PENDIDIKAN NILAI AGAMA HINDU DALAM
KELUARGA
MENURUT LONTAR DI BALI
Oleh
I Nyoman Ariyoga
ABSTRAK
Pendidikan nilai dalam keluarga yang
baik merupakan pondasi yang kokoh bagi upaya-upaya pendidikan nilai
selanjutnya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Pendidikan nilai dalam
Keluarga tidak bisa dilepaskan dari sumber-sumber nilai, yang umumnya terdapat
dalam karya sastra dan kitab suci. Dalam karya-karya sastra klasik terkandung
sesuatu yang sangat penting dan berharga sebagai warisan rohani bangsa. Sastra
klasik adalah perbendaharaan pikiran dan cita-cita nenek moyang. Mempelajari
sastra diharapkan mampu mendekati dan menghayati pikiran dan cita-cita luhur
yang menjadi pedoman kehidupan mereka dahulu. Naskah-naskah nusantara mengemban
misi yang sangat kaya dengan aneka ragam aspek kehidupan, seperti : masalah
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, bahasa, dan sastra.
Masyarakat dewasa ini sedang
menghadapi krisis kompleks dan multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan,
merupakan momentum kebangkitan pendidikan nilai, yang telah lama diabaikan. Dan
dunia pendidikan dianggap sebagai salah satu faktor utama terjadinya krisis
nilai. Di sisi lain, ada kecenderungan orang tua menyerahkan sepenuhnya proses
pendidikan putra-putrinya ke sekolah, dengan alasan kesibukan di luar rumah.
Karena itu, di tengah-tengah
kebingungan menghadapi krisis nilai yang parah, para ilmuan tergugah untuk
mengangkat kembali pendidikan nilai ke permukaan. Oleh karena kajian terhadap
karya sastra Hindu, seperti Lontar di Bali adalah suatu keniscayaan. Penelitian
ini membahas tiga masalah, yaitu : (1) Materi pendidikan nilai agama Hindu
dalam keluarga menurut Lontar di Bali; (2) Peranan orang tua terhadap
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali; dan (3)
Pendekatan yang digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan nilai agama
Hindu dalam keluarga menurut lontar di Bali. Sehingga tujuan penelitian yang
diharapkan adalah : (1) Menemukan materi pendidikan nilai agama Hindu dalam
keluarga menurut Lontar di Bali; (2) Menemukan peranan orang tua terhadap
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali; dan (3)
Mengetahui pendekatan pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut
lontar di Bali. Agar tujuan tersebut tercapai maka digunakan penelitian
kepustakaan sebagai salah satu bentuk penelitian kualitatif, dengan teknik
kepustakaan untuk mengumpulkan data
penelitian dan teknik analisis Miles dan Huberman untuk menganalisis
data penelitian.
Penelitian ini menemukan tiga hal,
yaitu : Pertama, Materi pendidikan
nilai dalam Lontar di Bali meliputi : guru
bhakti, guruçuçrusā, dan hukum karma.
Materi tersebut sesuai ajaran Kitab Sruti dan Smerti sebagai sumber pokok
ajaran agama Hindu. Selain itu, materi tersebut relevan dengan permasalahan yang
dihadapi dalam sistem pendidikan nilai agama Hindu dewasa ini. Sesuai dengan
teori nilai yang digunakan, maka Lontar di Bali adalah salah satu alat
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga.
Kedua, peran orang tua terhadap pendidikan nilai agama Hindu
dalam keluarga menurut Lontar di Bali adalah pendidik, pembimbing, dan penerus
keturunan. Ketiga peran tersebut mengandung makna sebagai agen transformasi
nilai-nilai agama Hindu. Hal ini sejalan dengan teori peran dikemukakan oleh
Biddle dan Thomas bahwa “Peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi
perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu”. Sehingga
orang tua memiliki peran sebagai pendidik bagi putra-putrinya dalam keluarga.
Ketiga, Pendekatan yang digunakan untuk mengimplementasikan
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali adalah
pendekatan penanaman nilai dan perkembangan kognitif. Kedua pendekatan tersebut
pada dasarnya menyatakan bahwa dalam proses pendidikan nilai agama Hindu harus
beroreintasi pada peserta didik. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendekatan yang
digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga
menurut lontar di Bali sejalan dengan teori rekonstruksi sosial bahwa
pendidikan mengutamakan kerja sama antara pendidik dengan peserta didik. Dalam
proses kerja sama dikembangkan sikap saling menghormati dan menghargai
perbedaan, menumbuhkan persamaan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain,
pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan yang berpusat pada anak,
sehingga hubungan orang tua dan anak dalam interaksi pendidikan nilai agama
Hindu merupakan mitra belajar.
Oleh karena itu, Lontar di Bali
adalah salah satu sumber pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga, yang
sangat potensial untuk memperkuat wacana pendidikan nilai, serta memantapkan
praksis pendidikan nilai yang telah berlangsung selama ini.
Kata Kunci : Pendidikan Nilai Agama
Hindu, Keluarga, Lontar di Bali
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kondisi keluarga turut memberikan
corak suatu masyarakat dimana keluarga itu berada. Dalam konteks pendidikan
nilai, keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama dan utama yang akan
menentukkan corak nilai masyarakatnya. Karena itu, keluarga memiliki nilai
strategis dalam memberikan pendidikan nilai, yaitu sebagai proses penyadaran,
penanaman, dan pengembangan nilai kepada anak (Surya, 2003 : 2; Djamarah, 2004
: 22; Mulyana, 2004 : 143).
Pendidikan nilai, termasuk
pendidikan nilai dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari sumber-sumber nilai,
yang umumnya terdapat dalam karya sastra dan kitab suci. Karya sastra
(termasuk kitab dan susastra Hindu) adalah perbendaharaan pikiran dan
cita-cita nenek moyang tentang nilai, serta merupakan alat pendidikan
nilai-nilai (Sumarjo, 1993 : 148; Robson dan Chamamah Soeratno dalam Sura,
dkk., 2002 : 2).
Masyarakat dewasa ini sedang
menghadapi krisis kompleks dan multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan
(Capra, 2000 : 3; Budiningsih, 2004 : 1; Dantes, 2004 :1). Krisis nilai
tersebut tidak terlepas dari kegagalan dunia pendidikan dalam mengemban
tanggung jawabnya sebagai tempat proses penyadaran, penanaman, dan pengembangan
nilai kepada anak didik (Budiningsih, 2004 : 1; Manuaba, 1998 : 5; Hidayat,
2000 : 10; Santoso, 2000 : 4; Zamroni, 2002 : 42; Wijayanto; 2003 : 37 – 38).
Karena itu, di tengah-tengah
kebingungan menghadapi krisis nilai yang parah, para ilmuan tergugah untuk
mengangkat kembali pendidikan nilai ke permukaan. Di tingkat dunia, karya
Fritjof Capra dan Samuel Huntington mewakili tumbuhnya kesadaran baru dalam
kehidupan yang sarat nilai dalam peradaban manusia yang (Supriadi, 2004 : ii –
iii). Sedaangkan di Indonesia, karya
Kaswardi (1993) dan Mulyana (2004) merupakan contoh karya yang mewakili
munculnya kesadaran baru untuk mempertegas kembali pentingnya pendidikan nilai
dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Kenyataan tersebut menempatkan
pentingnya kajian terhadap karya sastra Hindu, seperti Lontar di Bali. Menurut
Agastia (1994 : 3) bahwa karya sastra Bali memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kebudayaan Bali. Di lain pihak, kebudayaan Bali dijiwai oleh agama
Hindu. Sehingga, Lontar di Bali merupakan perbendaharaan pikiran dan cita-cita
leluhur masyarakat Bali, terutama pendidikan nilai dalam keluarga yang bercorak
Hinduisme. Apalagi keberadaan dan kondisi masyarakat Bali saat ini sebagai
daerah tujuan pariwisata di Indonesia. Masyarakat Bali tidak bisa menghindari
relasi dan penetrasi budaya-budaya luar dengan kandungan nilai masing-masing.
Akibatnya, masyarakat Bali dihadapkan pada kondisi pertarungan dalam
mengidentifikasi dan memilih antara nilai-nilai kebudayaan Bali dengan
kebudayaan luar.
Oleh karena itu, kajian-kajian karya
sastra Hindu yang bercorak kebudayaan Bali, seperti Lontar di Bali merupakan
salah satu upaya mengartikulasikan pendidikan nilai dalam keluarga Hindu,
khususnya dalam masyarakat Bali. Budiningsih (2004 : 4) berpendapat bahwa
sistem pendidikan di Indonesia saat ini lebih banyak mengadopsi sistem
pendidikan dari luar dan kurang menyentuh budaya lokal sehingga hasilnya tidak
optimal. Di lain pihak, nilai sebagai materi dalam pendidikan tidak mesti sama
bagi seluruh masyarakat (Ambroise, 1993 : 21). Pemikiran-pemikiran tersebut
mengisyaratkan bahwa materi, karakteristik pendidik, dan pendekatan pendidikan
nilai dalam keluarga harus bertumpu pada kondisi lokal masing-masing daerah.
Nilai sebagai materi dalam pendidikan bersifat relatif, tergantung pada keadaan
sosial, budaya, dan agama perkembangannya. Keluarga Hindu di Bali memiliki
nilai-nilai tersendiri sesuai dengan latar sosial, budaya, dan agama Hindu yang
berkembang di Bali. Nilai-nilai warisan budaya Bali sebagian besar tersimpan
dalam karya sastra seperti Lontar.
Begitu juga peran orang tua dalam
proses pendidikan nilai, tentu mengikuti perkembangan sosial dan budaya yang
sedang berkembang. Peran orang tua pada masa ketika Lontar di Bali ditulis
merupakan gambaran keadaan sosial dan budaya Bali saat itu, sehingga perlu
direfleksikan kembali oleh masyarakat Bali sebagai pewaris budayanya. Karena
itu, diperlukan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan sosial, budaya dan
agama Hindu yang dialami setiap keluarga pada jamannya, sehingga diperoleh
hasil yang optimal.
Selain itu, penelitian ini dilakukan
berdasarkan analisis terhadap beberapa pustaka, antara lain : (1) Kaswardi
(1993) melakukan editor terhadap makalah beberapa tokoh dan ahli agama Katolik,
kemudian diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (2) buku yang ditulis
Darminta (2006) berjudul Praksis
Pendidikan Nilai, (3) buku yang ditulis Mulyana (2004) berjudul Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (4)
hasil penelitian Khilmiyah (2003) yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul
Menata Ulang Keluarga Sakinah : Keadilan sosial dan Humanisasi Mulai dari
keluarga, (5) buku yang ditulis Arwati (1993) berjudul Swadharma Ibu dalam Keluarga Hindu, (6) buku yang ditulis Kusuma
(1996) berjudul Resep Membuat Anak
Laki-Perempuan, Bagaimana Bayi dalam Kandungan Menurut Hindu, (7) hasil
penelitian (tesis) yang dilakukan Luwih (2008) berjudul Analisis Pendidikan Nilai Agama Hindu dalam Keluarga Menurut Lontar
Stri Śasana.
1.2 Rumusan Masalah
Ada tiga masalah yang dikaji dalam
penelitian ini, yaitu : (1) materi pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga
menurut Lontar di Bali, (2) peranan orang tua terhadap pendidikan nilai agama
Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali, dan (3) pendekatan yang digunakan
untuk mengimplementasikan pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut
Lontar di Bali.
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pendidikan nilai agama Hindu yang terkandung dalam
Lontar di Bali dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan nilai dalam
perspektif agama Hindu. Sedangkan secara khusus, bertujuan untuk : (1)
menemukan materi pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di
Bali, (2) menemukan peranan orang tua terhadap pendidikan nilai agama Hindu
dalam keluarga menurut Lontar di Bali, dan (3) mengetahui pendekatan pendidikan
nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis hasil penelitian
ini adalah memperkaya teori, mengembangkan ide dan konsep-konsep dasar tentang
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga. Adapun manfaat praktisnya adalah :
(1) sebagai referensi bagi kalangan pendidik dalam mengembangkan ide dan konsep
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga, (2) sebagai referensi bagi
peneliti lain yang ingin mengadakan penelitian tentang pendidikan nilai agama
Hindu dalam keluarga, baik dalam arti pengembangan sumber maupun pendalaman
kajian, termasuk verifikasi dan uji coba dalam kehidupan sosial secara riil,
dan (3)secara khusus hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
informasi dan referensi teoritis-empiris bagi tokoh agama dan pemerintah dalam
mematangkan kebijakan yang terkait dengan proses pendidikan nilai agama Hindu
dalam keluarga.
1.5. Konsep
dan Teori Penelitian
Ada tiga konsep yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu : (1) pendidikan nilai agama Hindu, (2) keluarga, dan (3)
Lontar. Defenisi pendidikan nilai agama Hindu mengacu pada pandangan
Mardiatmdja. Pendidikan nilai agama Hindu diartikan sebagai bantuan terhadap
anak agar menyadari dan mengalami nilai-nilai agama Hindu dalam keluarga serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Adapun defenisi
keluarga mengacu pada pandangan Triguna dan Darmika (1996 : 86) yang meliputi
keluarga inti dan keluarga varilokal
yang disebut pakurenan atau ngerob dalam masyarakat Bali khususnya
yang beragama Hindu. Sedangkan Lontar
adalah naskah kuno yang terbuat dari daun lontar, yang terbuat dari daun
lontar, berisikan konsep-konsep pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga.
Teori yang digunakan sebagai pijakan
analisis terhadap setiap rumusan masalah penelitian adalah teori nilai, teori
peran dan teori rekonstruksi sosial. Teori nilai dijadikan pijakan analisis
terhadap masalah materi pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut
Lontar di Bali, teori peran sebagai pijakan analisis masalah peranan orang tua
terhadap pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali,
dan teori rekonstruksi sosial digunakan dalam menganalisis masalah pendekatan
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali.
II. METODE
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan. Sumber data diperoleh dari sumber pokok dan sumber penunjang.
Sumber pokok adalah Lontar-lontar di Bali, antara lain : (1) Lontar Putra
Sasana, yang dialihbahasakan oleh I Gde Mimbeng; dkk.Kakawin yang terdiri dari
10 Sargah dan 34 bait, dan diterbitkan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama
Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB); (2) Kakawin Nitisastra yang dijadikan sumber penelitian
ini adalah Kakawin Nitisastra yang dialihbahasakan oleh I Gde Mimbeng, dkk.
Kekawin Nitisastra terdiri dari 15 Sargah dan 120 Bait, dan
diterbitkan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). dan (3) Lontar Stri Śasana yang
telah ditranslit ke dalam huruf latin oleh Drs. A.A. Ngurah Ketut Suweda, yang
tersimpan Kantor Dokumentasi Budaya Bali Propinsi Bali, dengan nomor koleksi
II.b.1067 GK. Naskah asli lontar Stri Śasana ditulis pada daun lontar sebanyak
15 lembar, yang ukuran panjangnya 55 sentimeter dan lebar 3,5 sentimeter,
merupakan koleksi Puri Klungkung, milik A.A. Putu Pail. Lontar Stri Śasana
menggunakan Bahasa Bali umum (bahasa bali kepara)
dengan tembang durma. Adapun bahan
penunjang adalah Kitab suci dan susastra Hindu, terutama yang susastra Hindu
berbentuk lontar yang banyak dipergunakan sebagai referensi oleh masyarakat
Hindu di Bali, seperti : Kitab Manawadharmasastra, Kitab Bhagawadgita, Kitab
Sarasamuscaya, Slokantara, termasuk buku- buku teks, jurnal ilmiah, artikel
ilmiah di media massa, dan laporan penelitian. Sumber penunjang dipilih secara
purposive terkait dengan masalah pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga. Data yang telah diperoleh
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis model Miles dan Huberman, yaitu :
reduksi data, display (penyajian) data, dan kesimpulan dan verifikasi (dalam
Sugiyono, 2005 : 91).
III. PEMBAHASAN
3.1. Materi
Pendidikan Nilai Agama Hindu dalam Keluarga Menurut Lontar di Bali
Ada tiga materi pendidikan nilai
agama Hindu dalam keluarga yang dapat dianalisis dari lontar di Bali yang
meliputi Lontar Putra Śasana, Lontar
Nitisastra, dan Stri Śasana, yaitu : guru
bhakti, gurususrusa, dan hukum karma. Ketiga materi tersebut
tersebar dalam beberapa bait, baik secara tersirat maupun tersurat. Setiap bait ada yang memuat satu materi, dua materi, bahkan ketiga-tiganya.
Selain itu, ada satu materi dimuat dalam beberapa bait, baik berbentuk
penegasan maupun sebagai penjabaran. Untuk lebih jelasnya, berikut akan
disajikan data dan analisis ketiga materi pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut Lontar di Bali.
3.1.1. Guru Bhakti
Guru bhakti artinya sujud
dan hormat yang harus dilakukan oleh para sisya terhadap gurunya.
Konsep guru dalam Çilakrama disebut tri guru, terdiri atas : gururupaka,
gurupangajyan, dan guruwiçesa.Gururupaka artinya orang tua,
sedangkan gurupangajyan artinya guru yang memberi pendidikan rohani dan
ilmu pngetahuan suci untuk mendapatkan kesempurnaan. Adapun guruwiçesa
adalah pemerintah yang menjadi abdi kesejahteraan rakyat, tempat rakyat
bernaung di waktu kesusahan (Puniyatmadja, 1976 : 24). Rumusan lain yang memuat
konsep guru adalah “catur guru”, yaitu empat yang dianggap guru,
meliputi : guru rupaka, guru pengajian, guru wisesa, dan guru
swadhyaya. (Parisada Hindu Dharma, 1993 : 61–62). Sehingga bisa dipahami
bahwa catur guru adalah konsep guru yang lebih luas dari tri guru.
Adapun yang dimaksud guru swadhyaya adalah Sanghyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa).
Materi guru
bhakti dalam Lontar Putra
Śasana meliputi bhakti terhadap guru rupaka, guru pengajian, dan guru swadhyaya. Seorang anak harus bersujud dan hormat terhadap
orang tuanya, guru rohani (termasuk guru di sekolah), dan Sanghyang Widhi
Wasa. Ada tujuh bait dalam Lontar Putra
Śasana yang memuat materi guru bhakti, ada yang
tersurat dan ada pula yang tersirat.
Anak harus ber-bhakti
terhadap orang tua, sebagaimana disebutkan dalam Lontar Putra Śasana VII.3 dan VII.5, sebagai berikut :
Lwirning putra tĕbĕng ginarbbhakĕn i sang ibu
sipi-sipi denikāng lare/
Mangkin tibra dahat pasungnya lara ring sang ibu
duwĕgi kodharācyuta/
Wŗddhhā mwang tanayan datan maharĕping gunaning ibu
lumud salah gaway/
Yekī tan tanayā kŗtaghna pangaranya padhanika purīşa
tar waneh//
Terjemahannya
:
Betapa
penderitaan si ibu sewaktu anak masih dalam kandungan/
Bertambah
pula penderitaannya di saat anak itu lahir/
Setelah
besar si anak tidak hirau/
Ingkar akan
kebaikan ibu malah salah ulah/
Anak yang
demikian itu adalah sangat berdosa “krtaghna” sama dengan kotoran tiada lain//
(Mimbeng, dkk., 1997 : 109–110).
Mātanghyan tika salwiring wara warah sang atanaya
jugeka gĕgwana/
Yan sāmpun kagĕgö pwa lampahaknānya
sarasan ikanang warah riya/
Byaktāng tuşţa katĕmwa denya ri
sĕdĕngnya gumamayi sapājaring yayah/
Āpan tang guru śāśane nulahakĕn maka
phala ri katĕmwaning guņa//
Terjemahannya :
Oleh karena itu semua petuah orang tua patut dipegang
teguh/
Apabila telah dimengerti laksanakanlah segala
perintahnya/
Orang yang taat dan patuh kepada orang tua jelas akan
mendapat kebahagiaan/
Karena dengan melaksanakan guru sasana, pahalanya
akan mendapat kepandaian (Mimbeng, dkk., 1997 : 111–112).
Kutipan Lontar Putra Śasana VII.3 dan
VII.5 tersebut, secata tersirat dapat dipahami bahwa untuk membentuk anak yang suputra
maka orang tua harus mendidik putra-putranya dengan materi tentang pentingnya sujud dan hormat pada
orang tua. Orang tua harus meyakinkan anak bahwa ibu adalah orang yang
melahirkannya ke dunia, setelah itu, membesarkan dengan penuh kasih sayang.
Apabila anak tidak mengamalkan ajaran tersebut, menurut ajaran agama Hindu,
maka tergolong sangat berdosa, digambarkan dengan kotoran yang tidak berguna.
Hal ini sejalan dengan pandangan umum bahwa sorga ada di telapak kaki ibu.
Hormat dan sujud pada ibu merupakan
nilai yang sangat dipenting dalam ajaran agama Hindu. Kitab Smrti sebagai
sumber ajaran kedua setelah Kitab Sruti beberapa kali mengungkapkan pentingnya
menghormati dan bersujud kepada ibu. Keyakinan ini diungkapkan dalam Kitab
Manawadharmasastra III sloka 55, 56, 57, dan 58 (Pudja dan Sudharta, 2002 :
147).
Aspek lain yang terkandung dalam
kutipan Lontar Putra Śasana VII.5
adalah pentingnya menghayati dan mengamalkan nasehat orang tua. Setiap orang
tua yang baik selalu mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar. Oleh karena
itu, seorang anak harus percaya dan melaksanakan nasehat orang tuanya.
Keyakinan ini juga ditegaskan dalam Kitab Sarasamuçcaya sloka 244 (Kadjeng,
dkk., 2005 : 184–185).
Orang tua juga harus mengajarkan
anak-anak di dalam keluarga tentang pentingnya menghormati dan bersujud pada
guru yang memberi pengetahuan. Hal ini sangat penting, sebab orang tua adalah
orang yang bertanggung jawab di dalam penanaman nilai-nilai agama Hindu,
sementara guru lebih banyak berperan sebagai pembimbing, yaitu membina dan
mengarahkan nilai-nilai agama Hindu. Dalam Lontar
Putra Śasana V.2 disebutkan sebagai berikut :
Nihan kagawayě wawā gati sang guru
satata ta bhaktya tan saha/
bhaṭāra sakaleki panghidhĕpanya ri
sira satatā gawe suka/
Sĕkar saha samiddha wīja nguniweh
bañu rawupa dulur wasĕh suku/
Ikang srah akĕnannya nityasa ri sang
guru tuhu-tuhu bhakti lakṣaṇa//
Terjemahannya :
Beginilah cara melayani guru, selalu hormat dan dekat padanya/
Beliau sebagai Bhatara berbuatlah agar Beliau selalu senang/
Bunga, kayu bakar, beras, air mandi dan pembasuh kaki/
Itulah dipersembahkan setiap hari, dengan hati yang tulus// (Mimbeng, dkk,
1997 : 101–102).
Kalimat satata ta bhaktya tan saha yang artinya selalu hormat dan dekat
pada guru merupakan pernyataan yang mengajarkan tentang pentingnya ber-bhakti kepada guru pengajian. Ajaran dalam Lontar
Putra Śasana juga dikemukakan dalam Kitab Manawa Dharmasastra II.125 bahwa
seseorang hendaknya memberikan hormat kepada brahmana atau guru pengajaian
(Pudja dan Sudharta, 2002 : 97).
Adapun materi bhakti kepada guru swadyaya
disebutkan dalam Lontar Putra Śasana
V.1 sebagai berikut :
Prabhāta wijiling prabhā kara
mengĕmbanga kĕtika ri jöng saraswati/
Nirantara tĕlasnya mangkana tĕhĕr
jĕnĕk ri kawicāra ring śruti/
Asking śruti taman tame riya tikang
tama tamanĕn ikang prihĕn tĕmĕn/
Prasiddha maka don winaśahan ikang
bhawa sakala sadā mangun//
Terjemahan :
Ketika fajar menyingsing berbhaktilah ke hadapan Sanghyang Saraswati/
Dibiasakan berlaku demikian, setelah itu barulah mempelajari Sruti/
Semua pelajaran sruti yang belum didapat usahakanlah dipelajari sampai
mahir/
Akibatnya leburlah segala noda badan dan selalu akan berbhagia// (Mimbeng,
dkk, 1997 : 101–102).
Orang tua harus mendidk
putra-putrinya agar terbiasa memuja Sanghyang
Saraswati sebelum belajar maupun sesudah belajar. Umat Hindu meyakini bahwa
Tuhan adalah sumber ilmu pengetahuan, maka kewajiban setiap umat manusia untuk
mempersembahkan terima kasih. Bahkan umat Hindu di Bali merealisasikan ajaran
ini dalam satu upacara khusus yang disebut Piodalan
Saraswati setiap enam bulan sekali. Kitab Suci Ṛgveda X.32.6 menyatakan bahwa kami lahir berkat
pengajaran-Nya (dalam Titib, 1998 : 249).
Berdasarkan uraian-uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa di Bali merupakan salah satu sumber nilai penghormatan
kepada guru. Fenomena sikap dan perilaku anak-anak dewasa ini, khususunya dalam
hubungan dengan orang tua dan guru di sekolah yang menunjukkan rendahnya
penghormatan anak-anak. Oleh karena itu, sesuai dengan teori nilai yang
dikemukakan Sumardjo (1993 : 148) bahwa sastra adalah alat pendidikan
nilai-nilai. Lontar di Bali adalah karya sastra ditulis dengan maksud
menunjukkan nilai-nilai kehidupan atau mempersoalkan nilai penghormatan kepada guru menurut ajaran agama Hindu. Di sisi
lain, Lontar di Bali merupakan salah satu sumber acuan yang umum dibaca oleh
umat Hindu. Sehingga bisa dikatakan bahwa lontar di Bali adalah alat pendidikan
nilai penghormatan kepada guru menurut
ajaran agama Hindu di dalam keluarga.
3.1.2. Guru Çuçrusā
Orang tua di dalam upaya membentuk
anak yang suputra tidak bisa mengabaikan materi guru çuçrusā, yaitu “mendengarkan atau menaruh perhatian terhadap
ajaran-ajaran dan nasehat-nasehat guru” (Puniyatmadja, 1976 : 65). Orang tua
harus mendidik putra-putrinya bahwa seorang anak wajib mendengarkan
nasehat-nasehat yang baik dan benar, baik yang disampaikan oleh orang tua, guru
di sekolah, maupun oleh aparat pemerintah. Apabila nasehat ketiga guru tersebut
didengarkan maka otomatis anak telah mendengarkan juga nasehat dari guruswadyaya.
Guru çuçrusā sangat terkait dengan guru bhakti.Guru çuçrusā merupakan implementasi guru bhakti. Anak dapat disebut ber-bhakti kepada gurunya apabila telah
melaksanakan guru çuçrusā di dalam
kehidupan sehari-hari. Ajaran-ajaran yang disampaikan guru tidak akan bermakna
apabila hanya didengarkan dan tidak diamalkan oleh anak. Jadi guru çuçrusā dalam penelitian ini
berarti mendengarkan dan mengamalkan nasehat yang disampaikan oleh guru.
Sebagian besar isi Lontar Putra Śasana memuat materi guru çuçrusā, yang dapat dikategorikan
sesuai sumbernya, yaitu guru rupaka dan guru pengajian. Anak disebut suputra
apabila mendengarkan dan melaksanakan nasehat dari orang tuanya (guru rupaka). Pentingnya mendengarkan
dan melaksanakan nasehat orang tua dijelaskan dalam Lontar Putra Śasana IV.3, VII.4 dan VII.7, sebagai berikut :
Lāwan teki muwah rĕngön pitĕkĕting
bapa kĕkĕsana ring dalĕm hati/
Hywekā mawiwāda len para lĕwĕs
halanika niyatā tĕmah lara/
Towin haywa masiwwa-siwwa
mapacĕh-pacĕhana kalawan paras para/
Nghing nityang gawayĕnya karmma
sakinahyunanira sira sang mahā jana//0//
Terjemahannya :
Dan lagi dengarkanlah petuah orang tua, camkan baik-baik dalam hati/
Jangan sekali-kali mencela (memfitnah) orang lain akibatnya sangat jelek
membuat kedukaan/
Dan jangan melewati batas bersenda gurau kepada siapa pun juga/
Selalu tekun bekerja sebagaimana diharapkan oleh sang sujana//0// (Mimbeng,
dkk, 1997 : 99–100).
Lāwan teki hanāng sutā ngṛnge warah
ni yayah ika tatan linakṣaṇan/
Denyan tan sthiti ring hatinya
sawĕkas wĕkasi yayah ikā ndatan padon/
Ālasyeng guṇa tanpa kārya humĕnĕng
tana harĕpi katĕmwaning śruti/
Tan pendah kayu ring śmaśāna
pamadhar yyawak ika ri gatinya nirgūṇa//
Terjemahannya :
Ada anak hanya mendengarkan nasehat orang tuanya tapi tak melaksanakannya/
Segala petuah orang tuanya tidak meresap dalam hatinya, tak ada gunanya/
Orang yang malas menuntut ilmu, berdiam diri tanpa kerja tidak ingin
mempelajri Weda/
Orang yang demikian itu tak ubahnya sebagai pepohonan yang tumbuh di
kuburan tak ada gunanya// (Mimbeng, dkk., 1997 : 109–110).
Yan putra pwa nukūla budhi nika yan
winarahani yayah nirā ngajī/
Ekājjna ri siddhyaning guṇa wawang
taya manĕmu wiśesaning guṇa/
Sakwehning jana mogha bhakti
riyawaknya lagi ya pinako nggwaning hajī/
Byaktā was katĕmū yaśā parimite riya
nguni-nguni śūdha kānyakā//0//
Terjemahannya :
Bila mana anak patuh mengikuti pengarahan orang tua ketika menerima
pelajaran sastra/
Memusatkan pikiran, anak yang demikian segera akan menjadi pandai dalam
segala ilmu/
Semua orang akan hormat kepadanya karena ia gudangnya ilmu/
Jelas akan mendapat jasa yang berbobot dan pasangan hidup gadis suci dan
rupawan//0// (Mimbeng, dkk., 1997 : 111–112).
Kutipan-kutipan tersebut
mengisyaratkan bahwa orang tua hendaknya mengajarkan anak tentang pentingnya
mematuhi nasehat orang tua. Lontar Putra
Śasana IV.3 menyatakan “Lāwan teki
muwah rĕngön pitĕkĕting bapa kĕkĕsana ring dalĕm hati (artinya : Dan lagi
dengarkanlah petuah orang tua, camkan baik-baik dalam hati)”. Nasehat orang tua
sangat berperan didalam membentuk anak suputra.
Hal ini dipertegas kembali pernyataan Lontar
Putra Śasana VII.7 yang berbunyi, “Yan
putra pwa nukūla budhi nika yan winarahani yayah nirā ngajī (Bila mana anak
patuh mengikuti pengarahan orang tua ketika menerima pelajaran sastra), ekājjna ri siddhyaning guṇa wawang taya
manĕmu wiśesaning guṇa (Memusatkan pikiran, anak yang demikian segera akan
menjadi pandai dalam segala ilmu)”.
Anak tidak cukup hanya mendengarkan
nasehat tetapi lebih jauh harus mengamalkan perintah orang tua. Lontar Putra Śasana VII.5, sebagaimana
telah dikutip sebelumnya, menyebutkan, “Mātanghyan
tika salwiring wara warah sang atanaya jugeka gĕgwana (Oleh karena itu semua petuah orang tua patut dipegang
teguh), yan sāmpun kagĕgö pwa lampahaknānya sarasan ikanang warah riya (Apabila telah dimengerti
laksanakanlah segala perintahnya). Hal
yang sama dikemukakan dalam lontar Nitisastra II.6 : “ring śruti dharma śāstra guruwaktra
kinalĕwihakĕn” terjemahanannya “adapun teladan dan pelajaran yang dihormati
ialah pelajaran guru”(Mimbeng, dkk., 1997 : 13–14).
Menurut ajaran agama Hindu bahwa anak yang tidak mendengarkan dan
melaksanakan nasehat orang tuanya berarti hidupnya tidak berguna. Lontar Putra Śasana VII.4
sebagaimana telah dikutip sebelumnya, menyebutkan “lāwan teki hanāng sutā ngṛnge warah ni yayah ika tatan linakṣaṇan (ada
anak hanya mendengarkan nasehat orang tuanya tapi tak melaksanakannya), tan pendah kayu ring śmaśāna pamadhar
yyawak ika ri gatinya nirgūṇa (orang yang demikian itu tak ubahnya sebagai
pepohonan yang tumbuh di kuburan tak ada gunanya). Pada bagian lain Lontar Putra Śasana II.4 yang telah
dikutip sebelumnya, menyebutkan, “prasiddha
tikanang yayahnya humidĕp tan awĕka sagunṇanya tan padon (si ayah dapat
menganggapnya bukan anak karena bakatnya tidak ada padanya). Hal ini dapat
dipahami bahwa orang tua dapat tidak mengakui keberadaan akan tersebut.
Selain mendengarkan dan mengamalkan
nasehat orang tua (guru rupaka),
aspek lain guru çuçrusā yang bisa
dipetik dari lontar Lontar Putra Śasana adalah mendengarkan dan mengamalkan nasehat guru pangajian.Lontar Putra Śasana IV.1
dan V.3 menyebutkan sebagai berikut :
Denyan mangkana sang pinandita lanā
ngucap akěna warah ring ātmaja/
Mangkā putra rumĕngwa śabda
saśinabda ni yayah ira kāna tūt akĕn/
Yan sāmpun karĕngö tĕkapnya gĕgĕnĕn
gawaya kĕna ta denya tan lupa/
Byaktekā suka len guṇā dika
kapangguha tĕkap ika yan samangkana//
Terjemahannya :
Oleh karena itu sang pendeta sering mendidik (memberi ilmu pengetahuan)
anaknya/
Agar si anak dapat mematuhi segala petuah yang diajarkan/
Bila telah dicamkan (dihayati) olehnya dan diamalkannya/
Jelas akan berbahagia dan kepandaian didapatnya bila demikian// (Mimbeng,
dkk., 1997 : 99–100).
Yadin hana pakona sang guru tuhun
sapangutusan nireki tanggapĕn/
Wawang tika lumampahe sapawĕkas nira
larisakna ndatan wihang/
Apan gatin ikang wwang anggĕgĕ
lumampah akĕni sani deśa sang guru/
Prasiddha tumĕmu subhāgya paramā
dhika saha dhana dhanya tar kurang//0//
Terjemahannya :
Bila ada perintah guru semua itu harus diterima/
Segala perintahnya segera dilaksanakan jangan menolak/
Karena orang yang patuh memangku perintah sang guru/
Akan mendapat kebahagiaan yang tiada taranya dan akan mendapat rezeki yang
berlimpah//0// (Mimbeng, dkk., 1997 : 101–111).
Demikian bait-bait yang
mengungkapkan pentingnya mendengarkan dan melaksanakan nasehat guru rupaka dan guru pangajian sebagai salah satu aspek materi guru çuçrusā. Materi ini sangat penting di tengah-tengah krisis
nilai yang melanda generasi muda masa kini. Orang tua dan guru bukan lagi
sumber nilai yang yang tunggal tetapi sebagian peran tersebut telah diambil
alih sumber-sumber lain, seperti media massa, baik cetak maupun elektronik.
Karena itu, orang tua harus mampu meyakinkan putra-putrinya bahwa mendengarkan
nasehat yang baik dan benar dari orang tua dan guru adalah suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan.
Untuk mampu meyakinkan anak terhadap
pentingnya mendengarkan dan mengamalkan nasehat orang tua dan guru, maka aspek
isi atau materi nasehat tidak bisa diabaikan. Materi-materi yang dimaksud dapat
dikategorikan menjadi perilaku yang baik yang harus dilaksanakan dan
larangan-larangan yang harus dihindari. Perilaku baik dan benar yang harus
dilaksanakan anak adalah : tekun dalam bekerja, tekun dalam belajar, melayani
guru, sembahyang sebelum belajar, dan membedakan perbuatan yang baik dan buruk.
Lontar Putra Śasana IV.3 sebagaimana telah dikutip
sebelumnya, mengatakan “nghing nityang
gawayĕnya karmma sakinahyunanira sira sang mahā jana (selalu tekun bekerja
sebagaimana diharapkan oleh sang sujana)”. Kitab Bhagawadgita III.19
menyebutkan bahwa bekerja tanpa pamrih adalah salah satu yadnya atau
persembahan kepada Ida Sangyang Widhi
Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mencapai tingkatan tertinggi (Maswinara,
1997 : 172). Seseorang akan berhasil di dalam setiap pekerjaan apabila
dilakukan secara tekun, dilandasai oleh semangat yadnya. Bekerja bukan hanya
untuk diri sendiri tetapi juga sebuah persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa. Hal ini merupakan prinsip kerja di dalam
Agama Hindu. Suatu pekerjaan akan berhasil apabila dilakukan tanpa pamrih, tanpa
mengharapkan hasil semata; artinya orang dapat bekerja secara sungguh-sungguh
sesuai dengan aturan yang baik dan benar, apabila selama melakukan pekerjaan
itu tidak berorientasi hasil semata. Apabila prinsip ini dilakukan, maka orang
tersebut memperoleh hasil yang optimal.
Salah satu pekerjaan yang harus
dilakukan oleh seorang anak adalah belajar. Orang tua harus menasehati dan
meyakinkan putra-putrinya untuk belajar secara sungguh-sungguh. Lontar Putra Śasana VII.7 sebagaimana
telah dikutip sebelumnya, menyebutkan “ekājjna
ri siddhyaning guṇa wawang taya manĕmu wiśesaning guṇa (memusatkan pikiran,
anak yang demikian segera akan menjadi pandai dalam segala ilmu), sakwehning jana mogha bhakti riyawaknya lagi
ya pinako nggwaning hajī (semua orang akan hormat kepadanya karena ia
gudangnya ilmu). Menurut keyakinan agama Hindu, ada empat tahapan hidup manusia
di dunia, yaitu : brahmacari, Gṛhasta,
wanaprasta, dan sanyasin asrama.
Anak sebelum memasuki tahapan hidup selanjutnya, harus menuntut ilmu (brahmacari asrama). Tahapan hidup
berumah tangga akan berhasil apabila didasari oleh ilmu yang kuat. Kebahagiaan
dan kesejahteraan rumah tangga tercapai jika memiliki ilmu pengetahuan yang
kuat sesuai dengan bakat (guṇa). Selain Lontar Putra Śasana, ajaran tentang pentingnya belajar padsa usia
muda juga ditegaskan dalam Kitab Manawadharmasastra IV.19–20 (Pudja dan
Sudharta, 2002 : 217). Keutamaan ilmu pengetahuan menurut ajaran agama Hindu
disebutkan dalam Lontar Putra Śasana
VI.5 sebagai berikut :
Nghing widdhyā dhika dhana kahyuning
wang/
Dening cora tuwi taman hanang
bhayanya/
Tan mengādhika tarayan maweh sukeng
rāt/
Marmanyan kinaharĕpan tĕkapku
mangke//
Terjemahannya :
Hanya ilmu pengetahuan kekayaan yang paling utama/
Oleh penjahat sekalipun tidak ada bahanya/
(Pengetahuan) tidak akan hilang, selalu membahagiakan dunia/
Maka itu saya sarankan sekarang juga (tuntutlah ilmu)// (Mimbeng, dkk, 1997
: 105 – 106).
Ilmu pengetahuan adalah kekayaan
paling utama sehingga harus diupayakan secara optimal. Ilmu pengetahuan disebut
kekayaan utama karena merupakan dasar untuk memperoleh kebutuhan hidup lainnya,
seperti kebahagiaan, harta benda, kekuasaan, kebutuhan rohani, dan lain
sebagainya. Selain itu, ilmu pengetahuan merupakan kekayaan yang tidak
membahayakan hidup pemiliknya, seperti ancaman dari pencuri, sehingga berbeda
dengan kekayaan materi atau uang. Keterangan lain yang menyebutkan bahwa ilmu
pengetahuan merupakan dasar kebutuhan hidup manusia yakni Lontar Putra Śasana VI.6–7 sebagai berikut :
Tĕkwan saddhya sangati panditā
suwidya/
Sampat mangkana ta muwah sinaddhya
sang wruh/
Ndan yan sampun ikang aji pralabda
sakṣat/
Byaktekang yaśa wasu wastu mangdulur
yya//
Terjemahannya :
Adapun tujuan sang pendeta adalah menuntut ilmu pengetahuan/
Para sarjana menekuni bidang ilmu pengetahuannya sampai habis/
Bila ilmu pengetahuan telah dapat dikuasai/
Maka yasa yang suci akan datang membuntutinya// (Mimbeng, dkk., 1997 : 105
– 106).
Nyang widdhyā dhika rumuhun mateki
sāddhyān/
Dening wwang yan aharĕping pirak mas
akweh/
Kādyānggan sang aharĕping wiśeṣa
kāṣṭa/
Byaktān siddha tĕkap ikang kuṭāra
tīkṣṇa//
Terjemahannya :
Ilmu pengetahuan itulah patut didahulukan sebagai tujuan utama/
Oleh masyarakat bila mengharapkan kekayaan/
Sebagaimana orang yang mengharapkan kaasteswaryan/
Jelas akan diperoleh, berkat ampuhnya ilmu kutara// (Mimbeng, dkk., 1997 : 107 – 108).
Keutamaan ilmu pengetahuan yang
dikemukakan dalam Lontar Putra Śasana
telah diungkapkan dalam Kitab Suci Agama Hindu. Kitab Manawa Dharmasastra IV.17
menyatakan bahwa seorang yang sedang menempuh pendidikan agar mempelajari Weda
secara sungguh-sungguh, dan menghindari mencari kekayaan yang dapat mengganggu
pelajarannya (Pudja dan Sudharta, 2002 : 216). Kitab Suci Ṛgveda VII.103.5
mengungkapkan bahwa seorang siswa menghafalkan pelajarannya seperti yang
diajarkan oleh guru (dalam Titib, 1998 : 439).
Oleh karena itu, orang tua harus
menasehati putra-putrinya agar senantiasa melayani guru yang memberikan ilmu
pengetahuan. Guru adalah orang tua kedua setelah orang tua yang melahirkan
anak-anak. Guru menuntun anak-anak sehingga memiliki pengetahuan dan wawasan
yang luas. Oleh karena itu, anak harus melayani gurunya. Lontar Putra Śasana V.2, sebagaimana telah dikutip sebelumnya, menyatakan
“sĕkar saha samiddha wīja nguniweh bañu
rawupa dulur wasĕh suku (bunga, kayu bakar, beras, air mandi dan pembasuh
kaki), Ikang srah akĕnannya nityasa ri
sang guru tuhu-tuhu bhakti lakṣaṇa (Itulah dipersembahkan setiap hari,
dengan hati yang tulus). Cara melayani guru pada jaman dulu adalah
mempersembahkan bunga, kayu bakar, beras, air mandi, dan air pembasuh kaki
setiap hari dengan hati yang ikhlas.
Keberhasilan anak di dalam
memperoleh ilmu pengetahuan bukan hanya faktor orang tua dan guru, tetapi juga
anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa,
dalam manifestasi-Nya sebagai Sanghyang Saraswati. Karena itu, orang tua juga
harus menasehati putra-putrinya agar memuja Beliau dalam setiap aktivitas
belajar. Lontar Putra Śasana V.1
baris pertama dan kedua sebagaimana telah dikutip sebelumnya, menyatakan “prabhāta wijiling prabhā kara mengĕmbanga
kĕtika ri jöng saraswati (Ketika fajar menyingsing berbhaktilah ke hadapan
Sanghyang Saraswati), nirantara tĕlasnya
mangkana tĕhĕr jĕnĕk ri kawicāra ring śruti (dibiasakan berlaku demikian,
setelah itu barulah mempelajari Sruti).
Lontar Putra Śasana juga menyatakan bahwa anak harus
mampu membedakan perbuatan yang baik dan benar dengan perbuatan yang buruk dan
salah. Sikap dan perilaku tersebut dalam ajaran agama Hindu disebut wiweka; artinya “kemampuan untuk
membeda-bedakan, menimbang-nimbang, dan akhirnya memilih antara yang baik dan
buruk, salah dan benar, dan sebagainya” (Sura, 1985 : 28). Wiweka disebutkan dalam Lontar
Putra Śasana VI.8 sebagai berikut :
Nyang lampah rahayu lawan halā
kalangwan/
Dening putra yata muwah rĕngĕn ta
mangke/
Yan mahyun kita ring inak prayatna
heng kwan/
Tinggal tang gati mahalā hajĕng
gĕgĕnta//0//
Terjemahannya :
Pekerjaan baik dan buruk harus dapat dibedakan/
Bagi anak inilah yang patut diperhatikan sekarang/
Bila anda menginginkan kebahagiaan, hendaklah hati-hatilah berbuat sesuatu/
Tinggalkan perbuatan yang jelek, yang baik dipupuk//0//
Adapun larangan yang harus
disampaikan oleh guru terhadap
anak-anaknya menurut Lontar Putra Śasana
adalah : jangan memfitnah, bersenda gurau tanpa batas, melakukan perbuatan
onar, tidak mengangan-angankan kekayaan; dimana hal–hal tersebut telah dikutip
pada pembahasan sebelumnya. Larangan memfitnah dan bersendagurau tanpa batas
disebutkan pada lembar IV bait ke-3, sedangkan larangan melakukan perbuatan
onar dan mengangan-angankan kekayaan disebutkan pada lembar VI bait ke-3.
Memfitnah merupakan salah satu wujud perbuatan onar dan dapat disebabkan oleh
perilaku bersendagurau tanpa batas, sehingga dalam penelitian ini ketiganya
dibahas dalam konteks sikap dan perilaku memfitnah.
Memfitnah adalah perilaku yang tidak
dibenarkan dalam ajaran agama Hindu, karena membawa dampak buruk pada orang
lain maupun bagi pelakunya. Kitab Slokantara
42 menyatakan bahwa kata-kata yang buas merupakan harimau yang dapat
memotong kepala atau menjerumuskan ke lembah penderitaan (Oka, 1994 : 94).
Memotong kepala maksudnya adalah kematian. Hal ini bisa dilihat dalam Lontar
Nitisastra V.3 yang menyatakan bahwa seseorang mengeluarkan kata-kata yang
tidak baik, seperti memfitnah akan menemui penderitaan bahkan kematian
(Mimbeng, dkk, 1997 : 45–46). Lontar Nitisastra III.10 menggambrakan dampak
buruk perilaku memfitnah bahwa kedahsyatan kata-kata jahat adalah dua kali
lipat melebihi panas api (Mimbeng, dkk, 1997 : 27–28). Demikian juga Oka (1994
: 94) menyatakan bahwa rasa sakit yang ditimbulkan oleh fitnah melebihi tusukan
pedang tajam. Tusukan pedang masih bisa disembuhkan, tetapi fitnah akan melukai
dan mengasami hati seumur hidup.
Larangan untuk tidak
mengangan-angankan kekayaan dalam Lontar
Putra Śasana lebih ditujukan kepada anak-anak. Orang tua harus meyakinkan
putra-putrinya bahwa tugas utama adalah belajar bukan mengangan-angankan
kekayaan. Kekayaan dalam keyakinan umat Hindu bukan merupakan tujuan akhir,
tetapi hanya tujuan antara. Kekayaan lebih merupakan sarana di dalam mencapai
tujuan akhir berupa moksa. Lontar Putra
Śasana VI.4 menyebutkan :
Āpan ring dhana rajatādi rukma
ratna/
Mangde nglih kinaharepan tĕkapnya
mewĕh/
Yan sampun katĕmu yayan hilang
wĕkasnya/
Nāmarmanya ta rahateng dhanādi
dhanya//
Terjemahannya :
Karena kekayaan berupa uang, mas dan permata/
Bila diharap-harapkan membuat kelelahan dan sukar diperoleh/
Dan kalau sudah didapat akhirnya hilang/
Oleh karena itu jangan terpukau oleh harta benda//
Orang tua harus menasehati
putra-putrinya agar tidak terpukau oleh harta benda, apalagi pada masa brahmacari. Kekayaan harta benda
bersifat maya dan tidak kekal. Kitab Slokantara 29 yang menyatakan bahwa
kekayaan tidak akan mengikuti pemiliknya pada saat meninggal dunia. Harta akan
tetap tinggal di rumah dan diwarisi oleh keturunannya selama masih hidup di
dunia (Oka, 1994 : 66–67). Selain itu, kekayaan tidak akan diperoleh apabila
seseorang mengharapkan secara berlebihan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa Lontar Putra
Śasana merupakan salah satu sumber nilai tentang pentingnya mendengarkan
dan memperhatikan ajaran guru. Adanya fenomena sikap dan perilaku anak-anak
dewasa ini, khususnya dalam hubungan dengan orang tua dan guru di sekolah yang
menunjukkan rendahnya kesadaran anak di dalam mendengarkan dan memperhatikan
ajaran yang diberikan oleh guru. Sehingga mengacu pada teori nilai yang
dikemukakan Sumardjo (1993 : 148) bahwa sastra adalah alat pendidikan
nilai-nilai. Dalam konteks tersebut, lontar di Bali adalah karya sastra ditulis
dengan maksud menunjukkan nilai-nilai kehidupan atau mempersoalkan nilai
pentingnya mendengarkan dan memperhatikan ajaran yang diberikan guru menurut ajaran agama Hindu. Di sisi
lain, lontar di Bali merupakan salah satu sumber acuan yang umum dibaca oleh
umat Hindu. Sehingga bisa dikatakan bahwa lontar di Bali adalah alat pendidikan
nilai tentang pentingnya mendengarkan, memperhatikan dan mengamalkan ajaran guru di dalam keluarga menurut ajaran
agama Hindu.
3.1.3. Hukum Karma
Sikap dan
perilaku umat Hindu didasari oleh keyakinan terhadap hukum karma. Hukum karma adalah salah satu unsur dari lima
(5) sistem keyakinan umat Hindu yang disebut panca sraddha. UmatHindu meyakini bahwa sikap dan perilaku manusia
merupakan hasil dari perbuatannya sendiri. Hasil perbuatan masalah lalu
menentukan sikap dan perilaku manusia saat ini dan/atau yang akan datang.
Sedangkan hasil perbuatan sekarang akan menentukan sikap dan perilaku manusia
dimasa hidupnya sekarang dan/atau di kehidupan yang akan datang setelah
kematiannya.
Oleh karena
itu, umat Hindu sebagaimana disebutkan dalam
Kitab Sarasamuçcaya sloka 2-4,
meyakini bahwa kelahiran sebagai manusia merupakan kesempatan untuk berbuat
baik untuk menetralisir karma buruk
di masa lalu. Setiap orang harus mensyukuri kelahirannya, walaupun tidak
sempurna dalam arti cacat sekalipun atau kehidupannya miskin. Manusia berbeda
dengan binatang atau tumbuh-tumbuhan. Manusia memiliki kesempurnaan berupa
pikiran (idep), yang tidak dimiliki binatang dan tumbuh-tumbuhan, sehingga
manusia dapat menolong dirinya sendiri (Kadjeng, dkk., 2005 : 8).
Materi hukum
karma terdapat dalam Lontar Putra ŚasanaII.5 sebagai berikut :
Apan
sahananing janā ngidhĕp akĕn suka magĕng adikāra tan sipi/
Susādhuni
hanaknya hetunika mangkana tana harĕping kaduskṛtan/
Samangkana
tikang wwang āngidhĕp akĕn lara satata ya duhka kāsyasih/
Kadurjana
ikang hanak yata nimitan ika manĕmu duhka tar waneh//0//
Terjemahannya :
Semua orang akan menikmati kebahagiaan dalam hidupnya/
(disebabkan oleh) Kebaikan budi pekerti si anak yang
tidak pernah mengangan-angankan kejahatan/
Sebaliknya orang akan menderita kesedihan, disebabkan
oleh kebejatan si anak yang tiada henti-hentinya membuat duka nestapa/
Kejahatana anaklah yang menyebabkan penderitaan tiada
yang lain// (Mimbeng, dkk., 1997 : 95–96).
Materi hukum
karma juga disebutkan dalam lontar
Geguritan Strisasana lembar 3a bait
24 sebagai berikut :
Sakala
niskala memanggihang papa, yan takaning kapatin, tumitis kasasar, cacing lintah
kurcicak, namu-namu, ulad-ulid, dadianing upas, sarana mati-mati.
Terjemahannya:
Sekala
niskala menemui kesengsaraan, bila meninggal nanti, menjelma
sengsara, menjadi cacing dan lintah, binatang ulat, menjadi racun (bisa), sebagai
sarana pembunuh (dalam Luwih, 2008 : 45).
Lontar
Nitisastra sargah V bait 3
menyebutkan secara tersirat tentang materi hukum karma sebagai berikut :
Wasita nimittanta manemu laksmi
Wasita nimittanta pati kapangguh
Wasita nimittanta manemu duhka
Wasita nimittanta manemu mitra
Terjemahannya :
Oleh perkataan engkau akan
mendapat bahagia
Olek perkataan engkau akan
menemui ajalmu
Oleh perkataan engkau mendapat
kesusahan
Oleh perkataan enkau mendapat
sahabat (Mimbeng, dkk, 1997 : 45-46).
Dalam ajaran
agama Hindu anak adalah penolong bagi orang tuanya. Anak suputra diyakini sebagai salah satu sarana penyucian bagi dosa-dosa
orang tuanya, sehingga ketika meninggal nanti, roh orang tuanya bisa dibebaskan
dari penderitaan. Sebaliknya, anak yang jahat merupakan sumber penderitaan bagi
orang tuanya. Keyakinan tersebut dapat dilihat dalam Kitab Manawa Dharmasastra
IX.161 (Pudja dan Sudharta, 2002 : 570).
Oleh karena
itu, orang tua berkewajiban menasehati putra-putrinya bahwa setiap sikap dan
perilakunya akan membuahkan hasil, baik pada dirinya sendiri maupun terhadap
orang lain di sekitarnya. Sikap dan perilaku yang baik akan menghasilkan pahala yang baik pula, sebaliknya sikap
dan perilaku buruk akan ber-pahala buruk.
Berdasarkan uraian-uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa lontar di Bali merupakan salah satu sumber nilai hukum karma. Adanya fenomena sikap dan
perilaku anak-anak dewasa ini, seperti pencurian, narkoba, pemerkosaan,
pembunuhan, dan perilaku kriminal lainnya, yang tidak sedikit melibatkan
generasi muda, tentu membutuhkan penanganan yang serius. Sehingga mengacu pada
teori nilai yang dikemukakan Sumardjo (1993 : 148) bahwa sastra adalah alat
pendidikan nilai-nilai. Dalam konteks tersebut, lontar di Bali adalah karya
sastra ditulis dengan maksud menunjukkan nilai-nilai kehidupan atau
mempersoalkan hukum karma. Selain
itu, lontar di Bali merupakan salah satu sumber acuan yang umum dibaca oleh
umat Hindu. Sehingga bisa dikatakan bahwa lontar di Bali adalah alat pendidikan
nilai hukum karma guru menurut ajaran
agama Hindu di dalam keluarga.
3.2. Peranan Orang Tua terhadap Pendidikan Nilai Agama Hindu dalam Keluarga
Menurut Lontar di Bali
3.2.1. Orang Tua sebagai Pendidik
Keluarga
sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Sehingga orang tua berperan
sebagai pendidik yang sangat strategis dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan anak-anak dalam keluarga. Apabila orang tua mampu berperan sebagai
pendidik maka pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dalam keluarga akan
berjalan optimal. Sebaliknya, orang tua yang gagal berperan sebagai pendidik
maka pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dalam keluarga tentu tidak optimal
bahkan gagal secara total. Hal ini diungkapkan secara dalam Lontar Putra Śasana II.1 dan 2, sebagaimana kutipan berikut.
Ikang tanaya sāwaknya tuwi yan tan inajar aruhanya ring hayu/
Kamūdani yayahnya len liwat asihnya karaņa nika tan muwus riya/
Taya pwa pituturnya tandwa tikanang suta manasara sing janà malêh/
Sudūryyaśa nikang yayah dadi tekap ni pangawaśani doşaning weka//
Terjemahannya :
Semasa
kanak-kanak tidak mendapatkan didikan yang baik/
(disebabkan)
bodohnya orang tua dan terlalu memanjakan anak sehingga tidak pernah
menasehatinya/
Karena tidak
berpengetahuan, kemudian si anak akan berbuat kesalahan-kesalahan, semua orang
mencemohkan/
Kekeliruan
orang tualah mengakibatkan salahnya anak// (Mimbeng, dkk., 1997 : 91–92).
Yaning suta
titir winarahing rahayu winuruking nayā hita/
Lĕwĕs muwah agöng
isih ni janakanya kaweka tuwi śāstra pāraga/
Yatā nĕmah
akĕn suśīlaning anak taya manasara sing janā ngalĕm/
Wawang
suyaśaning yayah dadi tekap ni pangawasanikang guņā halĕp//
Terjemahannya
:
Anak akan
menjadi pandai apabila sering diajar berbudi pekerti yang baik/ betapa kasih
dan berbagahgia orang tuanya mempunyai anak sastrawan/
Akhirnya si
anak menjadi susila, tidak berbuat kesalahan, semua orang menyanjungnya/
Orang tua
juga mendapatkan nama baik, disebabkan kepandaian si anak// (Mimbeng, dkk.,
1997 : 93 – 94).
Salah satu
faktor kegagalan orang tua sebagai pendidik adalah kebodohan. Orang tua yang
bodoh, sebagaimana disebutkan dalam Lontar
Putra Śasana II.1, selalu memanjakan
anak-anaknya. Selanjutnya dalam Lontar Putra Śasana III.1 disebutkan :
Doşa kweh katĕmū tĕkap nikang anak yapwan wineh lālana/
Salwirning guna tar wurung ya katĕmū yapwan sinung tādhana/
Mangke pweki matanghyning tanaya yan durśīla sep tādhana/
Sang kşepanya sihing yayah karaņing tan lālaneng swātmaja//
Terjemahannya :
Banyak dosa
akan menimpa diri si anak, bila semua keinginannya dituruti/
Banyak ilmu
pengetahuan akan diperoleh bila mendapat didikan tata tertib sedini mungkin/
Terlambatnya
mendapat didikan disiplin anak akan tersesat/
Kesimpulannya
bila kasih kepada anak jangan membiarkan si anak berlaku semena-mena//
(Mimbeng, dkk., 1997 : 95 – 96).
Kutipan tersebut menyiratkan bahwa
salah satu sikap orang tua dalam memanjakan anak-anaknya adalah menuruti semua
keinginannya. Dalam agama Hindu, keinginan yang disebut kama harus dikendalikan
agar bisa berdampak positif dalam sikap dan perilaku. Kitab Kaṭha Upanisad
I.3–9 menyebutkan bahwa kama ibarat
kuda binal, yang apabila tidak mampu dikendalikan akan merajalela, hingga
membuat kesengsaraan (dalam Sura, 1985 : 36–37). Menurut Kitab Bhagawadgita II.62–63 bahwa kama menimbulkan efek domino, yaitu kama menimbulkan kemarahan (krodha), dari kemarahan timbul
kebingungan, dari kebingungan timbul hilang ingatan. Selanjutnya hilang ingatan
mengakibatkan pikiran yang hancur, dan akhirnya pikiran yang hancur membawa
kemusnahan (Maswinara, 1997 : 153–154).
Orang tua sebagai pendidik harus
mampu menjadi teladan bagi anak-anaknya. Hal ini disebutkan dalam Lontar Putra Śasana II. 3 dan 4 (Mimbeng, dkk., 1997 : 93 – 94), sebagai berikut :
Tuhun gawayaning sutā nutakĕneka
gawaya nika sang yayah juga/
Ikā muhara harşaning yayah agöng ri gati nika taman
salah gawe/
Samangkana kumāwruhing matanaya riawak ika saguņanya
tan hilang/
Tekap ni gatining sutā ngulahakĕn gwaya guņa sakā
wruhing yayah//
Terjemahannya :
Segala kegiatan si anak harus mencontoh bakat baik orang tua/
Itulah yang menyebabkan senangnya orang tua, karena prilakunya sangat
tepat/
Demikianlah (orang tua) patut mendidik anak agar kepandaiannya dapat
diwariskan sehingga tidak punah/
Oleh si anaklah yang patut menerima segala pekerjaan dan kepandaian orang
tua//
Hana pwa tanaya ndatan mulah akĕn
gati gati sakinaptyaning yayah/
Ndatan wĕka ngaranya ring tanaya mangkan tŗņa
pangaranya tar waneh/
Prasiddha tikanang yayahnya humidĕp tan awĕka
saguņanya tan padon/
Tĕkapnya tanayanya nirguņa taman mulah akĕni
sakarmaning yayah//
Terjemahannya :
Apabila si
anak tidak mau mengikuti nasehat baik yang diharapkan oleh orang tuanya/
Anak yang demikian itu bukan anak namanya, sama dengan tumbuh-tumbuhan,
tidak ada bedanya/
Si ayah dapat menganggapnya bukan anak karena bakatnya tida ada padanya,
jadi tidak berguna/
Sangat hinalah si anak bila tidak mengikuti jejak orang tua//
Ada beberapa gambaran anak dalam
keluarga yang bisa dijadikan referensi bagi orang tua di dalam mendidik
anak-anaknya. Lontar Putra Śasana VII.1
dan 2 dinyatakan sebagai berikut :
Wwantĕn putra wimūddha tĕkwan
ikanang yayah atiśaya ring guṇādhika/
Len tang putra widagdha budhi
guṇawān ndan ikang awĕka mūddha tan sipi/
Wwantĕn teki muwah sūta tiśaya
mūddha saka ri janakanya nirguṇa/
Lyan tang putra mahotameng guṇa
lĕwih sakari yayah ikā ti buddhiman//
Terjemahannya :
Ada anak sangat bodoh, akan tetapi ayahnya sangat pandai/
Lain lagi ada anak sangat pandai, namun ayahnya bodoh/
Ada anak yang dungu karena ayahnya yang dungu/
Ada anak yang sangat pandai karena ayahnya pandai//(Mimbeng, dkk., 1997 :
107–108)
Nāhan pat gatining sutenĕtakĕneki
kĕkĕkĕkĕsane dalĕm hati/
Yekā munggwi kaping rwaning padha
lawan wĕkasan ika ya tekanang tutĕn/
Yapwan mahyuna ring sukirtti
niyateka mapuhara katĕmwa den ikā/
Nā ling sanghyang ajī prasiddha
pitutur mami ya tika gĕgön tĕmĕn-tĕmĕn//
Terjemahannya :
Ada empat macam keadaan anak, coba diingat dan pikirkan dalam-dalam/
Itu yang nomor dua dan terakhir patut dijadikan teladan/
Bila menghendaki kirti yang berbobot jelas akan tercapai (oleh sang
sujana)/
Demikianlah ucapan sastra agama yang dapat saya ajarkan patut dipakai
pedoman// (Mimbeng, dkk., 1997 : 109–110).
Ajaran Lontar Putra Śasana VII.1–2
tersebut maka yang patut menjadi referensi orang tua di dalam mendidik
putra-putrinya adalah anak yang pintar walaupun orang tuanya bodoh dan anak
yang pintar karena orang tua memang pintar. Hal ini bisa dilakukan sejak masa
persiapan memiliki anak dengan cara melakukan hubungan seksual yang baik dan
benar menurut ajaran agama Hindu. Apabila telah memiliki anak, maka orang tua
dapat meniru pola-pola pendidikan bagi keluarga yang digambarkan tersebut. Hal
ini beralasan, sebab pendidikan tidak hanya disebabkan oleh faktor bawaan
tetapi juga faktor lingkungan. Setiap anak memiliki potensi yang baik, sehingga
sikap dan perilaku anak bisa diarahkan sesuai dengan harapan orang tuanya.
Sehingga Yusuf (2004 : 40) berpendapat bahwa lingkungan keluarga merupakan
faktor penentu (determinat factor)
yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang.
Dalam perannya sebagai pendidik, ada
beberapa indikator keberhasilan orang tua sebagaimana disebutkan dalam Lontar Putra Śasana VII.6, sebagai
berikut :
Yāwat pwekang anak prasiddha maguṇā
dhika winaya suśīla ring praja/
Tĕkwan wāk pawu ring sabhā halĕpa
nindita mangucapa mogha tan luput/ sakweh sang sujanā dhikāra padha śāstra wihikan iriyā samangkana/
Tāwat prarttananing yayahnya riya
siddha maphala madulur yaśādhikā//
Terjemahannya :
Bila mana anak cekatan, pandai, berdaya upaya baik, berdisiplin mengabdi
pada negara/
Pasih berbicara menghadapi umum tanpa tandingan, semua tutur katanya penuh
kebenaran/
Semua para sarjana mengakui akan kebolehannya yang demikian itu/
Maka tercapailah segala cita-cita orang tuanya membuahkan jasa yang
berbobot// (Mimbeng, dkk, 1997 : 111–112).
Jadi keberhasilan peran orang tua
sebagai pendidik adalah terbentuknya anak yang cekatan, pandai, berdaya upaya
baik, disiplin, mengabdi pada negara, pintar berbicara di depan umum, tutur
katanya penuh kebenaran, dan kemampuannya diakui oleh para sarjana.
3.2.2. Orang
tua sebagai Pembimbing
Peranan orang tua sebagai pembimbing
anak sebenarnya hampir sama dengan mendidik, hanya saja dalam uraian ini akan
dibatasi yaitu mulai dari setelah anak itu lahir dan dibimbing khusus dalam
bidang susila (bertingkah laku yang baik), yang merupakan salah satu kerangka
dari ajaran agama Hindu. Sasaran pokok bimbingan adalah untuk melatih dalam hal
menuntut ilmu pengetahuannya, akibat dari nafsu anak-anak pada masa itu sudah
untuk ditahan-tahan. Dalam Lontar Putra
Śasana III.2 disebtukan sebagai berikut :
doṣā mwang guṇaning sute ningĕt
ingĕt de sang mahā paṇdita/
yadyan putra suśīla len tang ahajöng
tĕlas kawruhaan denira/
yan ring doṣa malit guṇa dhika
hilang tang doṣa yan mangkana/
yapwan doṣa magöng guṇa pwa mademit
wyār tang guṇā was hilang//
Terjemahannya :
Dosa dan kebaikan anak selalu diperhatikan oleh pendeta utama/
Anak yang susila dan buruk semua telah diketahuinya/
Bila lebih kecil dosa dari perbuatan baiknya maka terhapuslah dosa itu/
Apabila dosa itu lebih besar dari perbuatan baiknya, tidak bergunalah
kebaikan itu jelas akan hilang// (Mimbeng, dkk., 1997 : 97–98).
Kutipan tersebut dapat juga dipahami
bahwa orang tua berperan di dalam membimbing putra-putrinya, sama seperti
perhatian pendeta utama terhadap sisya-nya.
Orang tua harus bertanggung jawab terhadap tumbuh kembang sikap dan perilaku
putra-putrinya, sebagaimana diamanatkan dalam Lontar Nitisastra IX.2 baris pertama yang berbunyi, “Kramaning dadi wwang hana ring bhuwana,
pahutanganta ring prajā, artinya manusia di atas dunia ini mempunyai
kewajiban terhadap sesamanya” (Mimbeng, dkk., 1997 : 59–60). Hal ini sangat penting, mengingat sikap dan
perilaku putra-putri merupakan citra bimbingan orang tua di keluarga. Semua ini
dilakukan dalam rangka mewujudkan anak suputra,
yang merupakan harapan semua keluarga. Lontar Nitisastra IV.1 baris keempat
mengungkapkan, “yān ing putra suputra
sādhu guṇawān mamaḍangi kula wandhu wandhawa”, artinya : “Putra yang baik,
saleh dan pandai membahagiakan kaum keluarganya” (Mimbeng, dkk., 1997 : 29–30).
Membimbing anak merupakan proses
untuk mengantarkan anak kepada sasaran yang ingin dituju. Banyak ajaran-ajaran
etika atau susila yang dapat diberikan oleh orang tua kepada putra-putrinya,
melalui praktek langsung maupun tidak langsung, seperti diselingi oleh penyampaian
ceritera-ceritera yang biasa dilakukan pada masa dahulu oleh nenek atau kakek
kepada cucunya sebelum tidur. Hal ini
patut ditingkatkan dewasa ini. Demikian pula melalui bimbingan praktek,
misalnya mengarah pada penjabaran tattwamasi,
untuk dapat diamalkan dalam kehidupannya. Akan hal ini dapat dipetik dari
ajaran trikaya parisudha, yaitu
berupa tiga pengendalian hawa nafsu untuk dapat berbuat yang baik dan benar.
Pertama manacika,adalah membimbing
anak untuk berpikir yang baik dan benar, dengan tidak menginginkan sesuatu yang
tidak benar, tidak berpikir buruk terhadap orang lain, dan tidak mengingkari
hukum karmaphala. Kedua wacika, berarti anak dibimbing supaya
dapat bertutur kata yang baik dan benar dengan tidak mencaci maki, tidak
berkata kasar kepada orang lain, tidak memfitnah dan tidak ingkar janji. Ketiga
melalui kayika, yaitu berbuat atau
berlaksanayang baik dan benar dengan memberikan bimbingan, tidak melakukan
pembunuhan, tidak mencuri dan tidak berbuat curang terhjadap sesama.
Selain bimbingan tersebut, juga
terdapat beberapa larangan ajaran agama Hindu patut dapat ditanamkan untuk tidak dilaksanakan
dalam hidupnya, seperti : sadripu,
sadatatayi, dan saptatimira.Sadripu yang terdiri dari enam jenis musuh, yaitu : (1)
Kama artinya nafsu, (2) Lobha artinya kelobaan, (3) Krodha
artinya kemarahan, (4) Mada artinya
kemabukan, (5) Moha artinya
kebingungan, dan (6) Matsarya artinya
iri hati. Sadatatayiyaitu enam macam
pembunuhan yang terdiri dari : (1) Agnida
artinya membakar milik orang, (2) Wisada
artinya meracun, (3) Atharwa artinya
melakukan ilmu hitam, (4) Sastraghnaartinya
mengamuk, (5) Dratikrama artinya
memperkosa, dan (6) Rajapisuna
artinya memfitnah. Saptatimirayaitu
tujuh macam kegelapan atau kemabukan terdiri dari : (1) Surupa artinya rupa tampan, (2) Dhana
artinya kekayaan, (3) Guna artinya
kepandaian, (4) Kulina artinya
keturunan, kebangsawanan, (5) Yowana
artinya keremajaan, (6) Sura artinya
minuman keras, dan (7) Kasuran
artinya kemenangan.
Disamping hal-hal tersebut, juga
patut ditanamkan rasa saling hormat menghormati, harga menghargai dan cinta
mencintai sesama manusia dan mahkluk hidup sesama ciptaan Ida Hyang Widhi Wasa, karena kesemuanaya itu merupakan
ketergantungan dan saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
Mengucapkan salam panganjali umat dengan ucapan Om Swastyastu setiap bertemu dan mengucapkan rasa terima kasih
setiap dibantu, mohon maaf setiap ada berbuat yang mungkin dapat menimbulkan
kekhilafan atau kekeliruan, baik itu sengaja ataupun mungkin tidak sengaja dan
mengakhir dengan ucapan Om Santih,
Santih, Santih, Om yang artinya semoga damai atas karunia-Nya Hyang Widhi
Wasa, baik itu di dunia, di hati dan segalanya. Semua bimbingan tersebut,
diarahkan untuk pembentukan sikap, moral, mental, tingkah laku manusia sebagai
ciptaan Tuhan yang paling tinggi tingkatannya dan utama keberadaannya, agar
dalam kehidupan dapat mengamalkan tindakan sebagai kemanusiaan.
Ada beberapa sifat bimbingan dan
akibat yang ditimbulkannya sebagaiamana telah dikutip sebelumnya. Apabila di
dalam membimbing putra-purtrinya, orang tua telalu memanjakan maka berakibat
buruk. Sebaliknya bila memberikan ganjaran pada setiap sikap dan perilaku anak
akan berakibat positif. Hal ini juga diungkapkan dalam Lontar Nitisastra IV.21
sebagai berikut :
Haywānglālana putra sang sujana doṣa
tĕmahika winarga tan wurung,
Akweh sang sujanātilar swa tanayanya
pisaningu tikang warāngganā,
Yapwan dikṣita tādanenulahakĕn
tĕmahan ika suśīla śāstrawān,
nityanarcana ring wadhūjana sirang
wara sujana lulut mangastuti.
Artinya :
Jangan memanjakan anak, anak yang dimanjakan aka menjadi jahat dan pasti
akan menyimpang dari jalan yang betul/
Bukan hanya orang bijaksana yang meninggalkan anaknya (perlu bertapa)
apalagi istrinya/
Jika kita adapat menggunakan peraturan ketertiban dan hukum dengan saksama,
maka itu akan menjadi baik dan berpengetahuan/
Anak yang semacam itu akan dihormati oleh wanita dan disayangi serta
dihargai oleh orang-orang baik// (Mimbeng, dkk., 1997 : 41–42).
Selanjutnya Lontar Nitisastra XV.1 menyebutkansebagai
berikut :
Ika hulahĕn ring śiśu ya ta sikṣan,
pagĕha ri kābhyāsaning aji tan len,
apan ikanang yowana wiṣayābhwat,
ya tika sĕdĕngning tuha muni wrĕtti.
Artinya :
Yang harus kita perbuat pada anak-anak/
Ialah melatihnya dalam hal menuntut ilmu pengetahuan, lain tidak/
Sebab apabila sudah remaja diliputi oleh nafsu indriya/
Dan apabaila sudah tua hendaknya hidup kesucian (Mimbeng, dkk., 1997 :
77–78).
Maksud kutipan tersebut di atas,
bahwa bimbingan yang harus diberikan kepada anak-anak itu adalah memberikan
banyak latihan berupa praktek-praktek dari penjabaran berupa ajaran-ajaran yang
telah diberikan dalam kehidupannya, yaitu berupa ilmu pengetahuan. Orang tua
berusaha meningkatkan keterampilan anak-anaknya dengan cara bekerja dan tidak
memanjakan anak-anaknya. Pada kehidupan selanjutnya, anak-anak yang mempunyai
peluang waktu lebih banyak dan lama dari orang tuanya, sebagai pewaris dan
sekaligus penerus keturunannya.
Adapun beberapa jenis keterampilan
yang patut diberikan bimbingan kepada anak-anak dalam keluarga, yang meliputi
kepentingannya sendiri dan keluarga. Kepentingan sendiri adalah yang mengarah
untuk bisa mandiri dan tidak menggantungkan diri pada pembantu ataupun pelayan,
misalnya : pembersihan kamar tidurnya, mencuci pakaian, makan, minum, mandi,
berpakaian, belajar dan lain sejenisnya. Untuk membantu kepentingan keluarga,
misalnya : membantu orang tua dan adik-adiknya yang masih kecil, belanja ke
pasar, memasak di dapur, cuci piring, membersikan halaman, ruangan, kamar tamu,
kamar tidur, kamar mandi, wc, mengatur benda-benda dalam ruangan, memanfaatkan
halaman yang ada untuk berkebun, membersikan tempat-tempat suci, mempersiapkan
sesajen/banten dan lain sejenisnya. Kesemuanya ini patut dilatih sedini
mungkin, untuk selanjutnya adapat menjadikan kebiasaan sebagai swadharmanya
seorang anak terhadap orang tua atau kelaurganya (Arwati, 1993 : 24).
Demikian pokok-pokok bimbingan
tuntunan yang bersumber pada ajaran-ajaran suci agama Hindu, dapat dipakai
sebagai pedoman untuk dihayati dan sekaligus diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari pada keluarga, baik secara pribadi maupun golongan.
3.2.3. Orang tua sebagai Penerus Keturunan
Orang tua
memiliki swadaharma sebagai penerus
keturunan. Swadharma tersebut merupakan kodrat alam kehidupan yang telah
dilahirkan oleh Hyang Widhi Wasa. Orang tua adalah sumber kelahiran manusia,
yang nantinya akan menjadi generasi penerusnya. Peran orang tua sebagai penerus
keturunan disebutkan secara tersirat dalam Lontar
Putra Śasana VII.3 sebagimana telah dikutip pada sub 4.2.1. Pada baris
pertama dan kedua dinyatakan bahwa ibu sangat menderita, baik pada saat anak
masih dalam kandungan maupun setelah anak itu lahir.
Kelahiran anak merupakan penyelamat
bagi leluhur yang masih terhalang perjalanannya untuk menuju moksha
sebagai tujuan akhirnya. Penjelmaan kembali ke dunia ini akan menebus dosa
melalui perbuatan baik. Mengenai hal ini dalam pustaka suci “Adi Parwa”
dinyatakan bahwa penderitaan leluhur Sang Jaratkaru yang bergantung pada sebuah
bambu “petung” dalam keadaan yang sangat berbahaya, akhirnya dapat
diselamatkan, setelah Sang Jaratkaru melaksanakan perkawinan dan berketurunan.
Orang tua sebagai penerus keturunan,
dapat diibaratkan sebagai DewiKemakmuran, seperti pula dinyatakan dalam pustaka
suci ManusmertiXI, sloka26 berbunyi sebagai berikut :
Prajanartham mahabhagah pujarne
grhadip
tayah criyacca gehesu na viceco
kaccana
terjemahannya :
Sama sekali tida ada bedanya antara Ćri (Dewi Kemakmuran) dengan istri di
rumah, yang dikawinkan dengan tujuan mempunyai keturunan, membawa kebahagiaan,
yang layak dipuja sebagai pelita rumah (Pudja dan Sudharta, 2002 : 655).
Kehadiran seorang ibu atau istri
dalam hidup keluarga di rumah suami dipandang sebagai pelita rumah. Maksud,
dari si Ibu akan terlahir nantinya para generasi penerus, yang diyakini dari
penitisan para leluhurnya turun ke dunia memohon panyupatan untuk memperbaiki
karmanya terdahulu sehingga belum dapat menyatu atau mencapai moksa. Untuk menuju pada pelita rumah
sebagaimana yang diharapkan, memberikan banyak tanggung jawab yang cukup berat
bagi seorang ibu dalam kehidupannya.
Pada masa kehamilan, tanggung jawab
seorang ibu sudah sangat berat. Banyak perubahan yang akan ditimbulkan pada
saat hamil, baik pada pisik maupun psikologisnya. Dalam pisiknya akan mulai ada
perubahan-perubahan membesar, sehingga potongan badannya menjadi lucu
kelihatannya, perasaan kadang-kadang terganggu akibat dari pada pembesaran
organ tubuhnya itu, sering pusing-pusing, diikuti dengan muntah-muntah, tidak
enak makan, tidur maupun kebiasaan-kebiasaan yang lainnya, sehingga jiwanya
menjadi terpengaruh dalam tingkah lakunya kadang-kadang agak lain dari
biasanya. Dalam kondisi inilah seorang ibu harus mampu mengendalikan diri,
dengan cara melaksanakan beberapa brata, seperti : (1) Wak capala; yaitu tidak bersikap sombong dan angkuh, sehingga
menimbulkan rasa yang mangkel, (2) Wak
purusya; yaitu tidak boleh ngomel, berkata-kata yang keras dan kasar, tidak
dibangunkan secara mendadak ketika sedang tidur nyenyak, mungkin karena ada
berita duka atau musibah yang dipandang patut untuk diketahui. Semua brata
tersebut merupakan pantangan yang patut ditaati oleh setiap ibu yang sedang
hamil. Hal dini dimaksudkan untuk mengawali pelaksanaan pendidikan terhadap
anak dalam kandungan. Bila hal itu dilanggar, maka semua sifat-sifat yang
dilakukan oleh seorang ibu akan menurun dan kemudian diwarisi oleh anaknya.
Oleh sebab itu, jika sorang tua
mengharapkan anaknya kelak menjadi orang yang berguna, maka ibu sedapat mungkin
memupuk sifat-sifatnya positif, berusaha menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk,
senang belajar dan kreatif meningkatkan keterampilan-keterampilan. Hal ini
dapat merangsang pertumbuhan jiwa anak yang akan dilahirkan menjadi menjadi
generasi pewarisnya nanti.
Tanggung jawab seorang ibu setelah
masa kehamilan berakhir, adalah melahirkan kandungan berupa anak. Hal ini pada
sebagian besar ibu-ibu dihadapi dengan rasa cemas karena akan merupakan
pengalaman pertama dalam kehidupannya, yaitu mengeluarkan manusia dari anggota
tubuhnya. Bayangan akan rasa sakit yang luar biasa sangat menghantu pikirannya
Swadharma orang tua, khususnya
seorang ibu adalah sangat mulia, sehingga harus diterima sebaga suatu kodrat.
Hal ini secara jelas, telah dinyatakan dalam dalam Kitab Manusmerti XI.27 disebutkan “Utpadanam apatyasya jatasya paripalanam, pratyaham lokayatrayah
prtyaksam strinirbandhanam. Artinya : Melahirkan anak, memelihara ayang
telah lahir, lanjutnya peredaran dunia, wanitalah yang menjadi sumbernya”
(Pudja dan Sudharta, 2002 : 656).
Swadharma ibu melahirkan anak dapat dilalui, maka akan ditunggu
lagi dalam pengalaman untuk memelihara yang telah lahir, sebagai pertanggung
jawaban perasaan cinta. Anak sering disebut sebagai buah dari cinta suami
istri. Swadharma orang tua setelah
melahirkan adalah memelihara melalui perawatan secara lahir dan batin pula.
Mengenai swadharma ini, dalam pustaka suci Sarasamuccaya sloka 244 (Kadjeng,
dkk., 2005 : 184–185), dengan jelas menyatakan sebagai berikut :
Mangkanang ibu, arata juga sihnira
manah ya, apan wenang tan wenang saguna, nirguna, daridra, sugih ikang anak,
kapwa rinaksanira, iningunira, tan hana pwa kadi nira, ring masiha mangingwana.
Artinya :
Demikianlah si Ibu, dalam kasih sayang pada anaknya sama rata, sebab baik
yang mampu maupun yang tidak mampu, yang berkebajikan, yang tidak bajik, yang
miskin, yang kaya, anak-anaknya itu semuanaya dijaganya.
Menyimak sloka tersebut, maka orang
tua tidak akan pernah membedakan kualitas dari anaknya dalam melaksanakan swadharma-nya, sebab baik ataupun tidak
baik, adalah anaknya sendiri yang dilahirkan dari kandungannya. Demikian tugas
suci dan tanggung jawab yang mulia orang tua mengabdikan diri pada anaknya
dengan dasar yadnya yang tulus dalam
kehidupannya, patut menjadikan pedoman penghayatan bagi generasi penerus
berikutnya.
3.3. Pendekatan
Pendidikan Nilai Agama Hindu dalam Keluarga Hindu Menurut Lontar di Bali
3.3.1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan
pendidikan nilai agama Hindu yang bisa dikaji dari lontar di Bali adalah pendekatan penanaman nilai. Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Tujuan pendidikan
nilai menurut pendekatan ini adalah: Pertama, diterimanya nilai-nilai sosial
tertentu oleh siswa; Kedua, berubahnya nilai-nilai siswa yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Proses sosialisasi nilai menggunakan
metode , antara lain : keteladanan, nasehat, simulasi, dan permainan peran
(Superka et al dalam Zakaria, 2010 : 3).
Pendekatan
penanaman nilai dapat dilihat antara lain dalam Lontar Putra Śasana II.4, III.1, dan VI.1-2. Lontar Putra Śasana II.4 dan
III.1 sebagaimana dikutip pada sub bab 4.3.1, menyiratkan bahwa
pendidikan harus dilakukan dengan cara menasehati anak-anak agar mereka
menyadari tentang perilaku yang baik dan benar ataupun perbuatan yang buruk dan
salah. Hardiman (dalam Budiningsih, 2004 : 73) mengatakan bahwa keluarga
memiliki nilai-nilai yang harus diikuti putra-putrinya, dan dapat ditanamkan
melalui nasehat. Menasehati berarti memberikan informasi tentang ajaran-ajaran
agama Hindu, serta menunjukan perilaku yang baik dan benar, termasuk sikap dan
perilaku yang tidak dibenarkan menurut ajaran agma Hindu. Dengan kata lain,
menasehati berarti memberikan pemahaman nilai-nilai agama Hindu. Proses
tersebut mengandung upaya preventif maupun kuratif. Menasehati sebagai upaya
preventif berarti memberikan informasi tentang ajaran-ajaran agama Hindu dalam
kaitannya degan sikap dan perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai
upaya kuratif, maka menasehati berarti menunjukkan bahwa perilaku yang
dilakukan anak merupakan perbuatan yang salah menurut ajaran agama Hindu,
sehingga harus ditinggalkan. Harapan akhirnya adalah anak-anak memahami
perilaku yang baik dan benar serta perilaku yang buruk dan salah. Lontar Putra Śasana VI.8 sebagaimana telah dikutip pada sub bab
4.2.2., menyebutkan “tinggal tang gati
mahalā hajĕng gĕgĕnta, artinya perbuatan yang salah ditinggalkan sedangkan
yang baik ditingkatkan”.
Proses
pendidikan tersebut sejalan dengan pemikiran Paulo Freire yang mengatakan bahwa
tujuan pendidikan adalah proses penyadaran (conscientizacao)
bagi peserta didik (dalam Yunus, 2007 : 50). Upaya menasehati bertujuan
menyadarkan anak-anak tentang sikap dan perilaku yang sesuai atau bertentangan
dengan ajaran agama Hindu. Di sisi lain, kesadaran akan muncul apabila
anak-anak memiliki pemahaman nilai-nilai agama Hindu. Mengacu pandangan
Budiningsih (2004 : 26) maka dapat dikatakan bahwa kesadaran adalah indikator
kematangan sikap dan perilaku anak-anak.
Nasehat sebagai salah satu aspek pendekatan humanis harus didasari oleh
kasih sayang; oleh Carl Rogers (dalam Budiningsih, 2004 : 47) diistilahkan
dengan “empati”. Menurut Budiningsih (2004 : 47), empati atau kasih sayang
merupakan dimensi yang penting dalam proses pemberian bantuan. Kasih sayang
dalam Lontar Putra
ŚasanaVI.1–2 dinyatakan sebagai berikut
:
Hentunyekang aji kabeh tĕlas
kapangguh/
Dening janma maharĕping guṇā
dhikaāra/
Sihnī sang guru ya nimittaning
samangkā/
Matangnyan guru juga ya sewaka
ndatan len//
Terjemahannya :
Keberhasilan seseorang dalam mempelajri ilmu pengetahuan/
Oleh orang yang mendambakan ilmu pengetahuan/
Kasihnya guru yang menyebabkan demikian/
Maka seyogyanyalah kita mengabdikan diri kepada guru tiada lain//(Mimbeng,
dkk, 1997 : 103–104).
Yapwan pwekang aji huwus samāpta
denya/
Dening göng ni sih ira sang guru
yyawaknya/
Byāktāngde sukani manah widhātra
patni/
Tan hopĕn sukani yayahnya tan
pahingan//
Terjemahannya :
Apabila semua pelajaran telah ditamatkan olehnya/
Karena kasih guru kepadanya/
Jelas menyebabkan kesenangan Dewi Saraswati/
Tak terkatakan betapa senang ayahnya// (Mimbeng, dkk, 1997 : 103–104).
Berdasarkan
kutipan tersebut maka keberhasilan anak di dalam proses pendidikan sangat
ditentukan oleh kasih sayang pendidik (guru
rupaka dan guru pengajian). Hal
ini sejalan dengan pemikiran Budiningsih (2004 : 53) bahwa kasih sayang turut
berperan di dalam perkembangan sikap dan perilaku anak-anak sehingga mencapai
tahap kematangan optimal. Jarvis (2007 : 88) mengungkapkan bahwa kasih sayang
adalah salah satu bentuk penghargaan positif tak bersyarat (unconditional positif regard) yang
sangat penting dalam proses aktualisasi diri seorang anak secara optimal. Oleh
karena itu, orang tua sebagai pendidik dalam keluarga harus mengedepankan kasih
sayang dalam proses pendidikan nilai agama Hindu, sehingga nasehat-nasehat yang
diberikan dapat berperan optimal dalam mengembangkan sikap dan perilaku
putra-putrinya.
Berdasarkan
uraian di atas maka pendekatan penanaman nilai selaras dengan teori
rekonstruksi sosial. Proses pendidikan mengutamakan kerja sama antar anak, anak
dengan orang tua maupun antara anak dan orang tua dengan sumber-sumber
pendidikan nilai agama Hindu. Dalam proses kerja sama dikembangkan sikap saling
menghormati dan menghargai perbedaan, menumbuhkan persamaan martabat
kemanusiaan. Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan yang dikembangkan adalah
pendekatan yang berpusat pada anak, sehingga hubungan orng tua dan anak dalam
interaksi pendidikan nilai merupakan mitra belajar.
3.3.2. Pendekatan Perkembangan
Kognitif
Proses
pendidikan nilai agama Hindu dalam lontar di Bali dapat dipahami bahwa
dilakukan dengan pendekatan perkembangan kognitif. Proses pendidikan harus
memperhatikan faktor-faktor psikologis anak didik. Menurut Lontar Putra Śasana proses pendidikan nilai agama Hindu harus dilakukan
sejak dini. Ada tiga bait, yaitu Lontar Putra
Śasana III.1, III.3, dan IV.2 yang
mengemukakan hal tersebut. Lontar Putra
Śasana III.1 sudah dikutip pada sub bab
4.3.1, sedangkan lembar III.3 dan IV.2
akan dikemukakan sebagai berikut :
Deyā sang
paramārddhikā marahane putrā sĕdhĕngning rare/
nāhan donya
katĕmwaning śruti tĕhĕr meman gatinyan tutut/
āpan ring
suta yan duwĕg wĕrĕ wĕrĕ mewĕh kasikṣānikā/
yan sāmpun
matuhā mapeka wuwusĕn mangkinya mewĕh tĕmĕn//0//
Terjemahannya :
Para bijaksana berupaya mendidik anak semasih kecil/
Bertujuan agar si anak menjadi ilmuwan sebab (anak)
sangat mudah menerima pelajaran/
Bila sudah dewasa (tua) sukar mendidiknya/
Lebih-lebih kalausudah lanjut usia sanngat sukar sekali//0//
(Mimbeng, dkk., 1997 : 97–98).
Anwam pweki
wayahnya yogya kĕtikā lĕkasa mangaji haywa tā tĕpĕt/
Tan
hāroharang manah tuwi taman mangangĕn angĕna len sakeng aji/
Āpan nirmala
buddhining śisu tatan hana wiṣaya kacitta denika/
Āpan yan
duwĕging wayah katilinging wiṣaya malina buddhi cañcala//
Terjemahannya :
Semasih anak-anak patut segera disekolahkan jangan
diabaikan/
Pikirannya masih tenang tidak memikirkan apa-apa
selain dari pelajaran/
Karena pikiran anak masih murni belum dihinggapi oleh
panca roba/
Bila sudah dewasa selalu dirundung oleh nafsu indriya
yang kotor pikiran akan goyah// (Mimbeng, dkk., 1997 : 99–100).
Semua
kutipan tersebut menyatakan bahwa proses pendidikan harus dimulai sejak usia
dini. Hal ini juga ditegaskan dalam sumber lain seperti Lontar Nitisastra V.1
(Mimbeng, dkk, 1997 : 45–46) dan Kitab Slokantara 51 (Oka, 1994 : 113–114).
Dalam konteks pendidikan nasional, pemikiran tersebut sejalan dengan program
pendidikan anak usia dini (sering disingkat : PAUD), yaitu dalam bentuk play group dan taman kanak-kanak (TK).
Namun dalam konteks pendidikan agama Hindu, proses pendidikan sesungguhnya
sudah dimulai ketika bayi masih dalam kandungan (pendidikan pranatal), baik itu dalam sikap dan perilaku ibu yang
sedang mengandung maupun dalam bentuk ritual keagamaan, seperti upacara
magedong-gedongan dalam masyarakat Hindu di Bali.
Salah satu
alasan pendidikan dilakukan sejak usia dini menurut Lontar Putra Śasana adalah
kemampuan atau daya tangkap anak usia dini sangat kuat karena belum memasuki
masa pancaroba. Hal ini juga
diungkapkan dalam Lontar Nitisastra V.1 (Mimbeng, dkk, 1997 : 45–46). Jika dibandingkan
dengan ketentuan sistem pendidikan nasional maka usia dini yang dimaksud adalah
umur prasekolah yaitu antara 2-6 tahun (Yusuf, 2004 : 162). Menurut Ambron
(dalam Yusuf, 2004 : 173) bahwa pada masa ini berkembang kesadaran dan
kemampuan memenuhi tuntutan dan tanggung jawab. Mulai tumbuh keasadaran untuk
dan kemampuan mengetahui sesuatu, memiliki sesuatu, atau mempertahankan sesuatu
sesuai tuntutan lingkungan sosialnya.
Dalam
perspektif psikologi perkembangan, pendidikan usia dini sangat berasalan sebab
anak usia prasekolah merupakan tahap perkembangan kepribadian yang disebut trotzaller atau masa krisis pertama.
(Yusuf, 2004 : 173). Artinya, usia prasekolah merupakan tahap dimana terjadi
perubahan hebat dalam diri anak. Anak mulai sadar akan ke-aku-annya, yaitu
sadar bahwa dirinya terpisah dari lingkungan atau orang lain, sehingga setiap
kemauannya harus dipenuhi atau menuntut kepentingannya harus diperhatikan. Akibat pertentangan antara kemauan diri
dengan tuntutan lingkungannya, mengakibatkan ketegangan dalam diri anak,
sehingga tidak jarang anak meresponnya dengan sikap membandel atau keras kepala.
Oleh karena
itu, orang tua perlu menghadapi putra-putrinya secara bijaksana, penuh kasih
sayang, dan tidak bersikap keras kepala agar tidak berkembang sikap membandel
yang tidak terkontrol. Dalam Nitisastra IV.20 disebutkan tentang
teknik mendidik anak sesuai dengan perkembangan psikologis, sebagai berikut :
Tingkahing sutacasaneka kadi raja
tanaya
ri sedeng limang tahun;
Sapta ing warsa wara hulun
sapuluhing tahun ika wuruken ring aksara;
Yapwan sodacawarsa tulya wara mitra
tinaha taha denta midana;
Yan wus putra suputra tinghalana solahika
Wuruken ing nayenggita
Terjemahannya :
Anak yang sedang berumur lima tahun, diperlakukan seperti anak raja; jika
sudah berumur tujuh tahun, dilatih supaya suka menurut, jika sepuluh tahun
dipelajari membaca; jika enam belas tahun dierlakukan seperti sahabat, kalau
kita mau menunjukkan kesalahannya, harus dengan hati-hati sekali; jika sendiri
ia beranak, diamat-amati saja tingkahnya, kalau hendak memberikan pelajaran
kepadanya, cukup dengan gerak dan alamat (Mimbeng, dkk., 1997 : 41 – 42).
Hal ini juga dikemukakan dalam Kitab Slokantara 49 sebagai berikut :
Kalinganya, dening anibakna
warah-warah ring anak, yan limang tahun tuwuhnya, kadei dening angiring anak
sang prabhu dening anibakaken warah iriya. Matuha pwa ya ikang swaputra,
katekaring cadas tahun wuwuhnya, irika ta ya waran ulun dening anibakaken warah
warah iriya, kunang yan atuha ikang anak, kateka ring nembalas tahun tuwuhnya,
ika ta yan kadi dening amarah-marah ing amarah-marah putra. Ling sang hyang
aji.
Terjemahannya :
Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya, ialah sebagai berikut : selama
lima tahun dari bayi ia harus diperlakukan sebagai raja. Ketika anak tumbuh
sepuluh tahun ia harus dilatih sebagai budak. Dan jika setelah anak itu berumur
enam belas tahun ia harus diberi tahu sebagai kawan terhadap kawan. Inilah cara
anak. Demikian ketentuan-ketentuan dalam kitab suci (Oka, 1994 : 109–110).
Jadi proses pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga harus dilakukan
dengan strategi yang sesuai dengan perkembangan kognitif anak. Orang tua harus
memahami strategi mendidik anak-anak, anak praremaja, anak remaja, anak yang
sudah dewasa. Hal ini sejalan dengan teori perkembangan kognitif, bahwa proses
pendidikan harus dilakukan sesuai tahap perkembanngan kognitif anak.
IV. SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
penyajian dan pembahasan hasil penelitian, maka simpulan penelitian adalah: (1)
Materi pendidikan nilai dalam lontar di Bali meliputi : guru bhakti, guruçuçrusā, dan hukum karma. Materi tersebut sesuai ajaran Kitab Sruti dan Smerti sebagai
sumber pokok ajaran agama Hindu. Selain itu, materi tersebut relevan dengan
permasalahan yang dihadapi dalam sistem pendidikan nilai agama Hindu dewasa
ini. Sesuai dengan teori nilai yang digunakan, maka lontar di Bali adalah salah
satu alat pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga; (2) Peran orang tua di
orang tua terhadap pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut lontar
di Bali adalah pendidik, pembimbing, dan penerus keturunan. Ketiga peran
tersebut mengandung makna sebagai agen transformasi nilai-nilai agama Hindu.
Hal ini sejalan dengan teori peran dikemukakan oleh Biddle dan Thomas bahwa
“Peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku yang
diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu”. Sehingga orang tua memiliki peran
sebagai pendidik bagi putra-putrinya dalam keluarga; (3) Pendekatan yang
digunakan untuk mengimplementasikan pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga
menurut lontar di Bali adalah pendekatan penanaman nilai dan pendekatan
perkembangan kognitif. Kedua pendekatan tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa
dalam proses pendidikan nilai agama Hindu harus beroreintasi pada peserta
didik. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan untuk
mengimplementasikan pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga menurut lontar
di Bali sejalan dengan teori rekonstruksi sosial bahwa pendidikan mengutamakan
kerja sama antara pendidik dengan peserta didik. Dalam proses kerja sama
dikembangkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan, menumbuhkan
persamaan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain, pendekatan yang dikembangkan
adalah pendekatan yang berpusat pada anak, sehingga hubungan orang tua dan anak
dalam interaksi pendidikan nilai agama Hindu merupakan mitra belajar.
Ada beberapa
saran yang dikemukan : (1) Para ahli pendidikan agama Hindu perlu
mensistematisasi ajaran lontar di Bali sehingga mudah dipahami oleh umat Hindu;
(2) Para peneliti diharapkan melakukan penelitian yang mendalam dan
komprehensif lontar di Bali sehingga dapat memperkuat eksistensi pendidikan
nilai dalam perspektif agama Hindu; (3) Para pengambil kebijakan perlu
melakukan kerja sama dengan para peneliti dan ahli pendidikan agama Hindu untuk
mendorong penguatan wacana dan praksis pendidikan nilai agama Hindu, sehingga
bisa sejajar dengan ahli pendidikan agama lain yang telah terlebih dahulu
melakukan hal tersebut; (4) Lembaga pendidikan tinggi perlu melakukan seminar,
work shop, dan pertemuan ilmiah lainnya untuk mendorong wacana pendidikan nilai
agama Hindu sehingga menjadi penguatan pada tingkat praksis; (5) Umat Hindu
sudah selayaknya lebih meningkatkan pemahaman terhadap lontar di Bali sebagai
salah satu sumber ajaran agama Hindu, termasuk dalam kaitannya dengan
pendidikan nilai agama Hindu dalam keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Ambroise, Yvon, 1993. “Pendidikan Nilai”. Dalam
EM. K. Kaswardi (Peny.), Pendidikan Nilai
Memasuki Tahun 2000. Halaman: 17 – 28.
Arwati, Ni Made Sri, 1993, Swdharma Ibu dalam Keluarga Hindu.
Denpasar : Upada Sastra.
Budiningsih, C. Asri, 2004. Pembelajaran Moral, Berpijak pada
Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Bungin, Burhan, 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif,
Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.
Edisi I Cetakan 2. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Capra, Fritjof, 2000. Titik Balik Peradaban, Sain, Masyarakat, dan
Kebangkitan Kebudayaan. Cetakan Kelima. Yogyakarta : Yayasan Bentang
Budaya.
Dantes, Nyoman. 2004.
“Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti dan Implemetasinya dalam Pendidikan”.
Makalah Seminar di STAHN Denpasar, 6 September 2004.
Darminta, 2006. Praksis Pendidikan Nilai. Yogyakarta :
Kanisius.
Djamarah, Syaiful Bahri,
2004. Pola Komuniasi Orang Tua dan Anak
dalam Keluarga. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Hidayat, Komaruddin, 2000.
“Pendidikan Agama Kita, Tidak Membangun Karakter”. Dalam Tokoh, 19–25 Februari. Halaman 10.
Jarvis, Matt, 2007. Teori-teori Psikologi : Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku,
Perasaan, dan Pikiran Manusia. Penerjamah : SPA-Teamwork. Cetakan Kedua.
Bandung : Nusamedia dan Nuansa.
Kadjeng, I Nyoman, dkk., 2005. Sarasamuccaya, dengan Teks Bahasa Sanskerta
dan Jawa Kuna. Surabaya : Paramita.
Kaswardi (Peny.), 1993, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta : Grasindo.
Khilmiyah, Akif, 2003. Menata Ulang Keluarga Sakinah : Keadilan
sosial dan Humanisasi Mulai dari keluarga. Bantul : Pondok Edukasi.
Kusuma, Ida Bagus Wijaya
Kusuma, 1996. Resep “Membuat” Aanak
Laki-Perempuan, Bagaimana Bayi dalam Kandungan Menurut Hindu. Denpasar :
Dharma Naradha.
Luwih, I Made, 2008.
“Analisis Pendidikan Nilai Agama Hindu dalam Keluarga Menurut Lontar Stri Śasana. Tesis; belum diterbitkan. Denpasar : IHDN
Denpasar.
Manuaba, Putra, 1998.
“Urgensi Pendidikan Humaniora di Tengah Budaya kekerasan”. Dalam Bali Post, 2 Desember. Halaman 5.
Maswinara, I Wayan, 1997. Bhagawad Gita dalam Bahasa Inggris dan
Indonesia. Surabaya : Paramita.
Mimbeng, I Gde., dkk., 1997.
“Kekawin Nitisastra”. Dalam Kakawin
Nitisastra dan Putra Sasana. Halaman 1–90. Mataram : Kanwil Departemen Agama Propinsi
Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Mimbeng, I Gde., dkk., 1997.
“Kekawin Putra Sasana”. Dalam Kakawin
Nitisastra dan Putra Sasana. Halaman 91–116. Mataram : Kanwil Departemen Agama Propinsi
Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Muhaimin, 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada.
Mulyana,
Rohmat, 2004. Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai. Cetakan Kesatu Maret 2004. Bandung : Alfabeta.
Muslimin, 2002. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Malang : Bayu Media dan UMM
Press.
Narmoatmojo, Winarno, 2010. “Pendidikan Nilai di
Era Global”. Makalah Disajikan dalam Seminar Regional Implementasi Pendidikan
Nilai Di Era Global pada Tanggal 22 September 2010 di Aula Pascasarjana UNISRI
Surakarta.
Nawawi, H. Hadari, 2005. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Oka, I Gusti Agung, 1994. Slokantara. Jakarta : Hanuman Çakti.
Parisada Hindu Dharma, 1993.
Upadeça tentang Ajaran Agama Hindu. Cetakan V. Denpasar : Upada Sastra.
Pudja, G. dan Sudharta, Tjokorda Rai (Penerjemah),
2002. Manawa
Dharmasastra (Manu Dharma Sastra). Jakarta : CV. Pelita Nursatama
Lestari.
Puniyatmadja, I.B. Oka,
1976. Çilakrama. Denpasar : Parisada Hindu Dharma Pusat.
Santoso, Amir, 2000. “Masalah Pendidikan Kita”.
Dalam Kompas, 26 Januari. Halaman 4
dan 11.
Sarwono, Sarlito Wirawan,
2003. Teori-Teori Psikologi Sosial.
Edisi Revisi Cetakan Kedelapan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sastrapratedja, M., 1993. “Pendidikan Nilai”.
Dalam EM. K. Kaswardi (Peny.), Pendidikan
Nilai Memasuki Tahun 2000. Halaman: 3 – 16. Jakarta : Grasindo.
Soekanto, Soerjono, 2004. Sosiolologi Keluarga, Tentang Ikhwal
Keluarga, Remaja, dan anak. Cetakan Ketiga. Jakarta : Rineka Cipta.
Sudarminta, 2002.
‘Pendidikan dan Pembentukan Watak Yang Baik’. Dalam Syarief, dkk. (Editor),
2002. Pendidikan untuk Masyarakat
Indonesia Baru : 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc,Ed. Halaman
455–469. Jakarta : Grasindo.
Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung
: Alfabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih,
1997. Pengembangan Pembelajaran : Teori
dan Praktek. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Sumardjo, Jakob, 1993. “Pendidikan Nilai dan
Sastra”. Dalam EM. K. Kaswardi (Peny.), Pendidikan
Nilai Memasuki Tahun 2000. Halaman : 147 – 153. Jakarta : Grasindo.
Supriadi Dedi, 2004. “Pendidikan Nilai : “Sebuah
Megatrend” ? ”. Dalam Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.
Cetakan Kesatu Maret 2004. Bandung : Alfabeta.
Sura, I Gede, 1985. Pengendalian Diri dan Etika dalam Ajaran Agama Hindu. Jakarta :
Ditjen Bimas Hindu dan Budha Departemen Agama RI.
Sura, I Gede, dkk., 2002. Kajian Naskah Lontar Siwagama. Denpasar : Dinas Kebudayaan Propinsi
Bali.
Surya, Mohamad, 2003. Bina Keluarga. Semarang : Aneka Ilmu.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Cetakan Ketiga. Jakarta : Balai
Pustaka.
Triguna, Ida Bagus Gde Yudha
dan Darmika, Ida Bagus, 1996. “Sistem Kekerabatan Hindu”. Dalam Ida Bagus Yudha
Triguna, dkk., Materi pokok Sosiologi
Hindu. Modul 1 – 6. Halaman : 55 – 93. Jakarta : Ditjen Bimas Hindu dan
Budha Depag. R.I. dan Universitas Terbuka.
Titib, I Made, 1998. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan..
Surabaya : Paramita.
Wijayanto, Iip, 2003. Sex In The “Kost”. Pengantar : Syukri
Fadholi. Cetakan Kedua. Yogyakarta : Tinta.
Wojowarsito, Soewono, 1972, Kamus Kawi (Jawa Kuna) – Indonesia,
Penerbit Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKSS Malang.
Yunus, Firdaus M., 2007. Pendidikan Berbasis Realitas Sosial _ Paulo
Freire dan YB. Mangunwijaya. Cetakan Ketiga. Yogyakarta : Logung Pustaka.
Yusuf, Syamsul; LN., 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Cetakan Ke-4. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Zakaria, Teuku Ramli, 2012.
“Pendekatan-pendekatan Pendidikan Nilai dan Implementasinya dalam Pendidikan
Budi Pekerti”. Dalam http://groups.yahoo.com/group/pakguruonline/message/131. Diakses pada Hari Selasa, 22 Mei 2012; Pkl. 21.27
Wita.
Zamroni, 2002. “Paradigma
Pembangunan Pendidikan Nasional dalam Mewujudkan Peradaban Bangsa”. Dalam
Ikhwanuddin Syarief dan Dodo Murtadlo : Editor. Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia Baru : 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R.
Tilaar, M.Sc.Ed. Halaman 33 – 45. Jakarta : PT. Grasindo.
Pada tujuan kedua disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama Hindu adalah
membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita
dalam kehidupannya. Mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagadhita dalam kehidupan
merupakan dimensi aksiologis pendidikan agama Hindu. Dimensi ini lebih
menekankan pentingnya kegunaan nilai-nilai pendidikan agama Hindu dalam praktik
kehidupan empiris sehari-hari. Seperti telah dijelaskan di atas moksartham
merupakan dimensi kehidupan berkaitan dengan hubungan manusia secara vertikal,
yakni dengan Tuhan sebagaimana kayakinan sradha dan bhakti pelayanan yang
diajarkan agama Hindu. Sebaliknya, jagadhita merupakan dimensi kehidupan
berkaitan dengan hubungan manusia secara horizontal, yakni hubungan antara
manusia dengan sesama sebagaimana kayakinan sradha dan bakti pelayanan yang
diajarkan agama Hindu.
Kedua dimensi ini pada gilirannya akan bermuara pada pembangunan manusia susila sebagai dimensi ketiga. Dikatakan demikian karena hanya manusia susila yang mampu mewujudkan nilai-nilai jagadhita dan moksartham, baik dalam kehidupan individual maupun sosial secara normal dan sempurna. Walaupun demikian, ketiga dimensi ini (tattwa, susila, dan acara) merupakan satu-kesatuan yang bulat dan utuh atau ketiganya merupakan dimensi teratur-setimbang dalam tatanan holistik dan komprehensif. Dari tattwa mengalir nilai kebenaran (sathyam); dari susila mengalir nilai kebajikan dan kebijaksanaan (siwam); dan acara mengalirkan nilai keindahan dan kebahagiaan (sundaram). Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan insan Hindu adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian, yaitu integrasi holistik dan komprehensip kebenaran-kebijaksanaan-kebahagiaan. Dalam kehidupan empiris teridentifikasi menjadi manusia susila, yaitu manusia bijaksana, manusia berkesadaran Dharma.
Berita Hindu Indonesia - Kita sadari bersama bahwa persebaran umat
Hindu yang sporadis dan tidak merata di seluruh wilayah nusantara membawa
kendala tersendiri bagi Pemerintah, Parisada serta tokoh pemuka agama Hindu di
dalam melaksanakan pembinaan umat dan menyelenggarakan pendidikan agama Hindu
yang ideal bagi siswa didik. Berbagai permasalahan klasik sering kali terlontar
dalam berbagai forum regional dan nasional dengan menyisakan PR yang tak
berujung bagi seluruh stake holder Hindu di Indonesia. Kurangnya tenaga
pendidik agama Hindu, kurikulum yang kurang tepat serta tiadanya sarana dan
prasarana yang memadai, adalah tiga dari sekian permasalahan yang sedang
dirasakan oleh umat Hindu di seluruh wilayah nusantara terutama yang berada di
luar Bali.
Proses belajar mengajar Pendidikan Agama Hindu di Bali tidak sama
kondisinya dengan yang berada di luar Bali walaupun kita dalam satu negara yang
sama serta payung hukumnya pun juga sama. Apalagi bila kita bandingkan dengan
agama lain, kondisinya jelas sangat berbeda. Situasi seperti itu dikarenakan
oleh beberapa faktor. Mulai dari rendahnya kesadaran dari umat Hindu untuk
memperjuangkan hak – haknya untuk memperoleh pendidikan agama Hindu yang ideal,
masalah kurikulum, kurangnya tenaga pendidik hingga minimnya dukungan
pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama Hindu di wilayahnya
masing – masing. Hal ini jelas belum sejalan dengan amanat UU No 20 tahun 2003
mengenai Sistim Pendidikan Nasional yang dengan terang benderang menyatakan
dalam pasal 4 ayat 1 bahwa :Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing
sudah barang tentu menjadi hak setiap pemeluk agama. Hal tersebut didukung juga
oleh adanya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang pendidikan agama
dan pendidikan keagamaan. Disebutkan dalam PP tersebut mengenai Pendidikan
agama yakni pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya,
yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan Pendidikan keagamaan adalah
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan
yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli
ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. Sebenarnya sungguh mulia apa yang
diamanatkan serta dicita -citakan dalam PP tersebut, dimana pada nantinya
pendidikan agama difungsikan guna membentuk manusia Indonesia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga
kerukunan hubungan internal dan antar umat beragama. Sampai pada akhirnya
pendidikan agama ditujukan untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam
memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan
penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Semoga apa yang telah dirancang pemerintah, bukanlah retorika belaka. Dari
sinilah diharapkan sistem pengajaran agama dapat berjalan sesuai fungsi dan
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam salah satu pasal disebutkan bahwa
pengajaran pendidikan agama kepada peserta didik haruslah orang yang seagama.
Hal ini menjadi sangatlah penting dalam penyelengaraanya karena pada
kenyataanya selama ini, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu sering diabaikan
pada lembaga pendidikan yang ada. Sebagai contoh misalnya, di suatu sekolah
swasta yang berlatarkan agama tertentu jarang sekali menerima nilai agama yang
telah dikeluarkan oleh Pasraman sebagai tempat penyelenggaraan agama, bahkan
tak jarang mereka memaksa peserta didik untuk mengikuti pelajaran agama yang
diwajibkan di sekolah tersebut, jika tidak maka nilai mereka pun akan terancam
kosong. Suatu realita yang sangat memilukan hati, dimana hak asasi manusia
telah ditindas. Tanpa kita sadari bahwa terkadang dalam meperoleh pengajaran
agama Hindu sangatlah sulit rupanya, khususnya hal ini terjadi di luar Bali
misalnya di Pulau Jawa, khusnya di kota-kota besar. Kita ambil contoh misalnya
pendidikan agama Hindu di Kota Jakarta, sangatlah jarang ditemui para pengajar
agama Hindu di sekolah-sekolah umum dari tingkat TK sampai dengan SMU bahkan
tingkat universitas . Untuk memperoleh pendidikan agama mereka harus
mendaftarkan diri ke sebuah pasraman yang ada di daerahnya masing-masing,
terkadang hal ini menjadi faktor penghambat besar dalam berlangsungnya proses
pengajaran agama.
Kekurangpedulian orang tua serta para peserta didik seakan mengkondisikan mereka enggan untuk datang ke pasraman dalam memperoleh pendidikan agama, bahkan konyolnya lagi mereka lebih memilih mengikuti pengajaran agama yang telah tersedia di sekolah mereka masing-masing yang tidak dipungut bayaran lagi, dibanding dari pada harus bersusah diri pergi ke pasraman yang notabene harus mengeluarkan tambahan kocek sebagai biaya administrasinya. Fakta lain yang sering ditemui adalah : ternyata banyak pula universitas-universitas di Indonesia yang tidak mewajibkan mata kuliah agama (khususnya agama Hindu). Mereka beranggapan bahwa pengajaran agama tidak memiliki kontribusi positif dalam peningkatan akademis mahasiswa. Benarkah demikian? Saya merasa bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tidak logis dan penyesatan terhadap logika berpikir, kita perlu ingat kata orang bijak, bahwa ilmu tanpa agama adalah buta. Untuk itu munculnya PP 55 2007 ini diharapkan bisa menjadi suatu tonggak dari bangkitnya sistem pengajaran Agama Hindu secara terpadu dan terarah. Dimana kedepannya akan bermunculan kaum intelektualitas Hindu yang memiliki dasar pengetahuan serta pengamalan ajaran agama yang kuat dan secara utuh dapat mencapai tujuanya dalam mensinergikan ajaran agama dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kekurangpedulian orang tua serta para peserta didik seakan mengkondisikan mereka enggan untuk datang ke pasraman dalam memperoleh pendidikan agama, bahkan konyolnya lagi mereka lebih memilih mengikuti pengajaran agama yang telah tersedia di sekolah mereka masing-masing yang tidak dipungut bayaran lagi, dibanding dari pada harus bersusah diri pergi ke pasraman yang notabene harus mengeluarkan tambahan kocek sebagai biaya administrasinya. Fakta lain yang sering ditemui adalah : ternyata banyak pula universitas-universitas di Indonesia yang tidak mewajibkan mata kuliah agama (khususnya agama Hindu). Mereka beranggapan bahwa pengajaran agama tidak memiliki kontribusi positif dalam peningkatan akademis mahasiswa. Benarkah demikian? Saya merasa bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang tidak logis dan penyesatan terhadap logika berpikir, kita perlu ingat kata orang bijak, bahwa ilmu tanpa agama adalah buta. Untuk itu munculnya PP 55 2007 ini diharapkan bisa menjadi suatu tonggak dari bangkitnya sistem pengajaran Agama Hindu secara terpadu dan terarah. Dimana kedepannya akan bermunculan kaum intelektualitas Hindu yang memiliki dasar pengetahuan serta pengamalan ajaran agama yang kuat dan secara utuh dapat mencapai tujuanya dalam mensinergikan ajaran agama dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Persebaran umat yang tidak merata memang membawa kendala tersendiri dalam
pemenuhan hak – hak peserta didik di dalam memperoleh pendidikan agama Hindu.
Namun demikian kendala tersebut tidak bisa menjadi alasan bagi stake holder
Hindu di Nusantara ini untuk tidak berbuat maksimal dalam penyelenggaraan
pendidikan agama Hindu. Saya sangat menghargai dan memberi apresiasi bagi
lembaga agama, tokoh ataupun pemuka umat yang sudah berupaya keras
menyelenggarakan pendidikan agama Hindu di Pura pada hari - hari tertentu.
Langkah tersebut memang benar sebagai upaya menanggulangi sementara kekosongan
ataupun kurangnya tenaga pendidik agama Hindu di suatu wilayah. Namun jangan
salah, ibaratnya obat, maka obat itu hanya dapat menyembuhkan sementara. Tetapi
menurut hemat saya untuk jangka panjangnya harus bersama – sama didiskusikan
lagi oleh segenap pemerhati pendidikan agama Hindu. Apa yang dimaksud dengan
perlu didiskusikan lagi? Bukannya penyelenggaraan pendidikan agama Hindu yang
sekarang ini dilaksanakan di pasraman - pasraman sudah berjalan cukup baik?
Bahkan sekolah – sekolah baik negeri maupun swasta sudah mau menerima
keberadaan Pasraman, indikasinya adalah pihak sekolah mengirimkan siswanya yang
beragama Hindu untuk mengikuti pelajaran agama di pasraman?
Memang benar, penyelenggaraan pendidikan agama Hindu di luar bali yang
selama ini diperankan oleh sebuah institusi yang kita sebut pasraman memang
sudah berjalan dengan baik dan kebutuhan siswa akan nilai mata pelajaran agama
sudah dapat terpenuhi. Tetapi secara politis ada sisi lain yang perlu kita kaji
bersama. Dengan adanya proses belajar mengajar pendidikan agama Hindu di
pasraman – pasraman maka apabila ada sekolah yang menerima siswa beragama Hindu
tetapi di sekolah tersebut belum ada guru agama Hindu, dengan mudahnya pihak
sekolah akan mengirim siswa tersebut ke pasraman. Pertanyaannya adalah, apakah
kita menginginkan hak yang sama bagi putra-putri kita untuk mendapatkan
pelajaran agama Hindu di sekolah dan pada jam pelajaran sekolah seperti yang
diperoleh siswa siswi yang beragama lain? Kalau saya yang ditanya, maka saya
akan jawab: Ingin. Saya ingin anak saya mendapat pelajaran agama Hindu di
sekolahnya dan pada jam pelajaran sekolah.
Sumber daya manusia untuk guru agama Hindu PNS memang sangat kurang sekali.
Tetapi perlu diingat bahwa sesuai UU Sisdiknas sekolah wajib menyelenggarakan
pendidikan agama kepada siswanya dan harus diajar oleh guru yang seagama.
Disinilah perlu keberanian dari orang tua murid untuk memperjuangkannya. Karena
yang kita perjuangkan tidak bertentangan dengan undang – undang ataupun
peraturan yang ada. Apabila orang tua murid menginginkan seperti itu maka tak
ada alasan bagi pihak sekolah untuk tidak memenuhi. Apabila kita berikan
argumentasi yang kuat berlandaskan UU dan PP yang ada seharusnya pihak sekolah
akan memenuhi dengan cara mengangkat guru honorer agama Hindu atau dengan cara-
cara yang lain. Memang tidak mudah untuk mengawalinya. Tetapi kapan lagi kalau
tidak mulai dari sekarang mengawalinya? Menurut saya satu langkah ini dapat
memberikan multiefek bagi dunia pendidikan agama Hindu. Ada beberapa dampak
positif yang kita petik:
- Coba kita bayangkan apabila semakin banyak orang tua yang menghendaki anaknya mendapatkan pelajaran agama Hindu di sekolah, maka akan dibutuhkan banyak tenaga honorer guru agama Hindu. Itu artinya akan menyerap sarjana – sarjana agama lulusan dari PTAH negeri maupun swasta yang ada.
- Minimnya pengadaan PNS untuk formasi Guru Agama Hindu di berbagai tingkatan sekolah, menurut saya salah satu faktornya adalah tiadanya laporan permintaan dari sekolah – sekolah negeri ke dinas yang menaunginya akan kekurangan dan kebutuhan formasi Guru Agama Hindu. Jadi hukum penawaran dan permintaanlah yang berbicara. Karena pihak sekolah sudah terbiasa untuk menitipkan siswanya untuk mendapatkan pelajaran agama di pasraman. Dengan demikian maka usulan pengadaan Guru Agama Hindu di sekolahnya bukanlah sebuah prioritas utama sehingga sangat jarang sekali muncul formasi Guru Agama Hindu dalam pengadaan CPNS di berbagai wilayah. Apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini, pengadaan guru agama menjadi domain dari pemerintah daerah setempat. Sehingga apabila tanpa diikuti lobby yang intensif dari umat kita yang berada di wilayah tersebut maka tidaklah mungkin kita dapatkan formasi guru agama Hindu walau hanya 1 formasi pun.
- Dengan adanya penyerapan lulusan dari perguruan tinggi Hindu, maka akan menarik minat lulusan SMU untuk masuk ke perguruan tinggi Hindu. Coba kita bayangkan, seandainya lulusan perguruan tinggi Hindu tidak terserap, apa yang terjadi? Yang pasti minat untuk masuk ke kesitu akan sangat kurang sekali. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka kelangsungan hidup perguruan tinggi Hindu hanya tinggal menunggu waktu saja.
Bagaimana dengan pasraman yang ada sekarang?
Menurut saya pasraman yang ada saat ini adalah embrio dari pasraman
sebenarnya yang dimaksudkan dari UU Sisdiknas dan PP 55 2007. Jadi apabila
pendidikan agama Hindu sudah bisa diselenggarakan di sekolah – sekolah, maka
pasraman yang ada tersebut dapat memfokuskan untuk mempersiapkan diri menjadi
pasraman yang sesungguhnya. Yaitu sebagai lembaga pendidikan yang bernuansa
Hindu. Yang dimaksudkan dengan sekolah bernuansakan Hindu adalah sekolah yang
disamping memberi pelajaran formal sesuai kurikulum yang telah ditetapkan
pemerintah, dalam pelajaran agama hanya memberi pelajaran agama Hindu saja bagi
seluruh siswanya, menambahkan pelajaran-pelajaran/ekstra kurikuler untuk
meningkatkan pengetahuan dan keimanan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta
mampu menerapkan nilai-nilai Hindu dalam kehidupan nyata. Kenyataan yang ada,
bahwa hingga saat ini di Indonesia masih sedikit sekali lembaga pendidikan
formal setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat atas yang
bernafaskan Hindu. Sebagai akibatnya banyak anak-anak Hindu yang terpaksa
bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan non Hindu, dengan konsekuensi
kewajiban mengikuti program keagamaan yang ditetapkan oleh sekolah tersebut.
Fenomena ini terutama terjadi sebelum diberlakukannya sistem pendidikan agama
menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.
Kalau kita tidak ingin ketinggalan dari yang lain, mau tidak mau pasraman
yang ada harus mulai menuju fungsi yang sesungguhnya sebagai lembaga pendidikan
keagamaan yang bernafaskan Hindu.
Berangkat dari pemahaman terhadap kedudukan dan peran pasraman sekarang,
tentu sebagai umat Hindu terutama yang menginginkan proses pembelajaran
pendidikan agama Hindu menyentuh pada aspek kerohanian, tidak merasa puas
melihat bahwa fungsi pasraman yang sedang berlangsung sekarang. Sebab hal itu
tidak lebih dari sekedar kursus dan hanya sekedar proses legalisasi pemberian
nilai pendidikan agama di dalam raport saja. Di masa depan kita semua pasti
berharap mampu mendudukkan posisi Pasraman sebagai lembaga pendidikan agama
Hindu formal dan non formal dalam penyelenggaraan proses pembelajaran
pendidikan agama Hindu dari tingkat SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi. Dengan
ditetapkannya UU Sisdiknas umat Hindu mempunyai peluang untuk menyelenggarakan
pendidikan keagamaan Pasraman. Hal itu tertuang di dalam pasal 30 ayat 4 yang
menyatakan :
Pendidikan Keagamaan berbentuk pendidikan Diniyah, Pesantren, Pasraman,
Pabhaja Samanera dan bentuk lain yang sejenis, selanjutnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pendidikan di pasraman menekankan pada disiplin diri, mengembangkan sradha
dan bhakti. Sistim pasraman menggambarkan hubungan yang akrab antara guru
dengan sisyanya bagaikan dalam sebuah keluarga. Sistim itu ada yang menyebutnya
dengan sistim pendidikan Gurukula. Sistim pendidikan Hindu semacam ini yang
sudah ada sejak dahulu sayangnya belum bisa berkembang di kalangan umat Hindu
di Indonesia. Tetapi justru berkembang baik dan dilaksanakan oleh saudara –
saudara kita dari agama lain. Jelas ini menjadi pekerjaan rumah bersama kita,
seluruh stake holder Hindu Indonesia.
Pendidikan budhi pekerti bagi anak-anak dalam keluarga
kiranya dapat menjadikan ajaran moral Sri Krishna dalam Kitab Bhagavad-gita
sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus ditanamkan dan cara penanamannya
adalah sebagai berikut:
- Abhyasa, mengandung arti melatih diri, membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik (Bhagavad-gita 6.35; 8.8; 12.9-10). Apa yang di abhyasa-kan? Semua perilaku yang baik harus dipraktekkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Anak harus sejak dini diajarkan untuk melakukan sembahyang, mengucapkan nama suci Tuhan secara teratur. Misalnya anak harus dibiasakan mengucapkan Mantram atau doa sehari-hari. Disamping fungsi utamanya untuk menyucikan diri, mohon kejernihan pikiran dan keluhuran budhi pekerti, mantram juga dapat berfungsi sebagai kavaca (“baju sutra yang melindungi/menyelamatkan), maupun sebagai ”panjara” (benteng yang mencegah pengaruh negatif mempengaruhi diri dan lingkungan seseorang.
- Tyaga, mengandung arti tulus ikhlas (Bhagavad-gita 18.3-4, 10) yakni ikhlas tanpa beban ketika menghadapi sesuatu. Sikap abhyasa dan sikap tyaga keduanya dapat dibandingkan seperti “maarkata nyaya” yaitu sikap anak kera, dan dengan ”marjara nyaya”, sikap anak kucing. Yang pertama berpegang erat-erat (seperti anak kera memegang erat-erat induknya saat ia dibawa kemana saja) dan melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya (bhakti), sedangkan yang kedua adalah seperti kepasrahan seekor anak kucing yang dicengkeram oleh mulut induknya saat berpindah-pindah. Seperti itu pulalah hendaknya kita pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
- Santosa, yang artinya puas menerima keadaan (santhusta), yakni dapat mensyukuri karunia-Nya. Seseorang tidak perlu terlalu menyesali diri, tetapi harus tetap optimis dalam menjalankan tugas kewajibannya. Kitab Weda menyatakan, tidak ada kegagalan bagi orang yang tekun berusaha.
- Sthitaprajnya, yakni teguh dalam menghadapi tantangan, gelombang suka dan duka (Bhagavad-gita 2.54) Dalam menghadapi berbagai cobaan, hendaknya orang tetap berpegang teguh pada dharma.
Daftar
Bacaan
- Bhupendra, Modi: The Hindu Samskaras-Refinent of Life, Modi Foundation, Delhi,2001
- Mookerji, Radha Kumudh: Ancient Indian Education, Motilal banarsidass, Delhi, 1989
- Rajabali, Pandey : Hindu Samskàras, Motilal banarsidass, Delhi,1991
- Satyavrata Siddhantalankar: Exposition of Vedic Thought, Munshiram Manoharlal, Delhi, 1980
- Sivananda Swami, All About Hinduism, A Divine Life Society, Himalaya, India 1988
- Titib, I Made : Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak. Jakarta, Ganeca Exact, 2003.
Pendidikan Agama Hindu merupakan satu mata pelajaran
dalam pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pendidikan Agama Hindu
adalah usaha yang dilakukan secara sadar, terencana, dan berkesinambungan dalam
rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan
potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu (BSNP, 2006 dan Depdiknas,
2007). Kurikulum Pendidikan Agama Hindu yang berbasis standar kompetensi dan
kompetensi dasar mencerminkan kebutuhan keragaman kompetensi secara nasional.
Standar ini diharapkan dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam
mengembangkan Kurikulum Pendidikan Agama Hindu sesuai dengan kebutuhan daerah
ataupun sekolah (BSNP, 2006 dan Depdiknas, 2007).
Mata pelajaran Pendidikan Agama Hindu bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan, antara lain menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama; dan membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagathita dalam kehidupannya (BSNP, 2006 dan Depdiknas, 2007). Meningkatkan sradha dan bhakti dalam pembangunan insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai moksartham jagadhita dalam kehidupan memerlukan penjabaran lebih lanjut, agar dapat dilaksanakan dalam dunia praktik sebagai proses pembelajaran. Sradha merupakan lima keyakinan Hindu, brahman, atman, karma phala, punarbhawa, dan moksa, karena itu lebih dikenal panca sradha. Bhakti merupakan basis pelayanan yang diekspresikan dalam bentuk panca yadnya, yaitu dewa yadnya, pitra yadnya, resi yadnya, bhuta yadnya, dan manusa yadnya. Dengan demikian, Insan Hindu adalah mereka yang memiliki keyakinan panca sradha yang dipraktikkan dalam dunia kehidupan empiris sebagai bakti pelayanan dalam rangka mewujudkan keselarasan dan keharmonisan, baik horizontal (jagadhita) maupun vertikal (moksartham). Artinya, kayakinan sradha yang diajarkan melalui tattwa agama dan bakti pelayanan yang diajarkan melalui acara agama pada dasarnya merupakan landasan bagi pembangunan manusia susila. Manusia susila inilah yang dimaksudkan dengan manusia yang memiliki kualitas sradha dan bhakti yang mampu mewujudkan nilai-nilai jagadhita dan moksartham. Jadi, manusia susila inilah tujuan pendidikan agama Hindu di Sekolah.
Kembali kepada tujuan pertama disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama Hindu di sekolah adalah “menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama”. Rumusan tujuan ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan menumbuhkembangkan kualitas sradha dan bhakti berarti, kurikulum pendidikan agama Hindu disusun dan dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa sradha dan bhakti itu merupakan suatu kualitas dalam bentuk benih sehingga dapat ditumbuhkembangkan. Penumbuhkembangannya dilakukan dengan pemberian, pemupukan, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Hindu. Ini merupakan cara-cara yang paling mungkin yang dapat dilakukan, walaupun bukan berarti cara-cara lain sama sekali tertutup. Melainkan cara-cara lain dapat ditempuh sesuai dengan kebutuhan nyata pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, sebagaimana teridentifikasi oleh guru-guru pendidikan agama Hindu dalam pengalaman praktisnya.
No comments:
Post a Comment