. Orang yang bijaksana dalam hidup adalah orang yang melihat segala sesuatu melalui akal budinya, bukan berdasarkan gejala-gejala atau fenomena-fenomena. Ketiga, karena matematika dan ilmu ukur yang dikembangkan, maka metode yang lazim dipakai untuk mengembangkan pengetahuan adalah metode deduktif, di mana proses pengetahuan manusia terbentuk dengan mendeduksikan, menurunkan pengetahuan-pengetahuan partikular atau khusus dari prinsip-prinsip umum atau pertama yang bersifat pasif dan universal. Keempat, metode deduktif dipakai untuk mencapai pengetahuan apriori dengan mengandalkan silogisme. Disebut apriori karena manusia sudah memiliki pengetahuan itu sebelum dan mendahului pengalaman. Sementara silogisme adalah kemampuan akal budi manusia untuk menarik kesimpulan dari prinsip umum tertentu yang sudah ada dalam benaknya.
B.  Menurut Aliran Empirisme
Menurut pandangan empirisme, pengetahuan manusia harus didasarkan pada bukti yang meyakinkan. Menurut aliran ini, bukti bahwa pengetahuan itu benar dan sejati serta pasti adalah pengetahuan ini dapat diamati dan memiliki bukti pengalaman empiris. Bukti pengalaman empiris yang dimaksud adalah pengalaman yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indera. Oleh karena itu, pengalaman, percobaan, pengamatan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, menjadi titik tolak dari pengetahuan manusia karena didasarkan pada pengalaman indrawi. Secara ekstrim aliran melihat panca indera berperanan penting dalam membentuk pengetahuan dibandingkan dengan akal budi. Ada beberapa alasan, yakni: Pertama, semua pernyataan manusia merupakan hasil laporan dari pengalaman atau yang disimpulkan dari pengalaman. Kedua, konsep atau ide tidak bisa terbentuk tanpa didasarkan pada pengalaman. Ketiga, akal budi  hanya bisa berfungsi kalau punya acuan ke realitas atau pengalaman. Dengan ini, aliran empirisme mau menegaskan bahwa pengetahuan adalah suatu yang harus tampak pada kita melalui indera. Sebuah konsep atau proposisi tentang sesuatu tidak bisa terbentuk tanpa sesuatu itu diamati lebih dahulu (aposteriori).
Dua tokoh penting dari aliran ini adalah John Locke dan David Hume. Dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding, John Locke (1632-1704) mengatakan bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini seperti kertas putih kosong (tabula rasa), karenanya ide atau konsep belum ada dalam diri manusia, pengetahuan baru ada ketika manusia memiliki pengalaman. Manusia baru menegaskan keberadaan pengetahuan ketika berpengalaman atau mendayagunakan berbagai kemampuan inderawinya. Secara radikal mereka mengklaim: Saya merasa berpengalaman, maka saya ada.  Dengan ini John Locke kembali menegaskan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman manusia. Sementara David Hume (1711-1776) dalam bukunya yang berjudul An Enquiry Concerning Human Understanding (1748) menegaskan bahwa pengalaman sebagai sumber pengetahuan manusia melalui dua proses dalam diri manusia. Proses pertama adalah kesan (impresi), yaitu pencerapan langsung panca indera terhadap realitas, dan proses kedua adalah proses tidak langsung dimana kesan tersebut diolah lagi dalam diri manusia. Tetapi menurut David Hume, sumber pertama dan utama tetap ada pada pengalaman atau realitas.
Ada beberapa implikasi penting dari pemikiran aliran empirisme ini. Pertama, Kebenaran yang pasti adalah kebenaran yang bersumber pada pengalaman dan karena itu tidak dapat diragukan lagi. Kedua, yang menjadi metode dalam aliran ini adalah metode induktif, yakni metode yang mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus menuju hal yang umum. Ketiga, karena itu, pengetahuan dengan sendirinya bersifat aposteriori, yakni pengalaman mendahului segala sesuatu atau sudah sebelum yang lainnya dalam membentuk pengetahuan manusia. Keempat, valid tidaknya pengetahuan manusia, tergantung pada kesesuaiannya atau pembuktian secara langsung lewat pengalaman, fakta, dan data.
Bila aliran rasionalisme membuat kesimpulan bahwa pengetahuan manusia termanifestasi dalam bentuk apriori, maka aliran empirisme membuat kesimpulan bahwa pengetahuan manusia termanifestasi dalam bentuk aposteriori. Yang dimaksudkan dengan bentuk pengetahuan apriori adalah pengetahuan yang sudah lebih dahulu atau sebelumnya ada. Sementara  bentuk pengetahuan aposteriori adalah pengetahuan yang ada sesudahnya.
III.          Titik Temu Atau Sintesis Pemikiran Rasionalisme dan Empirisme sebagai Upaya Pencarian Kebenaran Pengetahuan 
Filsafat tanpa dialektika adalah kebosanan dan kebuntuan. Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan filosofis untuk membuat sintesis dari dua tesis yang dikemukakan oleh aliran rasionalisme dan empirisme di atas. Dengan demikian, pengetahuan semakin mendapat ruang untuk terus berkembang tanpa titik batas.
Dalam konteks perkelahian dua aliran,  sintesis bisa dikaji antara lain dengan merujuk pada pemikiran Aristoteles tentang Potensi dan Forma, Immanuel Kant tentang benda dalam dirinya sendiri, Heidegger tentang pengetahuan Imanen dan Transenden, Leibniz tentang bentuk pengetahuan Apriori dan Aposteriori. Dalam kesempatan ini akan menjelaskan mengenai pemikiran Aristoteles tentang Potensi dan Forma, Leibniz tentang bentuk pengetahuan Apriori dan Aposteriori.
Aristoteles (384-322 SM) memulai mempertemukan dua pandangan ini dengan membahas tentang realitas yang merupakan bentukan dari materi dan forma. Menurutnya, materi adalah potensi menjadi sesuatu. Potensi ini belum menjadi sesuatu jika tidak ada prinsip lain yang membentuknya. Prinsip yang menjadikan potensi itu sesuatu adalah forma. Forma adalah prinsip yang menentukan sesuatu menjadi sesuatu. Materi bukanlah realitas bila belum diforma. Sebaliknya, forma tanpa materi tidak berarti. Materi adalah potensi yang bersangkut paut dengan kegiatan inderawi dan gerakan-gerakan tubuh manusia. Sedangkan forma berkaitan dengan kegiatan berpikir manusia. Gerakan tubuh manusia berdasarkan perintah pikiran, dan sebaliknya isi perintah pikiran dapat nampak dalam kegiatan inderawi dan gerakan lokal manusia.
Berdasarkan pemahaman tentang materi dan forma ini, Aristoteles menegaskan bahwa pengetahuan manusia terbentuk  dari hasil kegiatan membuat abstraksi yang dilakukan  atas bantuan akal budi terhadap kenyataan yang bisa diamati. Oleh karena itu, akal budi hanya melakukan abstraksi atas data yang diperoleh melalui pengamatan. Dengan demikian, agar pengetahuan bisa tercapai, maka dibutuhkan baik pengamatan maupun akal budi. Bagi Aristoteles, dari penelitian dapat ditarik prinsip-prinsip umum tertentu yang ditemukan di balik semua fakta dan data yang dilaporkan pancaindera. Pengetahuan yang diperoleh melalui cara diproses  dengan melibatkan panca indera dan akal budi. Berdasarkan inilah, maka menurut Aristoteles, manusia tidak hanya tahu akan atau tahu bahwa sesuatu terjadi sebagaimana dilaporkan panca indera, melainkan juga tahu mengapa sesuatu terjadi sebagaimana adanya. Manusia, dengan kemampuan akal budinya, mampu mengadakan refleksi dan abstraksi tentang peristiwa atau kenyataan yang ditangkap panca indera, dan dengan demikian sampai pada pengetahuan yang universal. Pengetahuan adalah sintesis yang integral dan berkesinambungan antara sensasi dan refleksi.
Pada sintesis yang kemudian, Leibniz (1646-1716) menguraikan kebenaran  pengetahuan dalam dua bentuk, yakni pengetahuan apriori dan pengetahuan aposteriori. Dua bentuk pengetahuan kemudian  dimanfaatkan untuk memahami realitas secara komprehensif.  Dengan demikian, ketika memahami realitas secara komprehensif maka ilmu pengetahuan pun berkembang secara komprehensif pula. Leibniz  mengurai ketegangan kedua aliran ini dengan memulai dari cara mengetahui realitas. Menurutnya pengetahuan berawal dari bagaimana memahami realitas. Ada dua cara memahami realitas, yakni: Pertama: memahami realitas secara aposteriori berarti memahami realitas mengacu pada apa yang ditemukan secara aktual di dunia ini, yaitu melalui pancaindera. Dengan kata lain, realitas terbentuk berdasarkan pengalaman empirik manusia. Kedua, memahami realitas secara apriori adalah memahaminya mengacu pada sebab realitas itu.  Memahami sesuatu secara apriori adalah dengan memahami apa yang menjadi sebabnya, apa yang memunculkan apa yang memungkin hal itu terjadi. Berdasarkan inilah, Leibniz membuat distingsi antara kebenaran yang berasal dari fakta dan pengalaman kebenaran aposteriori, yang pembuktiannya dengan berdasarkan pengalaman dan kebenaran yang berasal dari akal budi kebenaran apriori yang pembuktiannya dengan melihat hubungannya dengan proposisi yang sama.
IV.     Pendidikan Sebagai Akvitas Penemuan Pengetahuan Kebenaran
Sensasi atau raktek pendidikan sering dijalankan tanpa dasar yang direfleksikan, karena itu tidak sistematis dan tidak kritis. Suatu pendidikan yang sistematis dan kritis pada umumnya didasarkan pada suatu pandangan filosofis tentang Tuhan, manusia dan dunia ciptaan. Jika demikian maka pendidikan mencerminkan pandangan filosofis tentang Tuhan, manusia dan kosmos. Dengan kata lain, pandangan filosofis tentang Tuhan, manusia dan kosmos mempunyai dampak atau implikasi pada praktek pendidikan. Ada beberapa poin yang penting berkaitan dengan aktivitas pendidikan sebagai sensasi atau praktek yang senantiasa direfleksikan secara sistematis.  Pertama,  pendidikan adalah aktivitas untuk membangun diri kita sendiri. Dengan berpikir lebih mendalam, manusia mengalami dan menyadari kehadiran dirinya yang nyata di alam dunia ini. Dengan pendidikan, Rahasia hidup yang kita selidiki justru memaksa kita untuk berpikir untuk hidup sesadar-sadarnya, dan memberikan isi kepada hidup kita sendiri. Kedua,  pendidikan memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan-persoalan dalam hidup sehari-hari. Orang yang hidup secara dangkal saja, tidak mudah melihat persoalan-persoalan, apalagi melihat pemecahnya. Dalam filsafat kita dilatih melihat dulu apa yang menjadi persoalan, dan ini merupakan syarat mutlak untuk memecahkannya. Ketiga, pendidikan memberikan pandangan yang luas, membendung akuisme dan eksklusivisme. Keempat, pendidikan merupakan latihan untuk berpikir sendiri, hingga kita tak hanya ikut-ikutan saja, membuntut pada pandangan umum, tetapi secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang, mempunyai pendapat sendiri, dengan cita-cita mencari kebenaran. Kelima, pendidikan memberikan dasar-dasar, baik untuk hidup kita sendiri (terutama dalam etika) maupun untuk ilmu-ilmu pengetahuan dan lainnya, seperti sosiologi, ilmu jiwa, ilmu mendidik, dan sebagainya.
Konsep rasional sangat urgen dalam aktivitas praktek pendidikan.
Refleksi konseptual sesungguhnya merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan kinerja dan mutu pendidikan di suatu negara, meskipun bukan satu-satunya determinan, namun mengenai eksistensi ilmu pendidikan. Refleksi filosofis atas praktek pendidikan akan menentukan kebijakan dasar pendidikan, dan selanjutnya menentukan tingkat kemajuan dan perkembangan pendidikan secara umum. Atas dasar itu ilmu dan aplikasi pendidikan secara komprehensif membahas berbagai aspek dan persoalan pendidikan teoritis/filosofis, pendidikan praktis, pendidikan disiplin ilmu, dan pendidikan lintas bidang, sangatlah tepat dan strategis. Sejumlah ahli mengungkapkan bahwa di tengah kecendrungan pragmatisme dalam dunia pendidikan, ilmu pendidikan merupakan ilmu yang cenderung kurang berkembang. Ilmu pendidikan bukan saja tidak memiliki daya pikat dan daya tarik yang kuat, tapi juga bersifat konservatif, statis, kurang menghiraukan aspirasi kemajuan, dan semakin terlepas dari konteks budaya masyarakat.
  V.     Penutup
Dengan demikian, nampak jelas bahwa titik temu pandangan aliran rasionalisme dan empirisme terletak pada bagaimana pancaindera dan akal budi manusia  berperan secara seimbang dan saling melengkapi dalam membentuk pengetahuan manusia. Keseimbangan dan saling melengkapi antara keduanya akan berdampak positif bagi perkembangan pengetahuan khususnya, dan perkembangan dunia umumnya. Dalam menjalankan aktivitas pendidikan, keseimbangan antara pengetahuan empirik-sensasional harus diseimbangkan dengan pengetahuan rasional-reflektif. Pendidikan sebagai aktivitas pemanusiaan perlu menjaga keseimbangan pengetahuan yang bersifat apriori dan aposteriori demi keutuhan pemahaman dan pengertian tentang realitas diri, sesama dan lingkungannya. Dengan demikian, nilai-nilai yang dicari  dan ditegaskan dalam pendidikan senantiasa mendapat perhatian. Dalam hal ini, pendidikan secara bebas selalu pada berpihak pada kebenaran pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA
Paulo Freire, Pendidikan Sebagai  Praktek Pembebasan (Diindonesiakan oleh Sindhunata), Gramedia: Jakarta
Paulo Freire. 2004. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (diindonesiakan oleh Agung Prihantono & Fuad Fudiyarto), Yogyakarta: Pustaka Jaya.



















No comments:

Post a Comment